- Usulan Revisi Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) menuai kontroversi. Para akademisi menyuarakan kekhawatiran mereka. Belum lagi bersamaan dengan itu muncul wacana pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi sontak menuai protes berbagai kalangan.
- Dari laporan Celios dan Greenpeace pada 2024 berjudul ‘Kesejahteraan Semu di Sektor Ekstraktif’ menunjukkan, desa di area atau dekat tambang memiliki akses pendidikan rendah, kesehatan buruk dan konflik tinggi. Sudah jelas biaya eksternalitas negatif tambang menyebabkan kerusakan bagi lingkungan dan kualitas sumber daya manusia lokal, hingga kerugian kesehatan dalam jumlah yang besar.
- Herlambang Perdana Wiratman, Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut, kampus harus tetap mempertahankan maruah akademiknya. Forum Rektor seharusnya bisa mendorong pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan minimal 20% anggaran belanja mereka untuk pendidikan. Hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 20/2003, tentang Pendidikan Nasional yang tidak selalu terpenuhi secara konsisten selama ini.
- Eko Cahyono, Sosiolog Pedesaan mengatakan, kampus, merupakan lembaga yang seharusnya berfungsi untuk mengajar. Kalau ikut-ikutan menambang, maka kepercayaan publik akan turun terhadap kaum intelektual yang seharusnya bisa jadi kontrol kekuasaan di negara demokrasi.
- Advertisement -
Usulan Revisi Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) menuai kontroversi. Para akademisi menyuarakan kekhawatiran mereka. Belum lagi bersamaan dengan itu muncul wacana pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi sontak menuai protes berbagai kalangan.
Revisi RUU Minerba jadi usulan inisiatif DPR setelah rapat paripurna ke-11 DPR, 23 Januari lalu.
Eko Cahyono, Sosiolog Pedesaan, tidak bisa menyembunyikan kekesalan terhadap revisi UU Minerba ini. Pemerintah, katanya, mencoba mewajarkan hal yang salah dengan merangkul dua otoritas penting yang seharusnya bisa mengontrol mereka: keagamaan dan intelektual.
Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) University itu melihat tiga fenomena penting jadi perhatian. Pertama, kondisi banalitas kejahatan. Istilah yang Sejarawan dan Filsuf Hannah Arendt populerkan ini merupakan kondisi saat kejahatan menjadi hal normal.
“Si pelaku kejahatan ini tidak bisa lagi merasakan bagaimana di posisi korban… ini terjadi ketika tidak ada yang nyemprit, tidak ada yang mengkritik,” kata Eko.
Dalam politik, katanya, banalitas kejahatan juga bisa terjadi ketika kejahatan dilakukan bersama-sama. Sistem pemerintahan yang demokratis menjadi tidak terkontrol ketika mereka menggandeng berbagai pihak untuk melakukan hal yang salah.
Dengan demikian, praktik pertambangan yang selama ini memberikan dampak negatif akan kabur. “Ya wong semua melakukan hal yang sama, kok. Ini jadi lumrah, ini jadi wajar,” katanya.
Kalau kondisi ini terus lanjut di berbagai lini, dampak terburuknya akan mengarah pada kekerasan pembangunan. Negara tidak akan segan menggunakan berbagai instrumen kekuasaan, termasuk militer, untuk menjaga kepentingan politik mereka.
“Karena itu, sebenarnya konsep negara modern itu butuh penyeimbang dari kalangan masyarakat sipil, hingga akademisi,” kata Eko.
Kedua, terjadi demoralisasi terhadap kampus. Demoralisasi, katanya, terjadi ketika satu lembaga atau otoritas tertentu runtuh karena masyarakat menilai tidak lagi sesuai dengan standar yang seharusnya.
Kampus, katanya, merupakan lembaga yang seharusnya berfungsi untuk mengajar. Kalau ikut-ikutan menambang, maka kepercayaan publik akan turun terhadap kaum intelektual yang seharusnya bisa jadi kontrol kekuasaan di negara demokrasi.
“Kalau kampus mengalami demoralisasi, kita kehilangan benteng moral. Kepada siapa kita mengadu?”
Eko tidak menampik ada ilmu pertambangan di beberapa kampus. Meskipun demikian, tambang erat kaitan dengan korporasi, yang kerap anti sains.
“Kalau kampus bermain di isu ini, maka siapa yang akan menjaga independensi kampus?”
Ketiga, munculnya benih otoritarianisme. Berdasarkan risetnya di wilayah pertambangan, tidak ada suara kritis terhadap pertambangan merusak ketika semua pihak sudah dirangkul.
Pilar-pilar demokrasi menjadi tidak bertaji ketika sudah dirangkul perusahaan pertambangan. “Ketika jurnalis sudah dibeli, kampus dikasih CSR, pemerintah daerah dikasih revisi tata ruang dengan uang besar, maka tidak ada yang berani mengkritik,” kata Eko.
