- Harimau sumatera ( Panthera tigris sumatrae) terlihat beberapa kali oleh warga Jorong Pagadih Hilia, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar), sepanjang Januari. Sang belang bahkan sempat menerkam sapi milik warga pada Jumat (24/1/2025).
- Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lugi Hartanto menyebut, peristiwa itu mengindikasikan adanya gangguan pada habitat harimau. Tim dari BKSDA telah diturunkan ke lokasi untuk menelusuri peristiwa itu.
- Menurut catatan BKSDA Sumbar, p ada 2022, sedikitnya tercatat 33 kasus yang terjadi, yaitu di Kabupaten Agam (10 kali), Kabupaten Solok (8 kali), dan sisanya di Kabupaten Pasaman.
- Sekretaris Forum HarimauKita, Tomi Ariyanto, mengatakan konflik harimau dengan manusia sebagai potret perebutan ruang dan mangsa. Sebab, meski Sumatera memiliki hutan yang luas, namun akan banyak terfragmentasi oleh jalanan dan organisasi.
Harimau sumatera ( Panthera tigris sumatrae) terlihat beberapa kali oleh warga Jorong Pagadih Hilia, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar), sepanjang Januari. Sang belang bahkan sempat menerkam sapi milik warga pada Jumat (24/1/2025).
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar Lugi Hartanto mengakui kejadian itu. Pihaknya juga telah menurunkan tim ke lokasi untuk melakukan mitigasi lanjutan.
“Tim kami sedang berkoordinasi dengan masyarakat terkait langkah-langkah antisipasi,” kata Hartanto, Jumat (24/1).
Kejadian itu mengindikasikan adanya gangguan pada kawasan hutan yang merupakan habitat harimau. Perlakuan terhadap kawasan hutan seperti perubahan dan pembukaan lahan, baik hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi, akan berdampak pada meningkatnya konflik.
Selain pakan yang berkurang, seperti babi hutan, rusa, dan kijang, kondisi ini juga memicu harimau keluar habitat untuk mencari mangsa.
- Advertisement -
Tim BKSDA telah memasang kamera pemantau di sekitar lokasi dan drone thermal untuk mengantisipasi terjadinya kejadian serupa. Menurut catatan BKSDA Sumbar , p ada tahun 2022 terjadi 33 kasus yang rinciannya di Kabupaten Agam (10 kali), Kabupaten Solok (8 ) kali, dan sisanya di Kabupaten Pasaman. Pada tahun 2023, ada 34 kejadian.
Di Kabupaten Pasaman 18 kali, sementara di Agam, Solok Selatan, dan Solok masing-masing 4 kali, katanya. Selanjutnya pada tahun 2024 sampai Juli sudah 21 kejadian. “Terbanyak di Pasaman (6 kali), Agam (5 kali), serta Pesisir Selatan dan Solok masing-masing 3 kali.”
Baca: Harimau Sumatera Masuk Pekarangan Masjid di Solok, Diduga Terganggu Aktivitas Penangkapan Burung
Harimau sumatera yang kehidupannya semakin terdesak akibat perburuan dan rusaknya habitat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Mengapa ini bisa terjadi?
Peneliti Yayasan Hutan Harimau, Erlinda C Kartika, mengatakan lokasi Nagari Pagadih di Kabupaten Agam, yang berdekatan dengan Suaka Margasatwa Malampah Alahan Panjang, ikut mempengaruhi timbulnya konflik dengan harimau.
“Semakin dekat kawasan konservasi, kemungkinan terjadinya konflik lebih besar dibandingkan daerah yang lebih jauh.”
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar konflik bisa diminimalkan. Misalnya, mengandangkan ternak atau memperhatikan pola aktivitas harimau. Menurut Erlinda, s ecara biologi, harimau merupakan hewan nokturnal yang beraktivitas malam hari sampai dini hari. Oleh karena itu, masyarakat tidak keluar rumah pada waktu tersebut.
“Selain itu, ketika pergi ke ladang jangan sendirian. Minimal tiga orang,” kata lulusan Universitas Wageningen, Belanda ini. Masalahnya, banyak masyarakat yang justru meninggalkan ternak di ladang dengan kondisi terikat. Dengan begitu, ketika ada harimau, ternak tersebut tidak bisa melarikan diri.
Sapi ini selamat meski diserang harimau di Pagadih, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Foto: Dok. warga Pegadih
Se kretaris Forum HarimauKita , Tomi Ariyanto, mengatakan konflik harimau-manusia yang sering terjadi, merupakan potret perebutan ruang. Harimau membutuhkan wilayah jelajah hingga 250 kilometer dan kawasan hutan sebagai tempat berlindung. Masalahnya, kondisi hutan semakin menipis sehingga ruang hidup manusia dan harimau semakin dekat.
Semakin berkurangnya kawasan hutan, pada akhirnya memicu berkurangnya populasi mangsa harimau. Terutama pada kelompok Ungulata atau hewan berkuku.
“Kasus African Swine Fever beberapa tahun lalu, sangat berpengaruh pada hilangnya populasi babi hutan di wilayah Sumatera,” ujarnya, Jumat (31/1).
Tomi katakan, Sumatera sejatinya memiliki hutan yang luas. Namun, banyak terfragmentasi di jalan maupun organisasi. Untuk melintasi antarblok hutan, harimau terkadang harus melewati kawasan warga.
Munawar Kholis, Wildlife Crime Consultant PBB menuturkan, di Kabupaten Agam, ada beberapa kantong kecil sebagai populasi harimau. Seperti di Suaka Margasatwa (SM) Malampah-Alahan Panjang (Utara), Cagar Alam Maninjau (Tengah), dan Singgalang-Tandikat (Selatan) yang terhubung ke TN Kerinci.
“Kantong-kantong kecil ini terpisah oleh areal penggunaan lain, yang sebagiannya berubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan,” ujarnya. Lokasi-lokasi yang berubah itu pula, memiliki kecenderungan konflik tinggi.
Konflik Manusia dengan Harimau Sumatera Belum Berakhir
Sumber: Mongabay.co.id