- Berbagai masalah membayangi Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah setelah ada tambang andesit untuk proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Bener. Tak hanya bencana banjir dan longsor ketika musim hujan tiba, rumah-rumah juga retak sampai sumber air berkurang dan lain-lain.
- Pembangunan Bendungan Bener dengan pertambangan di Wadas, berawal dengan proses blasting. Sejak peledakan pada 2023, tak sedikit rumah-rumah warga mengalami retak karena getaran cukup keras.
- Bendungan Bener untuk mendukung pengembangan aerocity bandar udara Yogyakarta International Airpot (YIA) sebesar 700 liter/detik. Target bendungan ini juga untuk mengairi lahan 1.940 hektar, menyediakan air baku 1.500 l/det dan dengan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 6 MW.
- Kini, sebagian besar warga menerima tawaran ganti rugi, sebagian terus yang bertahan di Wadas, seperti Susi, Talabudin, Wahyu dan beberapa yang lain. Mereka terus merawat kekayaan alam warisan turun-temurun dari orang tuanya. Para generasi penerus itu membentuk Kelompok Tani Muda, salah satunya mengembangkan ternak kambing dan pertanian lain.
Berbagai masalah membayangi Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah setelah ada tambang andesit untuk proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Bener. Tak hanya bencana banjir dan longsor ketika musim hujan tiba, rumah-rumah juga retak sampai sumber air berkurang dan lain-lain.
- Advertisement -
Pada 11 Desember lalu, longsor menimpa Dusun Winong, persis di bawah lokasi tambang. Dulunya, kawasan itu adalah hutan yang kemudian dibuka untuk tambang.
Reruntuhan batu, pasir, tanah dan lumpur, luruh membelah perbukitan hijau menjadi botak kecoklatan. Material dari tebing tinggi itu menimpa dekat kawasan pemukiman, menimbun tanaman warga serta aliran mata air. Saluran pun mampet tertimbun longsoran hingga menyebabkan air meluber ke permukiman.
“Pohon tumbang banyak, dari kelapa, duren, bambu juga banyak, albasiyah,” kata Bidin, warga Wadas.
Bersama belasan warga lain, dia mendatangi pelaksana proyek untuk meminta pertanggungjawaban.
Awalnya, pihak proyek saling lempar satu sama lain, bahkan, ada konsultan proyek bersembunyi karena enggan bertemu warga.
Pada 14 Desember lalu, akhirnya pihak proyek bertanggung jawab dan mulai menurunkan alat berat untuk membereskan material longsoran. Jalan-jalan kampung pun ambles karena laku ekskavator.
Warga meminta, kembalikan kondisi seperti semula. Mereka tak ingin timbunan material proyek mengarah ke pemukiman, atau proyek setop.
“Ini ada rumah retak, akses jalan rusak, selama tuntutan belum selesai, proyek berhenti dulu, mereka mengiyakan,” kata Wahyu, pemuda Wadas yang aktif dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa).
Longsor bermula saat bronjong pertama atau talut penahan jebol karena hujan lebat. Material yang tertahan ambrol menimpa bronjong kedua di bawahnya. Tak kuat menahan beban, bronjong kedua pun ikut jebol.
Jarak antara bronjong pertama dan kedua sekitar 60-70 meter. Dulu, wilayah itu aliran mata air warga sekitar Dusun Winong. Kini, area hancur karena tambang.
Pembukaan tambang akhir 2022, mulai dengan pengelupasan (land clearing) untuk akses jalan keluar masuk kendaraan proyek.
Pembersihan lahan itu memangkas banyak pohon di Desa Wadas dan meratakan gugusan bukit hingga ke Desa Guntur sebagai wilayah tapak bendungan.
Setelah pengelupasan, Desa Wadas jadi kerap banjir karena luapan air sungai bercampur lumpur. Pohon-pohon di hulu yang berfungsi menahan dan meresapkan air berkurang.
“Daerah Winong itu banjir, dulu sebenarnya gak ada, normal. Cuman air dan sampah ranting dari hutan. Sekarang parah, batu sekulkas.”
Saat perjanjian awal dengan pihak proyek, warga meminta aliran air dari Randu Alas sebagai pusat wilayah hulu, lumpurnya tidak langsung masuk ke bronjong pertama.
Dalam praktik, bronjong justru jadi tempat timbunan urukan sisa material bendungan hingga menggunung tinggi. Tak heran saat hujan terus-menerus terjadi longsor.
Pembangunan Bendungan Bener dengan pertambangan di Wadas, berawal dengan proses blasting. Sejak peledakan pada 2023, tak sedikit rumah-rumah warga mengalami retak karena getaran cukup keras.
Awalnya, retakan itu masih kecil dan sedikit. Dengan intesitas ledakan cukup sering, makin bertambah banyak. Pihak proyek pun menawarkan kompensasi atas kerusakan rumah itu meski tak sebanding.
