Matahari sudah mulai tenggelam saat seekor gajah jantan diikuti dua ekor gajah betina mengayunkan langkah ke arah Chris. Beberapa waktu silam, gajah tersebut sudah dipasangkan kalung Global Positioning System (GPS) yang bertujuan untuk memantau pergerakan rotasi gajah. Saat itu sudah waktunya bagi si gajah jantan untuk mengganti kalung GPS yang sudah lama ia kenakan.
Dari sisi lain, sekelompok orang sedang membentuk bulatan kecil berdiskusi untuk membagi tugas dalam eksekusi pergantian kalung GPS bagi gajah tersebut. Dari kejauhan, Christopher selaku dokter hewan perlahan-lahan mendekati gajah tersebut, berada sendiri terpisah dari rombongan yang sedang berdiskusi. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, dia mulai menembakkan bius kepada gajah jantan yang sedang digandeng gajah betina tersebut. Sedangkan beberapa orang di sini lain, menjaga jarak aman menghindari perilaku agresif yang akan dilakukan oleh gajah yang lain.
Ketika melakukan pembiusan, salah satu gajah betina melihat pergerakan Chris. Tepat setelah dia menembakkan bius tersebut dan gajah jantan sudah mulai tertidur, seekor gajah betina melihat Chris dengan tatapan marah. Tanpa aba-aba, gajah tersebut menyerangnya, spontan dia langsung lari dan mulai bersembunyi di sebuah pohon besar. Sekitar lima meter jauhnya antara Chris dan gajah tersebut. Gajah mengeluarkan suara mendengus yang menandakan kemarahannya, namun dikarenakan hari mulai gelap penglihatan dari gajah betina tersebut kurang baik. Sehingga dia tidak mampu mengidentifikasi keberadaan Chris.Tidak lama setelah itu, Chris menyelesaikan tugasnya untuk mengganti kalung GPS.
Christopher Stremme lahir pada tahun 1966 di Jerman. Dia merupakan seorang dokter hewan berkualifikasi yang memiliki keahlian lebih dari 20 tahun dalam bidang keahlian perawatan kesehatan gajah. Christopher juga aktif dalam program kesejahteraan dan konservasi gajah di Asia. Chris turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan kursus pelatihan gajah serta aspek kesehatan bagi mahout, dokter hewan dan mahasiswa kedokteran hewan di Asia. Dia juga sudah diundang sebagai dosen tamu dalam Lembaga Scinetoffc di Indonesia, India, Mnyanmar, Amerika Serikat dan Jerman. Kini Chris pun mengajar di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Syiah Kuala (USK).
Sedari kecil, Chris mulai tertarik dengan hewan. Saat usia tiga tahun, dia tinggal di sebuah kota yang masyarakatnya masih banyak berprofesi sebagai petani dan peternak. Chris kecil sering memasuki kandang ayam, kandang babi, kendang sapi dan hewan-hewan lainnya. Saat matahari mulai terbenam, dia melihat sebuah rumah di sebrang jalan. Nampak seorang lelaki yang memang sering menaiki kuda. Pria itu mendatangi Chris dan mulai menaikkannya ke atas kuda itu, Chris kecil senang berada di atas ketinggian.
Ketika mulai pindah ke kota yang lebih besar, dia mulai diajak untuk melihat hewan-hewan di kebun binatang. Banyak sekali satwa-satwa yang bervariasi, mulai saat itu, Chris mulai tertarik dengan satwa liar. Ada salah satu satwa yang menarik perhatiannya, seekor hewan yang memiliki belalai panjang, kuping yang besar dan badan yang sangat besar.
”Saya engga tahu kenapa suka sama gajah. It’s not logic behind. It’s just like that,” menurutnya, ketika mencintai sesuatu tidak ada alasan logis yang mampu menjelaskannya.
- Advertisement -
Selama kuliah di kedokteran hewan sesering mungkin dia datang ke kebun binatang, karena kegigihannya akhirnya dia menjadi asisten kipper di kandang gajah. Setiap akhir pekan dia selalu pergi ke kebun binatang lain untuk bertukar pengalaman dengan sesame kolega. Di situ dia mendapat kesempatan pengalaman dari banyak senior yang pintar dari pengalaman dan pelatihan gajah.
Pada tahun 1986 Chris sudah mulai aktif secara professional dalam dunia satwa liar. Awal masa karirnya, dia bekerja selama satu tahun membuka praktek umum untuk sapi, kambing, dan babi.
