- Pembudidaya kerang hijau di Jakarta resah dengan kondisi perairan Teluk Jakarta yang tercemar.
- Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah, Dinas Lingkungan Hidup Jakarta 2023 menunjukkan, tingkat pencemaran kualitas air laut di wilayah muara, perairan laut, dan perairan Jakarta bervariasi.
- Data times series dari 2015 hingga 2022 menunjukkan bahwa parameter pencemaran seperti kekeruhan, total suspended solid (TTS), fosfat, nitrat, dan amonia mengalami peningkatan. Ini menjadi indikasi memburuknya kualitas air di Teluk Jakarta keseluruhan.
- Limbah ini juga mengalir melalui 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Selain itu, limbah industri dari pabrik-pabrik di sepanjang pesisir turut menyumbang pencemaran.
Tasman (55) terlihat resah. Perairan Teluk Jakarta yang kondisinya tidak ramah, menghantui nasibnya sebagai pembudidaya sekaligus pengepul kerang hijau.
“Saya tidak bisa membayangkan jika budidaya kerang hilang. Banyak orang akan kehilangan pekerjaan,” ujarnya, akhir Desember 2024.
Budidaya kerang hijau telah menjadi denyut nadi ekonomi Tasman yang bermukim di Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Tidak perlu modal besar, budidaya ini cukup menggunakan bagang bambu atau jerigen bekas sebagai media tumbuh. Dalam 3-4 bulan, kerang-kerang yang diletakkan di perairan teluk Jakarta itu, siap panen.
“Sepulang sekolah, anak-anak bisa mengupas kerang. Masyarakat juga mendapat penghasilan dari sini,” imbuhnya.
Kasno (42), pembudidaya kerang hijau di Muara Angke, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, mengungkapkan perairan Teluk Jakarta sekarang jauh berbeda. Sejak ada reklamasi, hasil budidaya menurun. Reklamasi seperti pembangunan pulau-pulau buatan dan penimbunan tanah, berdampak pada kualitas air laut.
- Advertisement -
“Kerang hijau juga terdampak, tingkat keberhasilan budidaya sekitar 60 persen,” terangnya, Selasa (4/2/2025).
Menurut Kasno, limbah dari kawasan industri sekitar Muara Angke juga berpengaruh. Saat musim hujan, inilah waktu paling kritis.
“Air laut jadi kotor, warnanya bisa hitam atau merah.”
Meski laut cukup luas namun limbah tersebut tetap berbahaya, karena arus laut membawanya ke tempat budidaya kerang hijau. “Kami dan juga juga nelayan di Muara Angke butuh solusi untuk permasalahan ini.”
Jeni Alpiani, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jakarta Utara mengungkapkan, pencemaran perairan Teluk Jakarta juga berdampak pada nelayan. Tidak hanya membuat hasil tangkapan menurun tetapi juga nelayan harus melaut lebih jauh.
“Artinya biaya operasional, termasuk bahan bakar jadi lebih besar,” terangnya, Kamis (30/1/2025).
Kondisi tersebut menyebabkan banyak nelayan kehilangan mata pencaharian, beberapa bahkan beralih profesi. Lebih parahnya, perairan yang menghitam akibat limbah membuat sejumlah nelayan pendatang enggan bersandar di Cilincing.
“Kelestarian lingkungan harus kita jaga agar generasi berikutnya dapat memanfaatkannya,” ujarnya.
Baca: Ada Parasetamol di Perairan Teluk Jakarta?
Sejumlah pekerja tampak memisahkan daging dari cangkang kerang hijau di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Kualitas air
Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah, Dinas Lingkungan Hidup Jakarta 2023 menunjukkan, tingkat pencemaran kualitas air laut di wilayah muara, perairan laut, dan perairan Jakarta bervariasi.
Pemantauan yang dilakukan pada 2022 itu dilaksanakan dua periode, dengan pengambilan sampel saat pasang dan surut.
Hasilnya, dari 11 sampel yang diambil di berbagai muara, kondisi mayoritas (63%) masuk kategori ringan. Namun, terdapat 3-4 sampel (27-36%) masuk kategori tercemar berat, khususnya di Muara Kamal dan Muara Angke, yang menjadi titik utama akumulasi limbah dari daratan.
Sedangkan dari 23 sampel yang diambil di laut, mayoritas kategori tercemar ringan. Kategori tercemar berat, tercatat pada 1 sampel setiap periode.
“Perairan di sekitar pulau-pulau di Teluk Jakarta memiliki kualitas relatif lebih baik, dengan semua sampel berada dalam kategori tercemar ringan,” jelas laporan tersebut.
Limbah ini juga mengalir melalui 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Selain itu, limbah industri dari pabrik-pabrik di sepanjang pesisir turut menyumbang pencemaran.
Data times series dari tahun 2015 hingga 2022 menunjukkan bahwa parameter pencemaran seperti kekeruhan, total suspended solid (TTS), fosfat, nitrat, dan amonia mengalami peningkatan.
“Ini menjadi indikasi memburuknya kualitas air di Teluk Jakarta keseluruhan.”
Asep Kuswanto, Kepala Dinas LH Jakarta mengungkapkan, pencemaran yang terjadi tidak hanya dari Jakarta, melainkan juga dari kota-kota sekitar. Untuk itu, masalah ini perlu ditangani sinergis.
“Tidak hanya terkait sampah, tetapi juga air dan udara,” jelasnya kepada Mongabay pada acara Apresiasi Masyarakat Peduli Lingkungan, belum lama ini.
Menurut Asep, ini sesuai amanat Undang-Undang No.2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta, yang menegaskan perlunya aglomerasi dan kerja sama antarwilayah.
Baca juga: Apakah Pembangunan Tanggul Laut di Teluk Jakarta Sudah Tepat?
Nelayan melintas di Sungai Cilincing yang airnya sudah menghitam. Limbah yang dikeluhkan nelayan maupun pembudidaya juga mengalir melalui 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Tantangan berat pencemaran
Hendra Wiguna, Ketua Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI) mengungkapkan, limbah tidak hanya berdampak pada produktivitas kerang, tetapi juga kualitasnya.
Dituturkannya, minimnya pengawasan pemerintah terhadap limbah industri yang mencemari perairan, membuat keberlangsungan budidaya kerang hijau menghadapi tantangan serius.
“Budidaya kerang hijau butuh pengetahuan khusus,” jelasnya, akhir Desember 2024.
Penempatan rakit bambu untuk kerang, tidak bisa sembarang. Nelayan harus memahami arus laut agar kerang dapat menempel dan tumbuh optimal.
“Namun, proyek reklamasi membuat nelayan harus menjangkau titik lebih jauh dengan arus yang belum tentu sesuai. Untuk itu, kualitas perairan harus baik,” jelasnya.
Muhammad Reza Cordova, Peneliti Kimia Laut Ekotologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan, terkait pengelolaan limbah regulasinya sudah tersedia. Namun, pelaksanaan di lapangan masih jauh dari optimal.
Ini dikarenakan biaya cukup mahal, sehingga tidak semua perusahaan atau industri memiliki kemampuan untuk mengolah limbahnya sendiri.
“Padahal, berdasarkan regulasi, mereka mempunyai kewajiban. Kenyataanya, banyak perusahaan yang langsung membuang limbahnya ke sungai atau laut, bahkan menggunakan pipa tersembunyi,” paparnya.
Serupa tapi Tak Sama, Inilah Perbedaan Kerang dan Tiram
Sumber: Mongabay.co.id