Tujuh keranjang bumbu ukuran sedang masing-masing berisi potongan serai, daun kari, daun salam, daun jeruk, daun pandan, daun kunyit dan karet gelang terletak di sisi kiri dalam lemari. Berjejeran di sebelahnya dua toples kaca kecil berisi ketumbar dan kunyit bubuk. Wadah plastik berbagai warna seukuran belanga sedang, tersusun memenuhi sisi kanan lemari. Masing-masing wadah berisi bumbu-bumbu rempah yang sudah digiling dan diparut. Bawang putih, bawang merah, jahe, kelapa gongseng, asam sunti, cabe merah, cabe rawit, lengkuas, ketumbar, dan kemiri.
Semua bumbu yang dijualnya diolah sendiri. Di dalam Kios terdapat mesin penggiling bumbu, mesin parut kelapa, mesin parut lengkuas, tumpukan ember berisi air, karung-karung berisi cabe rawit, tumpukan daun salam, seplastik besar daun pandan dan karung berisi lengkuas setinggi pinggang orang dewasa.
“Kak Ta, bungkoh bumbu peuet boh (Kak Ta, bungkus bumbu empat buah),” ujar seorang laki-laki tambun yang berjalan dari arah pasar daging yang berada tepat di depan lapak jualan perempuan yang disapa Kak Ta tersebut.
“Bumbu peu (bumbu apa)?” sahutnya berjalan ke depan kios, meninggalkan kelapa yang hendak diparutnya.
Lelaki itu kembali menjawab “Untuk ayam penyet, manok goreng (ayam goreng), bumbu nasi goreng. Saboh teuk udeung masak aceh, beu keung kak beh, lon galak keung-keung (satu lagi udang masak aceh, yang pedas ya kak, saya suka pedas),” ujarnya.
“Get,” tangan Buk Ta bergantian menciduk bebumbuan giling yang ada di lemari di depannya, sendok di tangannya menyauk ke wadah berisi bawang putih, bawang merah, cabe giling. Lalu dia memasukkan lengkuas parut, menambahkan gilingan kemiri, menyematkan dua lembar daun jeruk di ujung plastik ukuran ¼ kg itu lantas mengikatnya dengan karet gelang. Keempat bumbu masakan itu dihargai 20 ribu rupiah, masing-masing hanya 5 ribu rupiah. Meski hari itu, Kamis (30 Juni 2022) harga cabai meroket hingga 100 ribu rupiah, Buk Ta masih menjual bumbu dengan harga yang sama.
Buk Ta kembali masuk ke kios berukuran 2 x 5 meter melanjutkan memarut sekeranjang kelapa yang tadi ia tinggalkan. Kios yang terletak di Pasar Induk Lambaro itu disewanya dengan harga 5 juta per tahun. Kios bernomor 11 dengan warna hijau toska itu berada tepat di sebelah mushala kecil di sudut pasar, tepat menghadap ke barat, berseberangan langsung dengan pasar daging.
- Advertisement -
“Ibu jarang di rumah, semuanya ibu kerjain di sini. Bahan-bahan ibu suruh antar ke sini enggak mau ibu ke rumah, sampai rumah udah istirahat aja jangan kerja-kerja lagi,” ujar perempuan setengah abad yang kerab disapa Kak Ta.
Satu dua yang datang menyapanya Kak Ta, yang lainnya memanggil Kak Tam. Seorang temannya yang berjualan cabai di dalam pasar sana mengatakan panggilan Kak Tam disematkan karena warna kulitnya.
“Kami panggilnya Kak Ta, orang-orang ni aja yang manggil Kak Tam, padahalkan enggak boleh gitu” matanya mengerling ke kanan merujuk sekumpulan penjual di sisi kananya.
Si empunya nama tak masalah dipanggil apa saja “Ibu dipanggil apa aja nyaut, kak ta, kak tam, apa aja,” ujarnya sembari tersenyum. Agustus ini Buk Ta genap berusia 55 tahun. Warna kulitnya sawo matang, alis matanya hitam tebal kontras dengan warna matanya yang coklat. Dua tahi lalat menempel di sisi kanan wajahnya, di hidung dan di atas bibir kanan. Ruas atas jari-jari tangan dan kakinya dipenuhi inai merah, katanya inai itu sengaja ia pakai untuk menutupi goresan luka terkena pemarut kelapa. Tingginya sekitar 150 cm, celemek oren pudar dengan motif lebah menutupi setengah tubuhnya.
Sebelum menjual bumbu giling, Buk Ta bekerja di salah atu rumah makan di Pasar Aceh. Namun setelah tsunami, rumah makan itu tak beroperasi lagi. Pasca tsunami ia menjual lontong dan nasi pagi di bundaran pasar lamabaro yang saat ini berdiri gedung Mal Pelayanan Publik Aceh Besar. Ia akhirnya memilih berjualan bumbu karena penghasilannya dari lontong dan nasi pagi tidak bisa mencukupi kebutuhan makan pengungsi yang tinggal di rumahnya. “Malu ibu, sedih. Ibu jualan makanan tapi enggak bisa kasih mereka makan,” ujarnya setengah bergumam, kepalanya tertunduk.
