“Dengan membeli satu bungkus ukuran 100 gr – 250 gr kopi Leuser, anda telah menyumbang Rp 2.500 pada usaha membangun pelestarian hutan, kesadaran lingkungan hidup, penanaman pohon, dan perlindungan empat satwa kunci yaitu harimau, gajah, badak, dan orang utan yang berada didalam kawasan ekosistem Leuser, Provinsi Aceh.”
Tulisan tersebut tertera bersama gambar Harimau Sumatera pada kemasan bubuk kopi milik kedai kopi Leuser. Beberapa bungkus terpajang di dalam lemari kaca. Si empunya kedai memilih kursi dan meja rotan memenuhi ruang kedai tersebut, tampilannya bersambut dengan serumpun pohon bambu yang tumbuh di samping bangunannya. Di sisi kanan dan kiri dinding bagian dalam kedai dihiasi foto satwa kunci, orang Utan Sumatera dan gajah.
Kisah si pemilik kedai, kopi dan konservasi bermula saat ia masih berstatus mahasiswa. Tahun 2005 ia bergabung dalam organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) kemudian dua tahun berikutnya menjadi bagian dari Non-Government Organization (NGO) yang bergerak di bidang konservasi. Dalam satu kesempatan, Gem- sapaan akrab Danurfan, si pemilik kedai menyeduh kopi untuk rekan-rekan kerjanya yang kebanyakan berasal dari luar negeri tersebut.
Salah satu dari mereka berujar “Kopi kamu enak, kenapa tidak kamu coba jual saja? Kamu jualan aja untuk ada uang tambahan.”
Setelah itu dia mencoba lagi untuk memastikan testimoni tersebut kemudian membagikannya kepada rekan-rekan kerja. Saat itu banyak yang mengaku suka dengan kopi seduhannya. Meski begitu, ia belum terpikirkan untuk menjadikannya bisnis, konon lagi untuk berkontribusi pada upaya konservasi.
Tahun 2013 Gem mulai menekuni usaha kedai kopi. Di tahun tersebut ia masih memproduksi kopi skala rumahan yang dipasarkan melalui Facebook, baru kemudian berkembang menjadi cafe pada tahun 2017.
Kedai kopi milikinya kemudian diberi nama Leuser, diambil dari nama kawasan yang dilindungi yang merupakan jati diri dan inti dari alam Aceh.
- Advertisement -
Dibesarkan di daerah penghasil kopi, Takengon, Aceh Tengah menjadi faktor pendukung alasannya memilih kopi sebagai wujud kontribusi untuk lingkungan. Kebiasaan minum kopi sejak dulu membawanya berpikir banyak hal tentang kopi sehingga terinspirasi untuk mempelajari cerita, makna, dan filosofi di balik secangkir kopi yang dinikmati.
Setelah mempelajari kopi, Gem berinisiatif berkontribusi ke lingkungan dengan cara mengajak petani-petani untuk berkomitmen menjaga daerah hutan sekitarnya, bukan hutan primer tapi hutan sekunder. Hutan-hutan yang ada di pinggiran kebun.
Petani yang berkomitmen menjual kopi kepadanya diberikan harga lebih tinggi dari harga pasar. Jika mereka menjual Rp 150.000 per Kg maka Gem akan membayar Rp 160.000 per kilonya.
“Leuser bisa menghidupi hingga empat juta orang. Bayangkan jika Leuser itu hilang kita enggak ada air dan enggak bisa ngopi seperti sekarang,” ucapnya.
Karena komitmen itu pula Gem acap kali mengganti petani kopi yang tidak sejalan dengan visi dan misi di awal. Hingga akhirnya ada yang berkomitmen sampai sekarang. Kepada petani itu pula lah dia banyak belajar tentang kopi. “Guru saya,” ujarnya.
Di sisi lain Gem masih teringat dengan upaya-upaya konservasi yang dilakukan saat ia aktif di Mapala dan NGO. Selain menopang jalannya konservasi melalui petani, ia pun berkontribusi lewat hasil penjualan kopinya.
”Kebetulan saya dulu bisa bikin kopi dan suka ngopi, karena saya juga dari pecinta alam kenapa enggak sekalian aja buat kopi sambil kontribusi ke alam gitu” tuturnya.