“Banyak yang nerima ganti rugi cuman nominal gak sesuai, ada yang Rp300.000, Rp200. 000,” kata Talabudin, pemuda Wadas, yang rumahnya terdampak ledakan.
Meski rumah retak, Budin tetap menolak uang ganti rugi karena tak sepadan dengan kerugian yang dialaminya. Bahkan, ada rumah warga baru selesai bangun mengalami kerusakan cukup parah.
Susi Mulyani, ibu satu anak ini kerap mendengar dentuman ledakan hingga ke rumahnya. Belum ada dua tahun proses peledakan, sebagian rumah di Wadas banyak retak dan ada penanda oleh pihak proyek.
“Dengan gampangnya mereka itu ngasih uang ganti rugi cuma Rp300.000.”
Selain rumah retak, jalan-jalan kampung, muncul banjir, hingga bencana longsor, kondisi air di Desa Wadas juga mulai berubah. Selain keruh dan berlumpur, sumber-sumber air yang dulu melimpah kini makin berkurang.
Untuk memenuhi kebutuhan air, Susi terpaksa membeli di Pamsimas terdekat yang mengambil dari sungai sekitar. Dalam sebulan, dia harus mengeluarkan Rp30.000-Rp40. 000, itu pun kalau pemakaian sedikit.
Dulu, warga tak perlu mengeluarkan uang sepeser untuk air. “Satu mata air dipakai 10 keluarga. Saat kemarau gak sampai beli, sekarang harus beli.”
Muhammad Reza, Koordinator Koalisi Rakyat Hak untuk Air (KRuHA) mengatakan, dari berbagai dampak yang masyarakat Wadas dan sekitar alami ini merupakan bentuk pelanggaran hak atas air, bagian dari hak asasi manusia.
“Berbagai bentuk krisis air seperti banjir, longsor, kondisi air keruh, rumah warga retak akibat pembongkaran ikatan air tanah yang timbul setelah ada PSN bendungan di Guntur dan penambangan batu andesit di Wadas. Ini bentuk nyata pelanggaran hak atas air.”
Dampak lain, kata Susi, polusi udara. Saat kemarau, debu-debu masuk ke permukiman karena tak ada lagi pepohonan penahan di atas bukit. Suhu di Desa Wadas, dulu sejuk, kini hangat.
Sehari-hari, Susi membuat besek dari bambu. Dia aktif berbagai pertemuan warga kampung, termasuk terlibat dalam perjuangan Wadon Wadas. Jemari tak pernah diam menganyam lapis-lapis bambu selepas mengantar anak ke taman kanak-kanak.
Membuat besek, katanya, sudah jadi mata pencaharian perempuan Wadas sejak dulu. Dalam seminggu, dia bisa menghasilkan Rp100.000. Kalau musim hujan, proses lebih lama karena tak ada terik matahari dan mengeringkan potongan-potongan bambu di atas tungku.
Dengan ada pertambangan, bambu- bambu yang dulu melimpah kini berkurang. Belum lagi, longsor menumbangkan banyak bambu dan lain-lain.
Tanaman aren yang dulu menyebar di hutan, tinggal sisa. Para penyadap nira gula aren pun ikut berkurang.
“Sekarang, sudah jarang bikin gula, aren sudah gak ada. Paling ada cuman satu, dua gitu, biasanya banyak.”
Kondisi ini juga berdampak pada panen kemukus yang perlu media rambat. Padahal, dulu Susi bersama suaminya bisa hasilkan Rp5.000.000–Rp6 juta dalam setahun. Sekarang, paling Rp1 juta, bahkan Rp500.000 per tahun.
eorang pekerja proyek sedang mengatur lalu lintas kendaraan proyek tambang. Foto: Toto S/Mongabay Indonesia
Ambisi PSN
Proyek Bendungan Bener merupakan program master plan percepatan pembangunan dan perluasan ekonomi Indonesia (MP3EI) era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2013. Masa Joko Widodo, pada 2018 berganti baju dengan label proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Bener.
Bendungan setinggi 169 meter ini berada di Desa Guntur, masuk Kabupaten Purworejo serta Wonosobo seluas 462,22 hektar atau 3.483 bidang. Bendungan ini memanfaatkan Sungai Bogowonto.
Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak, memprakarsai proyek ini, di bawah langsung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pembangunan dengan dana APBN dan APBD Rp2,06 triliun.
Bendungan Bener untuk mendukung pengembangan aerocity bandar udara Yogyakarta International Airpot (YIA) sebesar 700 liter/detik. Tujuannya demi melayani wisatawan di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Candi Borobudur yang masuk dalam proyek pariwisata premium 10 Bali Baru.
Target bendungan ini mengairi lahan 1.940 hektar, menyediakan air baku 1.500 l/det dan dengan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 6 MW.
Untuk merealisasikan proyek ini, perlu sekitar 15, 5 juta meter kubik batuan andesit dari Wadas. Pengadaan lahan tambang quarry untuk material bendungan seluas 145 hektar.
