- Sejumlah organisasi masyarakat sipil memberikan catatan menyoroti jelang 100 hari masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Mereka menilai, tak ada langkah maju dalam perlindungan hutan maupun perbaikan lingkungan hidup.
- Mukri Friyatna, Deputi Eksternal Walhi mengatakan, tahun ini angka deforestasi berisiko naik antara 0,5-0,6 juta hektar. Jumlah itu meningkat 250%-300% dari 2023 sebesar 0,2 juta hektar.
- Kaoem Telapak, dalam surat pada presiden, juga mengkritik pandangan pemerintah terkait investasi sawit di kawasan hutan. Mereka menilai, konversi hutan menjadi kebun sawit akan melepas karbon yang tersimpan di dalam tanah dan memperburuk krisis iklim.
- Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan, pengembangan biodiesel sebagai upaya mewujudkan kemandirian energi, perlu hati-hati, bijaksana dan memperhatikan trade-off (risiko investasi). Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mendorong pemerintah lakukan diversifikasi bahan baku biodiesel ke sumber-sumber lain. Tujuannya, mengurangi ketergantungan tinggi pada minyak sawit.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil memberikan catatan menyoroti jelang 100 hari masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Mereka menilai, tak ada langkah maju dalam perlindungan hutan maupun perbaikan lingkungan hidup.
- Advertisement -
Walhi menyatakan, 100 hari kepemimpinan Prabowo-Gibran sekadar melanjutkan krisis lingkungan dan demokrasi dari periode sebelumnya, bahkan makin memburuk.
Mukri Friyatna, Deputi Eksternal Walhi mengatakan, tahun ini angka deforestasi berisiko naik antara 0,5-0,6 juta hektar. Jumlah itu meningkat 250%-300% dari 2023 sebesar 0,2 juta hektar.
Sinyalemen itu muncul dari pernyataan Prabowo soal ekspansi sawit. Presiden mengasumsikan tanaman sawit punya fungsi dan peran seperti tumbuhan hutan alami. Juga, wacana Menteri Kehutanan tentang pembukaan 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi.
Pohon besar di rimba (hutan) adat Dayak Pitap. Mereka membagi-bagi hutan dalam beberapa zona, ada yang hutan keramat, yang tak boleh diganggu sama sekali. Foto: Riyad Dafhi Rizki/ Mongabay Indonesia
Selain itu, ada pula proyek food estate seluas 3,2 juta hektar di kawasan hutan alam dengan luasan 1,5 juta hektar. Serta, izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan mineral dan logam seluas 9 juta hektar.
“Padahal, yang sudah berproduksi sudah sampai pada angka 8 juta hektar,” katanya ketika meluncurkan Tinjauan Lingkungan Hidup 2025, pekan lalu.
Dia menilai, persoalan-persoalan itu terpicu defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar Rp612 triliun. Kemudian, sejak terbit UU Cipta Kerja pemerintah memberi banyak kemudahan bagi investasi di proyek strategis nasional (PSN) dan proyek-proyek prioritas.
“Jadi, semua mengarah ke sana (kemudahan investasi). Demikian juga tata ruang, kalaupun ada yang bermasalah, menteri bisa ‘mainkan’ (ubah peraturan/ diskresi),” katanya.
Kaoem Telapak, dalam surat pada presiden, juga mengkritik pandangan pemerintah terkait investasi sawit di kawasan hutan. Mereka menilai, konversi hutan menjadi kebun sawit akan melepas karbon yang tersimpan di dalam tanah dan memperburuk krisis iklim.
“Pada 2021-2022, perkebunan sawit diperkirakan menjadi salah satu kontributor utama deforestasi di Indonesia, melepaskan emisi gas rumah kaca hingga 200 juta metrik ton per tahun,” tulis Abu Meridian, Campaign Leader Kaoem Telapak (21/1/25).
Saat ini, katanya, luas perkebunan sawit di beberapa wilayah seperti Sumatera, Kalimantan dan Papua, melampaui daya dukung ekosistem dan mengancam keseimbangan ekologis. Termasuk, mengancam keanekaragaman hayati.
Abu menilai, peran strategis sawit untuk kedaulatan ekonomi bangsa bisa efektif jika pemerintah menerapkan moratorium dengan dukungan proyek replanting. Skenario itu, katanya, dapat menciptakan output ekonomi sampai Rp30,5 triliun pada 2045.
“Dibandingkan dengan skenario tanpa moratorium yang diproyeksikan justru menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp30,4 triliun,” katanya.