Setelah berdiskusi dengan banyak teman dan keluarga, dia memutuskan untuk menyisihkan sekian persen saja dari hasil penjualan untuk disumbangkan ke lingkungan. Pada penjualan pertama, bubuk kopi miliknya terjual 10kg.
Salah satu kontribusi yang dilakukan Leuser dalam menyelamatkan satwa kunci adalah saat ada kasus anak gajah yang terjerat, upaya yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan dana lalu disumbangkan untuk perawatan gajah tersebut. Tidak ada kelompok atau individu yang memberi tahu kejadian itu, Gem mengetahui kabar tersebut dari pemberitaan yang beredar kemudian berinisiatif mengumpulkan sumbangan.
Di situasi tersebut ia mencetak kemasan bubuk kopi dengan desain dan tulisan kusus “Dengan membeli kopi ini anda sudah menyumbang sebanyak 50% yang disumbangkan langsung untuk perawatan gajah”.
Dalam beberapa kasus serupa dia kadang merogoh kocek pribadi untuk diberikan kepada korban konflik satwa-manusia. “Kalau menunggu dana terkumpul pasti lama. Saya keluarkan dulu uang pribadi untuk membantu kebutuhan pangan korban,” ungkapnya.
Sementara pada kemasan biasa ia menonjolkan gambar Harimau Sumatera, satwa kunci yang masuk dalam kategori terancam punah dan yang paling banyak diburu selain gajah. Gambar tiga satwa kunci lainnya yakni gajah, orang utan dan badak hanya dicetak jika ada permintaan dan kondisi kusus.
Ia mengaku senang bisa berkontribusi dan bermanfaat untuk lingkungan meski dalam dunia bisnis kontribusi yang dia lakukan berdampak kecil untuk usahanya. Dia mengatakan gerakan yang dia lakukan bisa mengenalkan Leuser ke lebih banyak orang sehingga usaha-usaha yang lain juga dapat melakukan hal yang sama terhadap lingkungan.
“Walaupun orang-orang berekspektasi begitu datang ke Leuser ada cafe yang megah tetapi setelah datang hanya sepetak satu muka saja. Namun gagasan saya ini minim atau bahkan tidak ada di tempat lain sehingga harapannya usaha-usaha yang lain juga dapat mengampanyekan melalui usaha yang dijalankan,” ujarnya mengutarakan harapan.
Setelah menjalankan bertahun-tahun usaha dan tetap konsisten dalam berkontribusi, Leuser Coffee tak luput dari naik turun penjualan yang mempengaruhi usaha. Gem mengatakan yang paling sulit adalah saat pandemi covid-19, sering kali tak mencapai target penjualan. Karena kondisi saat itu strategi kontribusinya berganti. Kedai kopi leuser memberikan minuman kopi gratis kepada lembaga-lembaga yang membuat kegiatan berbasis lingkungan. Salah satunya pada kegiatan Forum Jurnalis Lingkungan (FJL).
“Misal temman-teman FJL mmebuat kegiatan, saya memberikan berapa yang ada, jadi Leuser nya hanya ikut nimbrung saja bukan menjadi sponsor utama. Atau misalnya ada teman-teman Mapala yang ingin melakukan ekspedisi, saya akan bilang terus terang jika penjualan sedang tidak ada tapi saya bisa bantu support kopi boleh enggak? Enggak usah ditaruh logo atau segala macam, yang penting saya bisa turut berkontribusi,” ujarnya mengulang yang dikatanya kepada penyelenggara kegiatan-kegiatan tersebut.
Menurutnya yang dia lakukan selama ini adalah komitmen yang tumbuh dari apa yang dia sukai. Baginya menunjukkan sikap keberpihakan terhadap alam dan lingkungan sekitar lebih dari sekadar perkara suruh menyuruh orang lain melakukan hal yang sama.
“Lakukan hal apa pun yang kamu suka, walaupun cuma hal kecil, sederhana, namun cukup buat kamu bahagia. Karena ketika itu baik dan kamu konsisten, lama kelamaan akan menjadi besar, berdampak dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar,” pungkasnya.
Penulis: Mirda Mastura, siswa Sekolah Jurnalis Lingkungan (SJL) Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh