- Sedikit demi sedikit kasus pagar laut sepanjang lebih 30 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, terungkap. Di laut Tangerang yang berpagar itu telah dikuasai sejumlah pihak melalui hak guna bangunan (HGB) bahkan, sertifikat hak milik (SHM).
- Nusron Wahid, Menteri ATR/BPN mengakui kalau ada 280 sertifikat yang merepresentasikan status perairan di Desa Kohod dan Tanjung Burung baik atas nama perorangan maupun perusahaan.
- Koalisi masyarakat sipil terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH) Muhammadiyah, Eksekutif Nasional Walhi, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), LBH Jakarta dan sejumlah organisasi melaporkan kasus pagar laut ke Bareskrim Polri, 17 Januari 2025.
- Ardyanto Nugroho, Direktur Pengaduan Kementerian Kehutanan mengatakan, pemagaran laut tak memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL). Mereka akan menghitung baku mutu kerusakan lingkungan sebelum memberikan sanksi kepada pelaku pemagaran laut ini.
- Advertisement -
Sedikit demi sedikit kasus pagar laut sepanjang lebih 30 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, terungkap. Di laut Tangerang yang berpagar itu telah dikuasai sejumlah pihak melalui hak guna bangunan (HGB) bahkan, sertifikat hak milik (SHM).
Ketika menelusuri website Bhumi Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pada 21 Januari lalu, ternyata sebagian perairan yang berpagar sudah ada sertifikatnya. Di perairan berpagar di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji dan Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, misal, berstatus HGB dan SHM dengan total luas bersertifikat mencapai 4.147 meter persegi atau sekitar 400 hektar!
Ketika mengklik lokasi peta justru mengarahkan ke laut, bukan daratan. Untuk memastikan, Mongabay turun lokasi dengan peta Google, hasilnya sertifikat HGB dan SHM itu memang berada di laut.
Eko Priyanggodo, Direktur Penanganan Sengketa Pertanahan Kementerian ATR/BPN yang dikonfirmasi sempat membantah temuan itu. Dia memastikan tak ada penguasaan oleh pihak manapun.
“Masih jauh proses perizinannya, kan kita gak mungkin dapetin sertifikat di laut, harus ada reklamasi tanda perizinan dari KKP juga dari perlu rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR), macem-macem-lah dari sisi perizinan.”
Jadi, kalau ada yang menyebarkan ini kavling sudah punya HGB kita bilang itu bohong gak ada, gak ada,” katanya usai meninjau pagar laut di perairan Kronjo, 15 Januari lalu.
Septein Paramia Swantika, Kepala Bidang Survei dan Pemetaan BPN Banten pun bilang, HGB atau SHM di laut itu bisa terbit karena sebelumnya objek adalah daratan yang berubah jadi laut karena abrasi. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 3/2024 tentang tata cara penetapan tanah musnah.
Namun, ketika mengecek peta perairan Desa Kohod dan Tanjung Burung dengan keterangan tipe hak HGB dan SHM di situs Bhumi ATR/BPN, Septein pun berkilah. Dia lantas meminta Mongabay menanyakan ke Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Banten.
“Kalau nanya itu, kroscek RTRW ya. RTRW-nya bukan di kami. Kami hanya mengikuti kalau syarat-syarat. Balik lagi, kalau syarat-syaratnya lengkap, kami tidak lanjuti proses peranannya.”
Belakangan, Nusron Wahid, Menteri ATR/BPN mengakui kalau ada 280 sertifikat yang merepresentasikan status perairan di Desa Kohod dan Tanjung Burung baik atas nama perorangan maupun perusahaan.
Dari ratusan sertifikat itu, 234 bidang HGB atas nama PT Intan Agung Makmur (IAM), 20 bidang HGB atas nama PT Cahaya Inti Sentosa (CIS)dan 9 bidang atas nama perorangan. Ada juga 17 bidang SHM di kawasan itu.
Ketika Mongabay turun ke lapangan dengan pakai Google, terlihat, sertifikat itu di laut. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
Nusron janji meninjau ulang sertifikat-sertifikat itu. “Setelah kami teliti, kami cocokkan dengan data geospasial, kami cocokkan dengan peta garis pantai maupun peta yang lain, sertifikat itu berada di luar garis pantai.”
