- Tunggu Tubang menjadi bagian penting dalam sistem adat masyarakat Semende di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
- Tunggu Tubang tersebar di sepanjang Bukit Barisan. Sistem adat ini memberi kuasa kepada anak perempuan untuk mengelola pusaka keluarga yang tidak boleh diperjualbelikan, yakni rumah, sawah atau kebun, dan danau buatan.
- Sekitar 70 persen dari hasil padi Tunggu Tubang, digunakan untuk berbagi dengan jeme [orang] di dusun atau acara-acara adat. Sisanya, digunakan untuk kebutuhan keluarga.
- Bertahannya sistem adat Tunggu Tubang, sejalan dengan terjaganya ribuan hektar lanskap sawah di wilayah Semende, didukung pengetahuan tata kelola lanskap yang arif.
Sebagian petak sawah di Desa Muara Tenang, Kecamatan Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, mulai menghijau. Umawara [55], seperti perempuan Semende lainnya, terlihat sibuk menanam bibit padi yang sudah disemai sebulan lalu.
“Semoga hasil panen melimpah, bisa untuk keluarga dan berbagi jeme [orang] lain,” terangnya, awal Januari 2025.
Sebelum diturunkan kepada anaknya [Umaya], Umawara merupakan Tunggu Tubang generasi ke-12 di keluarganya. Mereka mengelola sawah yang diturunkan puyang [leluhur] keluarganya, dari generasi ke generasi.
Tunggu Tubang adalah bagian penting dari sistem adat masyarakat Suku Semende yang tersebar di sepanjang Bukit Barisan, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Sistem adat ini memberi kuasa kepada anak perempuan untuk mengelola pusaka keluarga yang tidak boleh diperjualbelikan, yakni rumah, sawah atau kebun, dan tebat [danau buatan].
Selain itu, ada juga sosok meraje [anak laki-laki] yang bertugas mengasuh dan membimbing anak belai [calon tunggu tubang], serta membina dan membimbing Tunggu Tubang. Meraje juga bertugas mengawasi tunggu tubang, atau bahkan dapat memberikan sanksi apabila terjadi pelanggaran atau pengabaian adat istiadat oleh Tunggu Tubang.
- Advertisement -
“Kalau ada Tunggu Tubang yang menjual sawahnya, bisa dimarahi meraje, atau lebih buruk lagi akan mendapat bala’, entah itu sakit dan lainnya,” kata Umaya [44], Tunggu Tubang generasi ke-13.
Baca: Tumutan Tujuh, Tradisi Suku Semende Menjaga Sumber Air dan Kehidupan Kucing Liar
Umawara [55], Tunggu Tubang generasi ke-12 di keluarganya mulai menanam padi di sawah Desa Muara Danau, Kecamatan Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Berbagi hasil panen
Setiap Tunggu Tubang, menurut Umaya, biasanya memiliki sawah tidak lebih tiga hektar. Dengan sekali panen, satu hektar sawah maksimal menghasilkan tiga ton gabah dan paling rendah satu ton.
Umaya harus bijak mengelola hasil panen. Karena, selain untuk kebutuhan keluarga, padi yang dikelola Tunggu Tubang wajib dibagikan kepada orang lain, di sekitar desa yang memiliki hajatan. Sebut saja untuk acara kawinan, sedekah kampung, yasinan, dan acara adat lain.
“Itu sudah jadi aturan adat, kami harus mengikuti. Kalau dihitung, sekitar 70 persen hasil panen digunakan untuk berbagi. Sisanya, digunakan untuk kebutuhan keluarga [makan]. Kalau ada sisa, disimpan di tengkiyang.”
Tengkiyang merupakan tempat penyimpanan padi masyarakat Semende, yang letaknya dekat pondok, tebat, dan sawah. Proses pemanenan dengan cara ngetam atau memotong padi beserta batangnya, memastikan kualitas padi tidak menurun, dan bisa bertahan selama bertahun.
“Kami menggiling padi saat dibutuhkan. Kalau semua digiling menggunakan mesin, hanya bertahan tiga bulan.”
