Banda Aceh- Memperingati 19 tahun tsunami Aceh, Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Masjid Raya Baiturrahman dan Dinas Syariat Islam Aceh menggelar kegiatan zikir dan tausiyah di halaman masjid, Selasa (26 /12/2023).
Tak hanya zikir dan tausiyah, sepenggal kisah dari penyintas tsunami turut meramaikan acara peringatan tsunami yang ke-19 tahun tersebut. Bundiah binti Sahan begitulah nama lengkapnya, salah satu korban yang selamat dari ganasnya ombak tsunami tahun 2004 silam. Ia berasal dari Sigli, merantau ke Banda Aceh dan tinggal di Gampong Lampulo untuk mencari nafkah dengan berjualan kolak dan nasi di pagi hari. Sepertinya karena itulah wanita berusia 70-an tahun itu kerap disapa Wak Kolak.
“Dulu usia saya 50 tahun, jualan kolak dan nasi tapi saya tidak dipanggil Wak Nasi, saya dipanggil Wak Kolak,” ujarnya.
Wanita itu mulai bercerita kronologi tsunami yang terjadi sekitar pukul 08.00 WIB mulai dari gempa kemudian disusul gelombang laut.
“Pagi itu saya sedang bersiap-siap mau jualan, saya hendak mendorong gerobak ke lapak dagangan namun sekitar pukul 8 mulai terjadi gempa” ungkap Wak kolak.
Wak kolak menuturkan sebagai seseorang yang sudah biasa menghadapi gempa, gempa yang terjadi tak seperti biasanya. Saat terjadi gempa tanah hanya bergetar namun saat itu tanah tak hanya bergetar juga bergoyang. Setelah delapan menit gempa berhenti teriakan air laut naik terdengar jelas disusul gelombang besar dari arah laut.
“Saya melihat gelombang asap warna hitam, gelombang pertama datang di belakangnya bergulung-gulung seperti naga saat itulah saya berpikir saya akan mati,” tutur Wak Kolak.
- Advertisement -
Di usia yang tergolong tak lagi muda, fisik tak lagi kuat Wak Kolak pasrah dengan ajalnya lantaran beliau berada sangat dekat dengan laut.
“Saat itu, semua orang lari tapi saya tidak lari. Saya pikir saya akan mati untuk apa saya lari, saya juga enggak sanggup lari karena airnya dekat sekali dengan saya,” tutur kolak.
Namun bak tersadar dari mimpi Wak Kolak mengaku seperti ada yang membisikkan padanya untuk lari ke rumah berlantai dua milik Abbasiyah. Sialnya, setibanya di lantai dua rumah itu air semakin meninggi berusaha menenggalamkan bangunan. Hingga kemudian dari arah yang mereka tidak sadari sebuah perahu menghantam dinding rumah. Satu per satu warga yang berada di rumah tersebut langsung menaiki perahu sebab bangunan hampir tenggelam.
“Di situ lah saya melihat dengan jelas Kampung Lampulo dan semuanya sudah habis, orang-orang timbul tenggelam memohon bantuan kami yang ada di dalam perahu. Kami yang ada di dalam kapal berzikir dan menangis sembari menolong mereka yang bisa ditolong,” tuturnya mengenang kejadian 19 tahun silam itu.
Pagi itu hingga menjelang pukul 13.30 WIB, wanita penyintas tsunami ini menuturkan ada seorang anak kecil di dalam perahu yang sudah kelaparan dan kehausan namun saat itu mereka tak punya apa-apa selain air laut yang mengelilingi.
“Dengan kuasa Allah hanyut satu tandan kelapa muda yang berisi tujuh buah kelapa. Untungnya lagi kapal yang kami naiki adalah kapal baru, ada kapak dan parang,” ujarnya.
Kata Wak Kolak itu menandakan kapal tersebut baru dan belum pernah berlayar. Saat itu juga ia menyaksikan seluruh kota sudah rata dengan air, hanya Masjid Raya Baiturrahman yang masih berdiri kokoh dan menjulang tinggi di antara reruntuhan.
Sekitar pukul 17.00 WIB air mulai surut, volume air tinggal selutut. Saat itu lah mayat terlihat bergelimpangan di jalan.
“Di atas sampah, di akar-akar kayu, di jalanan dengan kondisi yang sangat beragam mulai dari tak berpakaian hingga organ tubuh yang hilang,” kenangnya.
Bagi Wak Kolak, tsunami 2004 adalah pelajaran berharga untuk menjaga keimanan masyarakat Aceh. Selain itu, pasca tsunami bumi Aceh akhirnya berstatus damai dari konflik yang berkepanjangan.
“Saya hanya orang tua renta yang tak tamat kelas satu SD. Hari ini saya dikasih kesempatan untuk berbicara di depan cucu-cucu dan anak-anak saya semua. Saya sangat bersyukur, jadikan pelajaran bagi pendatang yang ke Aceh dan daerah-daerah lain. Aceh ini merupakan Islam yang kaffah semoga ada rahmat Allah bersama kita,” ujarnya mengakhiri cerita. (Mirda/Lensakita.com)