Lokasi longsor yang tampak dari atas lokasi pertambangan querry. Foto: Toto S/Mongabay Indonesia
Rawan bencana
Desa Wadas, merupakan perbukitan subur dengan keragaman hayati sekaligus area tangkapan air. Ia termaktup dalam Pasal 33 Peraturan Daerah Nomor 27/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Purworejo 2011-2031.
Pemerintah Purworejo menetapkan Wadas dalam area rawan bencana. Ia tertuang dalam Pasal 42 Huruf c Peraturan Daerah Nomor 27/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Purworejo 2011-2031.
Warga Wadas menolak pembukaan tambang di kampungnya. Puncaknya, 8 Februari 2022, Desa Wadas terkepung banyak aparat dan menangkap puluhan warga, jaringan solidaritas, serta pendamping hukum.
Intimidasi dan kekerasan aparat dengan kekuatan berlebih, membuat sebagian besar warga Wadas trauma. Tak sedikit dari mereka terpaksa melepaskan tanah dan menerima uang ganti rugi.
Melihat berbagai pelanggaran di Wadas, warga yang masih bertahan mengajukan gugutan hukum hingga tingkat kasasi, meski Mahkamah Agung menolaknya.
“Setelah ada putusan kasasi, langkah hukum dengan pengajuan peninjuan kembali dengan bukti-bukti baru,” kata Firmansyah, kuasa hukum warga dari LBHAP PP Muhammadiyah.
Budin saat sedang membelakangi gambar mural di salah satu pos Desa Wadas. Foto: Toto S/Mongabay Indonesia
Bertahan dan berdaya
Kini, sebagian besar warga menerima tawaran ganti rugi, dan sebagian terus bertahan di Wadas, seperti Susi, Talabudin, Wahyu dan beberapa yang lain.
Mereka terus merawat kekayaan alam warisan turun-temurun dari orang tuanya. Para generasi penerus itu membentuk Kelompok Tani Muda, salah satunya mengembangkan ternak kambing dan pertanian lain.
Ternak kambing banyak warga Wadas lakukan sejak dulu. Bedanya, kini para pemuda itu membuat kandang panggung dan menanam pakan sendiri. Karena sumber utama pakan di walayah hutan sudah mulai berkurang dan terpapar banyak debu.
“Kalau hujan gini mending debu gak seberapa, pas kemarau disini daun-daun kaya’ gunung meletus, tebal. Gimana mau dimakanin ke kambing,” ucap Talabudin.
Pengembangan ternak kambing itu mulai sekitar akhir 2023. Awalnya, kambing itu hanya ada 10 mereka secara bersama-sama. Kemudian mereka pecah masing-masing anggota agar bisa mandiri meskipun tetap dalam satu kelompok.
Saat ini, anggota kelompok sekitar enam orang. Di luar kelompok banyak yang ikut menerapkan peternakan serupa. Yang mereka pelihara jenis kambing seperti kambing Jawa, PE dan kambing perah. Kotorannya mereka kompos untuk tanaman.
Mereka juga mengembangkan tanaman kopi yang banyak tumbuh alami sejak dulu bersama tanaman lain.
Menurut Wahyu, masyarakat Wadas mengenal dua jenis kopi, yaitu kopi lokal dan bariyah. Perbedaanya, kalau kopi lokal pertumbuhan agak lama, sedangkan kopi bariyah lebih cepat besar, terutama batangnya. Keduanya, sama-sama jenis kopi robusta.
“Sebenarnya, kopi lokal itu bagus ya, pohon tanpa pupuk, tiap musim berbuah. Kaya’ pohon biasa, tinggi, dahan tidak diatur karena alami.”
Bukan hanya kopi yang Wahyu dan warga tanam, juga rempah-rempah dengan sistem tumpang sari seperti kencur, kemukus, dan masih banyak lagi.
Beragam upaya terus dilakukan generasi muda Wadas untuk mempertahankan tanah kelahiran agar tetap lestari meski sudah banyak rusak untuk proyek Bendungan Bener.
Dari sekian banyak masyarakat yang telah menjual tanah, akhirnya tetap hidup bersama di kampung baik bertani ataupun beternak sembari terus kena bayang-bayang bencana yang mungkin muncul sewaktu-waktu.
“Tiba-tiba rumah yang diganti rugi kena longsor, kena banjir, tiba-tiba orang-orang jadi kere, sudah gak punya apa-apa,” ujar Talabudin.
Begitupun Susi, meskipun Wadon Wadas yang menaunginya dalam perjuangan menolak tambang makin berkurang, dia tetap konsisten menjaga ibu bumi Wadas bersama generasi muda lain.
“Perjuangan tetap lanjut.”
******
Warga Wadas Bertahan Tak Lepas Lahan dan Tolak Konsinyasi, Banjir Lumpur Mulai Terjadi
Sumber: Mongabay.co.id