BANDA ACEH – Pengamat ekonomi Universitas Muhammadiyah (Unmuha) Aceh, Taufiq Abdul Rahim, menjelaskan interaksi dan transaksi jual beli jelang hari Raya Idul Adha 1444 Hijriah dapat memicu inflasi.
Menurutnya, aktivitas ekonomi menggeliat dan menggairahkan, ini tidak terlepas dari keinginan kebutuhan ril masyarakat Aceh ikut menyambut hari Raya Idul Adha.
“Meskipun demikian bahwa, usaha untuk memenuhi usaha mendapatkan barang dan jasa kebutuhan pokok tersebut dapat memicu inflasi di Aceh,” kata Taufiq, dalam keterangan tertulis, Selasa (27/6/2023).
Ia menyebut, adapun barang dan jasa kebutuhan pokok tersebut merupakan konsumsi rutin, tetapi secara insidentil masyarakat membelinya dalam jumlah ataupun kuantitas yang lebih dari biasnya.
Meskipun tersedianya pasar murah, ternyata barang yang dibeli oleh pihak pengelola pasar murah tersebut ikut mempengaruhi kondisi kestabilan harga pasar, yang kemudian bergeser lebih mahal, pembelian dalam jumlah besar (grosir).
Hal ini menjadikan harga barang dan jasa yang dipasok oleh para pengusaha (penjual/pedagang) lainnya mengalami perubahan kenaikan harga.
Kondisi ini, kata dia, membuat keseimbangan harga pasar yang sebelumnya bergeser naik keatas, baik berpengaruh terhadap “cost push and pull inflation”, dimana kenaikan harga barang dan jasa dipengaruhi oleh biaya.
- Advertisement -
“Ongkos produksi serta transportasi hingga penjual dan permintaan yang jumlah barang dan jasa yang diminta bertambah secara kuantitatif atau jumlah di pasar,” jelasnya.
Ia menyampaikan, dalam kondisi ketidakpastian ekonomi di Aceh, disamping ketidakmampuan Pemerintah Aceh mengelola aktivitas ekonomi dengan baik, juga tidak adanya kemampuan pemerintah membuat kebijakan moneter dan fiskal untuk menjaga stabilisasi ekonomi Aceh dalam jangka pendek, jangka menengah dan panjang.
Selain itu, pemerintah juga tidak mampu menjaga kondisi stabilisasi harga pada peristiwa maupun hari-hari besar umat Islam, seperti hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha yang sering dan dapat memicu inflasi.
Menurutnya, Pemerintah Aceh tidak memiliki kapasitas atau kemampuan untuk mengatasinya, baik dengan instrumen kebijakan fiskal maupun moneter untuk mengatasi inflasi dan gejolak kenaikan harga barang dan jasa yang dapat melindungi rakyat dan pemerintah yang pro rakyat.
“sehingga kehidupan masyarakat tidak resah dan tetap dapat bergembira, tidak gaduh diributkan dan direcoki,” tuturnya.
Taufiq menambahkan, ketidakmampuan berhadapan dengan kenaikan harga barang dan jasa ataupun inflasi yang menyebabkan daya beli rendah.
“Serta masyarakat menjadi rentan miskin di Aceh,” pungkas Taufiq.[]