Baca: Kearifan Suku Semende: Menjaga Alam dan Bersahabat dengan Kucing Liar
Bibit padi yang sudah disemai sekitar satu bulan ini siap ditanam. Ada empat jenis padi lokal yang sering ditanam oleh Tunggu Tubang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Ada lima jenis padi lokal yang ditanam di persawahan Tunggu Tubang, yakni padi pandan, padi pulut, padi berang, padi sebur putih, dan padi sebur kuning. Namun, saat ini hanya empat jenis padi terakhir yang sering ditanam.
“Padi pulut khusus acara orang sedekah, atau undangan meraje. Padi berang untuk dibuat tapai [fermentasi], sekaligus punya khasiat obat untuk bibir pecah-pecah, atau biasa kami sebut sebagai pendingen [pendingin]. Sedangkan padi sebur putih dan padi sebur kuning untuk makan sehari-hari.”
Meski harus berbagi dengan orang banyak, Umayah merasa hasil panen setiap tahun sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Untuk tambahan ekonomi, kami membantu sawah orang lain. Doanya, semoga hasil panen kami melimpah, agar terus bisa berbagi dengan warga di dusun ini,” terangnya.
Baca: Suku Semende: Sawah Itu Seperti Manusia, Butuh Waktu Istirahat Tanam
Kacang panjang yang ditanam di lahan sawah Tunggu Tubang menjadi tanaman sela sembari menunggu musim tanam padi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Bertahan ratusan tahun
Masyarakat Semende yang menerapkan sistem adat Tunggu Tubang, terbagi tiga kecamatan, yakni Semende Darat Laut, Semende Darat Ulu, dan Semende Darat Tengah. Total penduduk di masing-masing kecamatan berkisar 11-18 ribu jiwa, dengan jumlah kepala keluarga [KK] di setiap desa kisaran 300-400 KK.
Menurut Ahmad Karmansyah [47], tokoh masyarakat di Desa Palak Tanah, Kecamatan Semende Darat Tengah, sebagian besar penduduk di wilayah Semende merupakan keluarga Tunggu Tubang.
“Tapi belum ada data pasti terkait jumlahnya,” jelas Karmansyah yang menikah dengan Tunggu Tubang, awal Januari 2025
Foto: Kopi adalah Identitas Suku Semende
Tengkiyang, tempat atau pondok penyimpanan padi masyarakat Semende. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Jika diasumsikan, satu Tunggu Tubang mewakili 2-3 KK. Sedangkan satu desa sekitar 300-an KK, maka jumlah Tunggu Tubang per desa sekitar 100 orang.
“Ada yang sudah 14 hingga 20-an generasi. Pergantian generasi kisaran 20-25 tahun. Jika sudah ada yang mencapai 24 generasi, artinya Tunggu Tubang sudah bertahan sekitar 600-an tahun.”
Hal ini dikuatkan pernyataan Umaya bahwa ia dan anak perempuannya adalah generasi Tunggu Tubang ke-13 dan ke-14.
“Itu seingat saya, kalau generasi puyang lain mungkin lebih,” katanya.
Lahan persawahan di sekitar Desa Kota Agung membentuk lanskap yang teratur, dan telah bertahan selama ratusan tahun. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Bertahannya sistem adat Tunggu Tubang, sejalan dengan terjaganya ribuan hektar lanskap sawah di wilayah Semende. Pada 2017, menurut data Badan Pusat Statistik [BPS], luas sawah di tiga kecamatan Semende mencapai 4.167 hektar.
“Meski sawahnya tidak luas, namun telah menghidupi kami selama ratusan tahun,” kata Umaya.
Ketahanan pangan ini didukung berbagai pengetahuan masyarakat Semende dalam mengelola lanskap pangan mereka. Ini terlihat dari pemilihan lokasi, saluran irigasi, sumber mata air berupa tebat yang dilarang dirusak, hingga hutan larangan yang disebut ulu ayek [hulu air].
“Semua itu sudah diatur leuhur. Kami bangga menjadi keluarga Tunggu Tubang yang punya tugas mulia untuk menjaga dan melestarikan pangan masyarakat,” tegas Karmansyah.
Tunggu Tubang, Sistem Adat Masyarakat Semende Jaga Ketahanan Pangan
Sumber: Mongabay.co.id