Bahan baku awal berjualan bumbu ia dapat dari pemilik warung tempatnya bekerja dulu. Anak si pemilik warung menyerahkan rempah-rempah yang yang selamat dari gelombang tsunami kepada Buk Ta “Kata dia, orang tuanya suruh kasih ke ibu, datang anak tu cari ibu dari Riau sana. Satu mobil besar tu dia bawa. Merinding ibu,” matanya menerawang ke depan, lengan bajunya yang sedari tadi tergulung, seketika ia turunkan.
Buk Ta beranjak dari obrolan, sejak laki-laki berbadan tambun tadi, belum ada lagi pembeli yang mampir membeli bumbu. “Biasanya sampai dua tiga kali giling, ini sekali giling aja belum habis. Memang kata orang Aceh bulan-bulan dekat lebaran haji ni bulan meuseupet (terjepit),” ujarnya.
Sembari menunggu pembeli, ia mengambil beberapa batang serai dari bawah lemari kemudian memotongnya di atas sebilah kayu. Serai itu dipotongnya seukuran jempol, semua potongan serai nyaris berukuran sama. Tak lama seorang pembeli datang. Ia sodorkan uang 50 ribu rupiah untuk satu plastik bumbu mie goreng. Si perempuan berkacamata terhitung pembeli kedua hari ini. Setelah menerima uang tersebut, Buk Ta berjalan menuju warung kopi yang berjarak 3 kios dari lapaknya, ia mencari uang kembalian.
Belum ada pembeli yang mampir ke lapak bumbu Buk Ta. Ia raih tumpukan daun pandan kemudian membasuhnya dengan kain basah seukuran telapak tangan.
“Ini harus bersih, jangan teraniaya orang beli sama kita, sayang nanti waktu dia makan enggak enak,” ujarnya sambil terus membasuh sisa-sisa tanah yang menempel pada helai-helai daun pandan. Lalu ia mengambil daun salam dari karung dan memotong tampuknya. Kata dia, daun-daun itu juga harus rapi agar enak dilihat.
Menjelang sore lapak bumbu Buk Ta mulai ramai didatangi pembeli. Wadah hitam berisi gilingan cabe merah hanya menyisakan beberapa sendokan lagi. Sejurus kemudian, Buk Ta berjalan masuk ke dalam pasar. Sekembalinya, ia membawa sekantong cabe merah.
“Ibu cuma beli 40 ribu aja, duitnya cuma ada segitu,” ujarnya sembari memasukkan cabe ke dalam mesin penggiling, wadah yang kosong tadi ia letakkan di bagian bawah mesin, gilingan cabe kembali memenuhi wadah.
“Cabe mahal, cabe murah ya tetap harus jualan. Ibu beli aja seberapa duitnya ada,” ujarnya. Sudah seminggu ini Buk Ta memikirkan modal dagang yang terus menipis akibat lonjakan harga cabe dan rempah-rempah lain. Ia memutuskan akan menaikkan harga bumbu saat hari meugang menjelang Idul Adha nanti. Dia khawatir pembeli kaget kalau harganya dinaikkan sekarang.
“Kemaren aja ada yang bilang ‘kok dikit kali cabenya’ tega dia bilang gitu. Padahal harganya masih lima ribu, dia pun tahu harga cabe lagi mahal,” ujarnya.
Di sela-sela obrolan, seorang ibu berkacamata dengan jilbab motif kupu-kupu mendekat ke kios Buk Ta. Setelah menyapa Buk Ta, ia langsung mengambil plastik bungkusan bumbu. Disauknya beberapa bumbu, masing-masing satu sendokan, hanya saat menyendok cabe merah giling takarannya beda, tiga sendok. Si ibu berjilbab motif kupu-kupu menyerahkan uang Rp5 ribu dan berlalu.
“Ibu sering juga ambil cabe di tempat dia, makanya dia bisa ambil cabe banyak tadi, enggak apa-apa,” ujar Buk Ta tertawa.
Lampu-lampu pasar mulai dihidupkan, satu dua lapak sudah ditinggal pulang pemiliknya. Seorang perempuan seumuran Buk Ta mampir. Dia tidak memesan apa-apa. Buk Ta langsung berjalan menuju lemari bumbu, menyiapkan beberapa plastik berisi bumbu yang berbeda. Si ibu menerima beberapa bungkusan bumbu itu lalu berlalu menaiki becak yang lewat di depannya. Dia tidak menyerahkan uang sama sekali.
“Nanti kapan ada duit dia bayar. Kawan ibu juga tu, dia jualan nasi pagi di Mal sana,” ucapnya.
Lantunan ayat alquran tanda azan magrib akan berkumandang terdengar dari Masjid Jamik Lambaro yang berada tak jauh dari pasar. Wadah-wadah bumbu giling dalam lemari masih tersisa setengahnya. Sambil menutup wadah-wadah itu dengan kelarai (anyaman daun kepala berbentuk tapak catur) Buk Ta berujar “Nanti kalau meugang, lemarinya sampai ujung sana. Ibu nanti enggak kerja sendiri, ada kawan, ada anak juga bantuin,” senyumnya mengembang, harapannya omzet di hari meugang bisa menutupi kerugian penjualan akibat harga cabe dan rempah-rempah lain yang melonjak drastis.