Banda Aceh- Mak Nek menggunakan topi jerami tanda bersiap menuju lahan yang digarap, dengan mengenakan sendal jepit yang telah usang, ia menyusuri jalan menuju sawah yang tak jauh dari rumahnya.
Mak Nek sudah tidak muda, umurnya kini menginjak 60 tahun. Idealnya sekarang dia sedang menikmati hasil dari jerih payah masa mudanya, namun apalah daya baginya yang harus mencukupi kebutuhan keluarga.
Mak Nek tinggal di Desa Lambaet, Aceh Besar. Di rumahnya dia hidup seorang diri, suaminya telah lama meninggal dunia dan anak-anaknya bersekolah di luar kota.
“Sistem gotong royong, saya sendiri tidak sanggup menggarap sawah. Jadi bantu-bantu petani lain juga,” ungkapnya seraya menunjuk batas persawahan yang digarapnya. Ia menjelaskan sistem bertani di desanya.
Mak Nek terbilang cukup beruntung menggarap sawah yang berada dekat dengan irigasi, namun ada kalanya dia menjadi risau saat hujan tiba. Saat musim penghujan dan bertepatan dengan masa tanam padi, air yang terlalu banyak dari irigasi itu kerap meluap menjadi banjir, momok yang menakutkan baginya.
“Seperti hujan deras akhir tahun lalu yang berakibat banjir, bertepatan pula dengan masa tanam padi sehingga merusak padi bahkan gagal tanam,” ujar Mak Nek perihal nasibnya yang untung-untungan dalam bertani akibat beberapa aliran irigasi yang macet dan pengairan yang tidak merata.
Di musim kemarau permasalahan lain muncul, yakni kekeringan pada lahan persawahan atau pengairannya. Walau sawah Mak Nek hanya berjarak lima meter dari irigasi dia mengaku sering gagal panen akibat hal tersebut.
- Advertisement -
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh tahun 2022 produktivitas padi di Aceh Besar berkisar 56.6 ton. Angka tersebut turun dari tahun sebelumnya yaitu 57,35 ton. Menurut BPS, penurunan terjadi akibat fenomena El-Nino yang melanda sebagian besar wilayah di Indonesia.
Di Aceh besar, lahan pertanian membentang luas namun acap kali digarap dengan sistem tenaga upah. Pemilik sawah biasa menyewa orang lain untuk mengelola lahan miliknya dengan sistem bagi hasil.
Salah satunya adalah Maria. Maria adalah petani yang berkerja di sawah milik tetangganya, dalam setahun biasanya dia memanen gabah sebanyak dua kali dengan rata-rata pendapatan 0,8 ton.
Namun di tiga tahun terakhir dia mengalami gagal panen akibat luapan air dari irigasi, tidak ada drainase yang baik di dekat lahannya.
“Sudah tiga tahun terakhir saya gagal menanam padi, setelah disemai dan baru berukuran enam sentimeter dan dipindah media tanam air menggenangi sawah dan mengakibatkan padi tidak bisa tumbuh dengan baik,” ungkap Maria dengan mata berkaca-kaca.
Maria mencari pendapatan lain dengan menjadi buruh setrika dan mengurus anak tetangga. Pendapatannya menurun dan mengalami kesulitan ekonomi akibat gagal tanam.
“Masyarakat sekitar dapat bantuan dari pemerintah untuk bibit padi, namun jika permasalahan pengairan sawah belum bisa diatasi maka tidak ada gunanya,” ungkap Maria.
Ia mengkritik permasalahan irigasi di desa Lambaet, Aceh Besar. Menurut Maria, bukan hanya dirinya yang merasakan hal tersebut, banyak masyarakat di Desa Lambaet yang sudah beralih profesi. Tidak menutup kemungkinan kaum muda tidak tertarik untuk meneruskan pekerjaan bertani.
Seorang pemuda yang berkerja sebagai petani, Haikal (24), telah bekerja selama lima tahun di lahan persawahan milik orang lain. Pendapatan haikal pada masa panen gabah berkisar RP400 ribu hingga RP900 ribu.
“Saat masa panen sehari paling banyak 900 ribu,” ujar Haikal.
Menurut pria kelahiran Kota Sabang itu, bertani merupakan pekerjaan sampingannya dalam menunggu panggilan kerja. Dia tamat dari bangku sekolah pada 2017 lalu dan tak kunjung mendapat pekerjaan di tempat lain.
“Kalau tidak terpaksa saya lebih memilih kerja di tempat lain apabila upahnya bisa memenuhi kebutuhan,” ujar Haikal.
Haikal merasa bertani bukanlah keahliannya. Seperti layaknya pemuda seumurannya, dia mendambakan pekerjaan lain yang menurutnya lebih menjanjikan. Terlebih dia perantau yang harus menghidupi keluarganya di kampung. (Chairil Aqsha/ Lensakita.com)