Tumpukan sawit yang baru dipanen pekerja di pinggir jalan Tulang Bawang, Lampung. Foto: Agus Susanto/Suara.com
Biodiesel, jangan melulu sawit
Tingginya permintaan minyak sawit (crude palm oil/CPO) sebagai bahan baku nabati (BBN) berisiko memicu pembukaan kebun sawit baru, meningkatkan deforestasi, merusak ekosistem dan menyumbang emisi gas rumah kaca ( GRK) yang signifikan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan, pengembangan biodiesel sebagai upaya mewujudkan kemandirian energi, perlu hati-hati, bijaksana dan memperhatikan trade-off (risiko investasi).
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mendorong pemerintah lakukan diversifikasi bahan baku biodiesel ke sumber-sumber lain. Tujuannya, mengurangi ketergantungan tinggi pada minyak sawit.
Dia menilai, komitmen Indonesia untuk mencapai FoLU net sink pada 2030, dengan mengurangi emisi GRK 140 juta ton CO2e, harus jadi pertimbangan dalam pengembangan biodiesel dan bioenergi.
Untuk mendukung aspek keberlanjutan, katanya, seluruh produksi CPO perlu mendapatkan sertifikasi keberlanjutan seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). “Ini penting untuk memastikan pengembangan biodiesel tidak hanya berkontribusi pada kemandirian energi, juga pengurangan emisi karbon dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat.”
Dia menambahkan, produksi biodiesel juga harus memenuhi kriteria keberlanjutan yang ketat, memiliki jejak karbon rendah, dan tidak merusak ekosistem. Juga, melibatkan masyarakat lokal secara adil dan menghormati hak mereka, serta produksi secara ekonomis tanpa membebani anggaran negara.
“IESR mendesak presiden, untuk memenuhi kaidah keberlanjutan di seluruh mata rantai produksi biodiesel, mengurangi risiko lingkungan dan sosial, serta menurunkan emisi,” katanya.
Fiorentina Refani, Direktur Sosio-Bioekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengatakan, absennya perlindungan regulasi, ditambah kebijakan semisal UU Cipta Kerja, makin membuka jalan bagi ekspansi sawit lebih masif dan tak terkendali.
Dia contohkan, peningkatan produksi biofuel berbasis sawit, termasuk target bauran biodiesel B40 pada 2025 dan B50 pada 2026, perlu tambahan lahan signifikan. Target itu, katanya, perlu lahan baru sampai 9,2 juta hekar atau setara 70% luas perkebunan sawit pada 2019.
Kebijakan itu, katanya, yang menempatkan biofuel sebagai solusi utama transisi energi tidak hanya gagal mengurangi emisi karbon, juga memicu konflik sosial dan degradasi lingkungan.
“Kebijakan ini juga mencerminkan masalah struktural dalam pengelolaan transisi energi, di mana hutan hanya diletakkan dalam paradigma pasar sebagai komoditas.”
Hutan dan lahan nyaris botak untuk persiapan tanam sawit di Kota Subulussalam, Aceh. Foto diambil pada Rabu, 12 Juni 2024. Akankah hutan Indonesia akan terus terancam? Foto drone:: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Komitmen tetapi…
Sebelumnya, Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup/ Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menyatakan, komitmen mengurangi laju deforestasi dengan meningkatkan kemampuan membangun hutan kembali atau restorasi.
Baginya, reforestasi harus secara sistematis dan masif. Meski demikian, upaya reforestasi juga harus sinergi dengan arahan presiden untuk membangun kedaulatan pangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi 8%.
Hanif dalam pidatonya berjanji, KLH/BPLH akan memandatkan langkah-langkah mitigasi lingkungan hidup pada seluruh sektor, kementerian/ lembaga terkait, hingga pemerintah daerah.
Dia menyebut, kewenangan itu seperti tertuang dalam UU 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
UU itu, katanya, memandatkan Menteri LH untuk second line inspection atau melakukan inspeksi jika pemerintah daerah tak menjalankan pengawasan lingkungan. Ada pula second line enforcement atau kewenangan KLH mengambil alih ketika proses penegakan hukum tidak berjalan di level kabupaten atau kota.
“Itu kewenangan yang dimandatkan UU kepada kita (KLH), untuk menjamin kualitas lingkungan hidup lebih baik di Indonesia.”
Sebagai upaya menjaga sinergitas antara pengurangan deforestasi dan peningkatan reforestasi, katanya, kementerian juga akan memberikan evaluasi penting pada kementerian maupun lembaga terkait.
Selain itu, tahun ini mereka akan merilis indeks kinerja lingkungan dari pemerintah daerah, provinsi maupun kabupaten/ kota. “Sambil jalan kami akan sedikit menyentuh kementerian lain.”
******
Berbagai Kalangan Ingatkan Bahaya Buka 20 Juta Hektar Hutan untuk Pangan dan Energi
Sumber: Mongabay.co.id