Menurut dia, pantai merupakan objek yang bersifat properti umum (common property) dan tidak boleh privatisasi. Karena itu, penerbitan sertifikat dinilai cacat prosedur dan materiil, sebagaimana PP 18/2021.
Selama sertifikat belum berusia lima tahun, KATR/BPN mempunyai kewenangan mencabut atau membatalkan tanpa proses dan perintah pengadilan.
“Karena sertifikat rata-rata terbit 2022-2023, berarti kurang dari lima tahun, itu sudah cukup sebagai syarat meninjau ulang dan membatalkan sertifikat itu,” katanya usai meninjau lokasi pagar laut, Rabu (22/1/25).
Nusron juga memastikan, Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP) memanggil para pihak untuk pemeriksaan. Sekaligus, mengetahui proses penerbitan sertifikat itu, seperti pihak desa, juru ukur dalam hal ini swasta yakni Kantor Jasa Surveyor Berlisensi (KJBS), hingga pejabat ATR/BPN Kabupaten Tangerang.
CIS merupakan anak perusahaan pengembang PIK 2 yakni PT Pantai Indah Kapuk Dua (PANI) yang terafiliasi dengan PT Agung Sedayu Group (ASG). Situs Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut, PANI punya 99,3% saham CIS.
Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) CIS beralamat di Kawasan 100 Blok C Nomor 6, Jalan Kampung Melayu Timur Kabupaten Tangerang, Banten. Sedangkan, Intan berdasarkan situs Dirjen AHU beralamat di Jalan Inspeksi PIK 2 Nomor 5 (Terusan Jalan Perancis) Kabupaten Tangerang, Banten.
Pagar di laut Tangerang, Banten. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
Catut nama warga?
Ihwal penerbitan HGB dan SHM di perairan Tangerang masih jadi teka teki. Namun, beredar kabar bila sertifikat terbit dengan mencatut nama warga.
Rahmat (nama samaran), nelayan Desa Kohod membenarkan hal itu. “Ada warga Tanjung Burung (kampung di Desa Kohod) itu dia juga gak tau, tau-tau dia punya tanah di laut. Banyak itu yang begitu.”
Selain itu, penerbitan sertifikat itu juga diduga melibatkan pejabat di tingkat desa, kata Muhammad Daerobi, penasihat hukum warga. Mereka pula yang diduga mendaftarkan tanah ke ATR/BPN untuk mendapatkan sertifikat. Mereka buat dalam akta jual beli seolah-olah sertifikat itu dengan cara membeli dari warga.
Rahmat bilang, warga tak berani melapor karena takut. Sebelumnya, ada warga yang protes, justru mendapat intimidasi.
Mongabay menghubungi Andi Ony Prihartono, Penjabat (Pj) Bupati Tangerang dan Erni Nurlaeni, Sekretaris Dinas Tata Ruang dan Bangunan (DTRB) Kabupaten Tangerang, BPN Kabupaten Tangerang dan Arsin Kepala Desa Kohod. Tak ada yang merespons.
Upaya konfirmasi juga dilakukan menghubungi Sekretaris Perusahaan PANI, Christie Grasella, tetapi tak ada respons.
Baru pada 24 Januari 2025, Muannas Alaidid mengakui ada HGB di laut Tangerang yang ada pagar. “Itu pun, lokasi hanya di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, bukan di kecamatan lain.
“Saya perlu luruskan agar tidak menjadi liar opininya. Panjang pagar itu melewati enam kecamatan. SHGB anak perusahaan PANI dan non PANI. IAM dan CIS hanya ada di satu kecamatan di Desa Kohod. jadi bukan sepanjang 30 KM itu ada lahan SHGB milik kami,” katanya.
Dia pun mempertanyakan, rencana KATR/BPN membatalkan sertifikat itu. Mereka akan mempelajari alasan prosedural dan yuridis yang jadi dasar kementerian cabut itu.
“Apalagi, SHGB didapat sesuai proses dan prosedur,” katanya.