Dia pun mengkritik isu populis yang dimainkan untuk membenarkan pemberian izin tambang bagi kampus. Salah satunya, demi kesejahteraan pegawai kampus dan keringanan uang kuliah tunggal (UKT), sebagaimana Forum Rektor ungkapkan.
Nelayan Mandiodo, sulit dapat ikan lagi ketika laut sudah rusak karena limbah tambang nikel. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia
Senada dengan Herlambang Perdana Wiratman, Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Dia menyebut, kampus harus tetap mempertahankan maruah akademiknya.
Forum Rektor seharusnya bisa mendorong pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan minimal 20% anggaran belanja mereka untuk pendidikan. Hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 20/2003, tentang Pendidikan Nasional yang tidak selalu terpenuhi secara konsisten selama ini.
“Forum Rektor ini jangan sembarangan. Kalau ingin menguatkan pendidikan harusnya dorong aturan 20% sesuai mandat konstitusi. Pendidikan itu tanggung jawab negara,” katanya.
Herlambang bilang, konsentrasi melayani pendidikan akan terganggu lewat wacana pengelolaan tambang oleh kampus. Sebab, mengelola tambang bukan perkara mudah.
“Mengelola kampus saja belum bener, ditambah lagi mau mengelola tambang,” katanya.
Sedangkan, tambang memiliki rekam jejak yang erat dengan kerusakan lingkungan dan konflik. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Leiden ini menyebut, hampir semua tambang pasti merusak lingkungan.
Beberapa kasus nyata dia contohkan. “Di Kendeng, tambang nikel di Maluku Utara, juga masalah lubang tambang batubara yang tidak bisa direklamasi.”
Belum lagi dengan konflik yang muncul dan membuat masyarakat menjadi korban. Kalau begitu, katanya, kampus akan berhadapan dengan masyarakat (korban).
Di Indonesia, ada 3.115 perguruan tinggi. Dia tidak bisa membayangkan kerusakan dan konflik yang timbul jika kampus- kampus mengelola tambang.
“Cara pikir ini merusak. Seolah wacana ini akan menguatkan pendidikan, sebenarnya justru alat untuk menopang bisnis. DPR harus hati-hati, jangan main-main.”
Laut Wawonii dengan sebagian air berubah warga oranye, diduga cemaran ore nikel. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia
Laode Muhammad Aslan, Guru Besar Ilmu Kelautan dan Perikanan UHO khawatir terhadap wacana ini. Sebagian besar universitas tidak memiliki infrastruktur, keahlian dan tak ada rekam jejak mengelola tambang secara bertanggung jawab.
“Perlu dipetakan dulu agar tidak sesat sesaat dengan iming-iming pemerintah,” ucap Aslan yang tiga tahun terakhir fokus dalam observasi ilmiah mengenai dampak negatif kehadiran industri nikel di Sultra terhadap kelompok minoritas di kawasan pesisir.
Dia bilang, ada tiga kemungkinan terjadi jika universitas kelola tambang: kurangnya persiapan, risiko kerusakan lingkungan, dan kurangnya akuntabilitas.
Tiga hal ini berkorelasi erat. Menurut Aslan, universitas yang mengelola tambang tidak akan jauh berbeda dengan perusahaan penambangan.
Bahkan, universitas, katanya, akan menjadi sama dengan perusahaan pertambangan yang tidak bertanggung jawab atas konsekuensi lingkungan dan sosial dari kegiatan mereka. Masyarakat lokal ditinggalkan untuk menanggung beban degradasi lingkungan dan gangguan sosial.
“Saya khawatir perguruan tinggi merupakan bagian dari perusak lingkungan,” kata Aslan. “[Sementara] selama ini kita mengadvokasi supaya lingkungan tidak dirusak.”
Untuk itu, kalau pemerintah ngotot memberikan izin pertambangan bagi kampus, harus ada beberapa pengaman yang diperkuat. Antara lain, jaminan tertulis dari kampus supaya mereka menanggung biaya kerusakan lingkungan karena kegiatan mereka.
Jaminan itu harus sama dengan jumlah kerusakan yang timbul dan didukung oleh aset universitas. Hal ini untuk memastikan kampus mampu bertanggungjawab atas kegiatan merusak mereka.
Konsesi tambang batubara yang menyebabkan kehancuran lingkungan. Foto: Jatam Kaltim
Suara mahasiswa terdampak tambang
Penolakan pun datang dari kampus di daerah terdampak ganasnya tambang. La Ode Muhammad Barton, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), mengatakan, fokus birokrat perguruan tinggi akan terbelah.
“Saya menolak,” katanya dengan tegas.