Pertama kali dia datang ke Indonesia pada tahun 1998. Pada tahun tersebut, Chris sedang berada di Vietnam dalam pembangunan rescue center satwa liar. Pada saat itu, dia mencari kesempatan untuk dapat secara permanen bisa berfokus untuk gajah. Ketika mulai mencari info, dia mendapat kabar bahwa seorang dokter hewan dari Inggris akan melakukan evaluasi mengenai kondisi kesehatan gajah jinak di beberapa pusat latihan gajah di Indonesia. Hal tersebut memicu semangat Chris untuk medapatkan peluang dan mulai berkontak dengan senior, dan ingin terlibat dalam penelitian itu.
Pada kesempatan itu dia mulai berkomunikasi dengan kawan-kawan di Indonesia. Selesai penelitian tersebut, dia mencari kemungkinan untuk bertemu kembali dengan gajah-gajah di Indonesia. Maka dari itu ia menciptakan salah satu program penelitian dengan melakukan permohonan beasiswa di salah satu institusi di Jerman sehingga mendapat kesempatan untuk kembali ke Indonesia.
Tahun 2004, merupakan tahun kesedihan bagi warga Aceh. Kejadian pilu akibat hantaman ombak besar itu membuat banyak masyarakat kehilangan sanak dan familinya. Banyak reruntuhan dan kerusakan bangunan-bangunan, tak terkecuali kantor Badan Konservsi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan rumah-rumah BKSDA. Untuk membantu situasi saat itu, maka kepala BKSDA mengkordinasikan BLG Sare memanggil delapan ekor gajah untuk membantu mencari mayat di tempat yang hancur. Pada saat itu, hampir semua staff kehilangan keluarga, dan mulai tidak fokus untuk mengurus gajah yang datang.
Chris mengaku perihatin dengan keadaan yang menimpa rakyat Aceh. dia berinisiatif untuk mengambil tugas selama dua bulan untuk fokus mengurus delapan ekor gajah tersebut. Dengan keterbatasan bahasa, Chris setiap harinya mempelajari minimal lima kata baru untuk dapat berinteraksi dengan masyarakat. Dia membeli beberapa buku untuk membantunya belajar secara otodidak.
Setiap sore, dia selalu mengulang kata-kata yang sudah dipelajari sebelumnya. Walau sulit, hal tersebut membuat dia mulai terbiasa untuk berinteraksi dengan masyarakat. Saat itu, mulai terjainya krisis air bersih. Sumur-sumur sudah tercemar dari air laut dan sebagian lainnya berada di bangunan hancur. Dia memutuskan untuk menyewa truk dan mencari bantuan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Jerman. Upayanya berhasil membuat adanya fasilitas air minum untuk masyarakat dan sumur tersebut berada di daerah Lambaro, Aceh Besar.
Setiap hari, Chris selalu ke luar kota dengan salah satu staff BKSDA untuk mencari makanan gajah-gajah tersebut. Di pagi hari, pukul 06.30 WIB gajah akan dipekerjakan di wilayah yang rusak. Ketika berada di puing-puing bangunan, sering sekali kaki dan belalai gajah mengalami luka. Setiap sebelum berangkat dan selesai aktivitas Chris selalu mengobati kaki dan belalai gajah yang luka tersebut.
Ketika sore, gajah sudah selesai dengan tugasnya dan makanan sudah tersedia. Saat itu adalah waktu dia dapat membangun hubungan yang akrab dengan kawan-kawan mahot dan gajahnya. Bagi Chris itu adalah salah satu periode yang membantu walau waktu itu masih kaku dalam berbahasa, namun waktu-waktu tersebut membuatnya akrab dengan mahot, layaknya keluarganya.
Awal 2006 sampai 2014 dia bekerja dengan LSM lokal yang berbeda. Tepat pada tahun 2015, Hambal, dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala yang menjabat saat itu mengundangnya untuk membantu mengajar medik satwa liar di fakultas tersebut. Hingga sekarang, dia aktif menjadi dosen di fakultas tersebut.
Chris ingat di salah satu kelas yang ia masuki salah seorang mahasiswa pernah bertanya ”Dokter, pengalaman apa yang paling mengesankan selama menangani gajah?,” ucap mahasiswa tersebut.