Dia beralasan, membeli lahan dari masyarakat dan melakukan balik nama secara sah dan membayar pajak. “Ada SK surat izin lokasi.”
Walhi dan organisasi masyarakat sipil protes di atas pagar laut Tangerang. Foto: Walhi
Lapor ke polisi
Koalisi masyarakat sipil terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH) Muhammadiyah, Eksekutif Nasional Walhi, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), LBH Jakarta dan sejumlah organisasi melaporkan kasus pagar laut ke Bareskrim Polri, 17 Januari 2025.
Gufroni, Ketua Riset dan Advokasi Publik LBH PP Muhammadiyah mengatakan, pemerintah seolah pura-pura tak mengetahui keberadaan pagar laut itu padahal mereka bilang sudah investigasi sejak Agustus 2024.
“Keberadaan pagar laut sudah mengganggu aktivitas melaut nelayan dan juga melanggar peraturan,” katanya.
Mereka yang terlibat pemagaran laut itu diduga melanggar Undang-undang (UU) 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU 27/2007 dan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang.
“Saya kira Bareskrim Polri tak usah berlarut-larut dalam perkara ini karena bukti-bukti sudah di depan mata yang memudahkan penyelidikan. Perkaranya sudah ramai mencuat ke publik, jadi tunggu apalagi.”
Pagar laut di Desa Kohod. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
Tanpa dokumen
Ardyanto Nugroho, Direktur Pengaduan Kementerian Kehutanan mengatakan, pemagaran laut tak memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL). Mereka akan menghitung baku mutu kerusakan lingkungan sebelum memberikan sanksi kepada pelaku pemagaran laut ini.
“Dari sudut pandang penegakan hukum kami pasti akan mengenakan minimal sanksi administratif atau pidana,” katanya.
Pagar laut pada enam kecamatan ini juga tak memiliki kesesuaian pemanfaatan ruang laut (KKPRL). Padahal, berdasar UU 6/2023 tentang Cipta Kerja, Pasal 147 menyatakan, setiap orang yang memanfaatkan ruang laut di perairan pesisir, wilayah perairan, dan, atau wilayah yurisdiksi secara menetap di sebagian ruang laut wajib memiliki KKPRL.
Halid K Jusuf, Direktur Pengawasan Sumber Daya Perikanan KKP sepakat dengan Kementerian Kehutanan kalau kasus ini bisa sampai ke pidana.
“Kami hadir untuk penegakan hukum. Namun saat ini masih terus mendalami siapa yang akan muncul sebagai penanggung jawab di dalam mekanisme pemagaran ini.”
Daerobi mengatakan, tindakan ini merupakan pemalsuan sertifikat.
“Saya menyarankan Mabes Polri untuk langsung proses siapa-siapa yang terlibat dalam pemalsuan akta,”katanya.
Berbagai organisasi masyarakat sipil, antara lain Walhi, YLBHI dan lain-lain protes di atas pagar laut. Foto: Walhi
Susan Herawati, Sekjen Kiara menilai, penguasaan laut dengan cara memagari dan menerbitkan sertifikat tanah itu melanggar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010. Putusan itu soal pengujian Undang-undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Dalam putusan itu menyebutkan, pemberian hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3) tak sejalan dengan UUD 1945. Pemberian HP-3 akan mengakibatkan hak-hak masyarakat adat atau tradisional yang bersifat turun temurun hilang.
Semestinya, tidak ada yang boleh menguasai laut selain negara. Kalaupun pengembang mendapatkan KKPRL laut Tangerang, katanya, keputusan itu bertentangan dengan putusan MK itu.
Dia menambahkan, penguasaan laut ini melanggar hak asasi manusia (HAM), terutama nelayan terdampak yang kehilangan hak atas laut juga merusak ekosistem karena pemasangan pagar.
“Proses penerbitan sertifikat yang diikuti pemagaran laut, ini menjadi bagian dari upaya pemiskinan secara struktural yang melibatkan lembaga negara.”
Pagar laut di Desa Kronjo. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia
*******
Polemik Pagar Laut 30,16 Km di Tangerang
Sumber: Mongabay.co.id