Barton mendorong, pemerintah transparan, akuntabel, dan melibatkan mahasiswa dalam pengambilan keputusan ihwal pengelolaan tambang oleh kampus. Dia juga meminta kampus tidak tergiur iming-iming pemerintah, dan mengalihkan fokus pada penanganan masalah dampak pertambangan.
Dari pengalaman terlibat dalam berbagai advokasi memperjuangkan suara masyarakat di sekitar tambang nikel di Sultra, Barton tahu persis kondisi kepentingan pemodal, aparat, dan akademisi yang berkelindan. Mengorbankan ruang hidup petani dan nelayan.
“Praktik ini melahirkan kemiskinan struktural yang panjang dan lintas generasi,” katanya.
Tayci, mahasiswa di Kendari, juga menolak wacana kampus kelola tambang.
Dia merasakan sulitnya memenuhi biaya perkuliahan karena produktivitas perkebunan dan laut orang tuanya di Pulau Wawonii rusak karena pertmbangan.
“[Sebelumnya] saya merasa berkecukupan bisa membayar SPP dari hasil tani kami, jambu mete, cengkih, kelapa, dan lainnya. Namun menjadi masalah karena pertambangan di Pulau Wawonii.”
Tayci berpendapat, usulan DPR ini sebagai taktik membungkam suara mahasiswa terhadap praktik pertambangan kebijakan pemerintah.
Jefri, Ketua Persatuan Pemerhati Daerah Konawe Utara (P3D Konut), organisasi yang beranggotakan mahasiswa dan pemuda lokal, menyuarakan penolakan sama. Konut merupakan kabupaten dengan jumlah izin nikel terbanyak di Indonesia.
Menurut Jefri, pemerintah akan makin menyulitkan masyarakat pedesaan yang hidup di lingkar pertambangan. Memaksaan mereka mencari pekerjaan di bidang lain yang tidak mereka kuasai.
Di Konawe Utara, katanya, pertambangan nikel memberikan dampak negatif pada mata pencaharian masyarakat, baik pertanian maupun perikanan.
“Sementara kompensasi bagi pemilik tanah kurang. Waga lokal kehilangan penghasilan dan tidak bisa menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi.”
Debu mengepul pekat di jalan yang dilalui angkutan batubara di Koto Boyo, Batanghari. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia
Broker tambang
Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara, khawatir kebijakan yang kampus mengelola tambang justru membuat institusi akademis itu menjadi broker tambang.
Bisnis tambang itu perlu modal besar. Untuk mengelola tambang 500 hektar, misal, kata Bhima, setidaknya perlu modal Rp500 miliar. Antara lain, untuk biaya uji kelayakan, eksplorasi, mine development, transportasi, reklamasi lahan pasca tambang, pajak dan royalti.
“Begitu disuruh buat uji lab dan uji kelayakan sudah jebol keuangannya,” kata Bhima.
Kalau kampus dapat izin tambang, bukan tidak mungkin justru menjadi broker tambang. Dalam hal ini pengelolaan kampus serahkan ke perusahaan lain atau kontraktor, dengan bagi hasil minim ke kampus.
“Ini yang mungkin terjadi,” katanya.
Dari laporan Celios dan Greenpeace pada 2024 berjudul ‘Kesejahteraan Semu di Sektor Ekstraktif’ menunjukkan, desa di area atau dekat tambang memiliki akses pendidikan rendah, kesehatan buruk dan konflik tinggi.
“Sudah jelas biaya eksternalitas negatif tambang menyebabkan kerusakan bagi lingkungan dan kualitas sumber daya manusia lokal, hingga kerugian kesehatan dalam jumlah yang besar,” katanya.
Studi lain yang Celios dan CREA rilis tahun 2024 pun menunjukkan risiko kematian dini dari tambang dan smelter nikel yang menembus 3.800 orang per tahun. Serta perkiraan kerugian kesehatan mencapai Rp40 triliun pada 2025.
Atas dasar kajian-kajian itu, Bhima tak habis pikir terhadap sikap Forum Rektor yang mendukung kampus mengelola tambang.
Ide kampus mengelola tambang, kata Bhima, tidak sejalan dengan tri dharma perguruan tinggi. Semestinya, kampus fokus pada pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
Suara kampus lewat dosen dan mahasiswa akan terbungkam kalau menerima izin tambang dari pemerintah.
“Ketika terjadi konflik dengan masyarakat sekitar, kampus justru jadi security yang siap membela eksistensi tambang,” katanya.
Kawasan tambang nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, menyebbakan pencemaran laut dan berdampak pada masyarakat sekitar. Foto: WALHI Sulsel.
********
Pemerintah Mau Bagi-bagi Izin Tambang untuk Ormas, Jatam: Itu Ngawur!
Sumber: Mongabay.co.id