Bagi Chris momen yang sangat berkesan adalah saat melakukan pengobatan gajah liar, translokasi gajah liar, dan pemasangan kalung GPS di gajah liar. Sebagai dokter hewan, saat itu Chris bertugas untuk menyuntikkan bius kepada seekor gajah untuk pemasangan kalung GPS. Dia mulai menembakkan bius kepada gajah tersebut. Sebelum dia tertidur, dia melihat sosok Chris. Ketika pemasangannya selesai, dia bertugas untuk membangunkan kembali gajah tersebut. Sementara dia akan membangunkan gajah, tim lain diminta untuk berada jauh dari gajah tersebut.
Chris menyuntikkan antidota, setelah penyuntikan tersebut dia mundur beberapa langkah namun masih dapat terlihat oleh gajah. Beberapa saat setelahnya gajah tersebut membuka mata. Ketika matanya baru terbuka, orang pertama yang dia lihat adalah Chris. Gajah itu lansung mendengus dan mengejar Chris. Spontan, dia lari meninggalkan gajah tersebut. Si gajah masih terus mengejarnya. Chris melakukan lompatan-lopatan, berlari dengan arah zig-zag namun gajah tersebut tetap tidak mau berhenti mengejar.
Tim dalam penanganan tersebut berusaha untuk mengejar gajah berharap dia mau melepaskan Chris. Sialnya saat marah dengan seseorang, gajah tidak menghiraukan hal lain. Beberapa tim memutuskan untuk membakar mercon, karena tidak suka suara berisik si gajah akhirnya berlari ke arah hutan dan meninggalkan Chirs.
“Waktunya hanya tiga menit mungkin tapi terasa seperti satu jam,” ungakpnya sembari tertawa.
Chris paham penanganan gajah tidak hanya dapat dilakukan secara teoritis. Awal dia bekerja di Indonesia belum ada gajah yang dilatih kusus untuk perawatan medis. Saat melakukan perawatan ada beberapa gajah yang kehilangan kontrolnya, saat itu, dia tinggal bersama dengan para mahout selama tiga minggu untuk bekerjasama melatih gajah.
Selain itu, pemeriksaan rutin gajah di program ambulan satwa liar fakultas dilakukan dengan gajah yang ada di Aceh kurang lebih 3-4 bulan sekali. Dia mengunjungi semua tempat dan melakukan pengecekan kesehatan. Tiga bulan sekali pemberian obat cacing. Hal yang juga rutin dilakukan adalah vaksinasi tetanus sekali setahun. Perawatan kuku dan telapak kaki gajah juga diperlukan. Ketika gajah berada di habitat aslinya yaitu di hutan, dia akan berjalan mencari makanan.
Dalam hitungan kasar, gajah makan sebanyak 10% dari berat badannya. ”Kalau dia berat 2,5 ton maka dia harus memakan 250kg bahan makanan per hari,” ujar Chris menjelaskan.Di alam liar 15-18 jam per/hari gajah aktif berjalan. Makin kecil tempat di penangkaran maka makin tinggi intensitas perawatan kukunya. Sehingga kata Chris gajah di dalam kandang yang kecil harus banyak diajak bergerak.
Dia mengatakan ikatan emosional antara manusia dan gajah terjalin saat mereka bekerjasama. Saat hal itu terjadi, keduanya mampu membaca bahasa tubuh dan pergerakan satu sama lain.
”Saat ini Aceh memiliki delapan penangkaran gajah. Keseluruhan gajah jinak di Aceh berjumlah 27 ekor,” ujar Chris.
Menurutnya di mana pun harus selalu bisa mencuri ilmu dan sesulit apa pun pasti selalu ada solusi. Penghargaan terbesar baginya adalah ketika gajah yang ditangani menjadi lebih baik dan sembuh.
”Gajah berperan penting dalam ekosistem, gajah bertugas menyebarkan beberapa jenis biji-bijian yang akan tumbuh setelah melewati sistem pencernaan gajah. Setiap satwa di ekosistem memiliki masing-masing fungsi. Ketika gajah sudah tidak ada maka penyebaran bijian juga tidak ada maka polusi udara memburuk karena hutan makin sedikit. Hal yangg sering pengaruh lebih lansung, ketika hutan masih ada hujan maka akan keluar air dengan pelan-pelan. Konflik gajah banyak dikarenakan rumah gajah tidak seperti dulu,” ungkapnya.
Bagi Chris hal itu seumpama susunan batu bata di dinding rumah. Jika satu dicabut maka akan berlubang, jika banyak maka yang akan terjadi adalah ambruknya rumah.
Penulis: Siti Aulia Fadhila, siswa Sekolah Jurnalis Lingkungan (SJL) Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh.