Oleh: Farina Islami
Beberapa bulan terakhir, publik dikejutkan oleh kedatangan ratusan warga Rohingya ke wilayah Aceh. Meskipun mereka tiba tidak dalam satu waktu dalam jumlah besar, namun kedatangan mereka bersifat berangsur-angsur. Setiap kali mendarat, jumlahnya mencapai ratusan orang dan tersebar di beberapa titik di sepanjang pesisir Aceh. Kehadiran mereka ini tidak dapat dianggap sebagai kejadian yang terjadi secara kebetulan atau tanpa sengaja, dan hal ini tentu saja menimbulkan rasa curiga di kalangan penduduk lokal Aceh.
Pertanyaan yang muncul di benak masyarakat adalah apa motif sebenarnya di balik kedatangan massal warga Rohingya ini. Jika ini hanya kejadian terdampar dan tanpa disengaja, seharusnya tidak mungkin terulang berkali-kali dengan pola yang sama. Rasa ingin tahu dan kekhawatiran masyarakat lokal semakin meningkat seiring berlanjutnya waktu dan terus bertambahnya jumlah warga Rohingya yang tiba di Aceh.
Tidak hanya memunculkan pertanyaan tentang alasan kedatangan mereka, tetapi juga mengundang spekulasi dan perbincangan di berbagai lapisan masyarakat Aceh. Ini menjadi isu yang perlu diungkap secara transparan dan mendalam agar dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat tentang situasi ini. Kejadian tersebut juga menyoroti pentingnya kerjasama antarlembaga pemerintah, organisasi kemanusiaan, dan masyarakat lokal untuk mengatasi dampak sosial, ekonomi, dan kemanusiaan yang mungkin timbul akibat kedatangan warga Rohingya ini.
Warga Rohingya saat ini sudah mencapai ribuan di Aceh dan ini bukan menjadi kali pertama Aceh menerima kedatangan mereka. Pada tahun 2020 juga sempat terjadi penerimaan secara besar-besaran oleh warga Aceh. Ironisnya, banyak warga Rohingya yang melarikan diri dari tempat penampungan dan tidak diketahui dimana keberadaannya saat ini, padahal pemerintah Aceh memberikan tempat dan makanan bagi mereka.
Tahun 2023 menjadi periode yang penuh kontroversi di Aceh seiring terus meningkatnya jumlah warga Rohingya yang tiba, memicu perdebatan dan pro kontra di kalangan masyarakat setempat. Bahkan, gelombang protes mencapai puncaknya dengan terjadinya demo besar-besaran yang dilakukan oleh penduduk Aceh untuk menolak penampungan warga Rohingya di desa-desa mereka.
Puncak ketegangan terjadi pada 16 November 2023, ketika ratusan pengungsi Rohingya tiba di Bireuen, hanya untuk dihadapkan pada penolakan keras dari warga setempat. Demonstrasi protes mengiringi kedatangan mereka, mencerminkan ketidaksetujuan dan kekhawatiran masyarakat terhadap kehadiran para pengungsi. Akibatnya, rombongan tersebut terpaksa bertolak ke pesisir pantai kawasan Ulee Madon, Aceh Utara, sebagai upaya mengatasi konflik yang muncul.
- Advertisement -
Kedatangan terakhir warga Rohingya ini menyulut api protes dan penolakan dari warga setempat, yang merasa tidak nyaman dengan tingkah laku dan dampak yang ditimbulkan oleh imigran Rohingya. Keadaan semakin rumit karena persepsi negatif terhadap kelompok ini menjadi semakin kuat di masyarakat Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya terbatas pada aspek kemanusiaan, tetapi juga menimbulkan ketidaknyamanan dan kekhawatiran di tengah-tengah komunitas lokal.
Kondisi ini menuntut adanya penanganan yang hati-hati dan koordinasi antara pemerintah daerah, lembaga kemanusiaan, dan masyarakat untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Kesadaran akan pentingnya dialog dan pemahaman bersama perlu ditingkatkan agar Aceh dapat mengatasi tantangan ini dengan bijaksana dan menghindari eskalasi konflik yang lebih lanjut.Namun, aksi ini belum mendapatkan respon mutakhir dari berbagai pihak baik dari pemerintah Aceh maupun dari Pemerintah pusat. Padahal sudah banyak negara yang menutup pintu untuk menerima pengungsi ke negara mereka seperti Malaysia, Singapura dan Australia.
Tentunya sebagai pemerintah daerah Aceh mengalami tekanan dari bawah dan atas serta dari berbagai pihak. Masyarakat menolak kehadiran warga Rohingya didesa mereka sedangkan Amnesty Internasional Usman Hamid mendesak agar pemerintah Aceh menerima pengungsi tersebut. Padahal Presiden Indonesia sudah menegaskan bahwa indonesia tidak menandatangani Konvensi Pengungsi, sehingga menampung mereka sebenarnya bukanlah kewajiban, hanya karena dasar kemanusiaan. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal juga menyampaikan bahwa penerimaan warga Rohingya hanya atas dasar kemanusiaan, Indonesia tidak memiliki kewajiban menampung mereka sehingga penampungan yang diberikan hanya jangka pendek dan tidak bersifat permanen.
Secara logika, kedatangan imigran Rohingya sudah sangat mencurigakan, terlebih melihat respon dari Badan PBB yaitu UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) yang terus mendesak Pemerintah Aceh untuk menerima warga Rohingya padahal sudah jelas Indonesia tidak termasuk ke dalam negara yang menandatangani konvensi PBB tentang pengungsi.
Ada apa dengan kedatangan imigran ini masih menjadi misteri, bahkan ironisnya ada yang mengaitkan dengan sindikat perdangan orang. Ketidakpastian dan kontroversi yang mengitarai kedatangan besar-besaran warga Rohingya di Aceh memunculkan kebutuhan mendesak untuk respon yang tepat dan cepat dari pemerintah. Kondisi ini seakan menjadi PR bersama bagi masyarakat Indonesia, terutama warga Aceh, yang kini dihadapkan pada dampak sosial dan potensi gangguan terhadap tatanan masyarakat dan kesejahteraan lokal.
Sehingga diharapkan pentingnya respon yang efektif oleh pemerintah dan dapat mengambil langkah-langkah yang bijaksana dan menyeluruh untuk menangani situasi ini. Diperlukan koordinasi yang baik antara pemerintah daerah, lembaga kemanusiaan, dan kelompok masyarakat terkait untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.
Penulis adalah mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.