- Pidato Presiden Prabowo akhir tahun lalu yang menyiratkan dorongan ekspansi kebun sawit menuai protes dan kritikan para pihak. Mereka khawatir, kalau sampai kebijakan ekspansi kebun sawit terjadi, bukan hanya mengancam perlindungan hutan di Indonesia tetapi banyak masalah lain berisiko muncul.
- Data pemerintah menyebut, sekitar 3,2 juta hektar kebun sawit berada dalam kawasan hutan. Berarti seluas 3,2 juta hektar hutan terdegradasi akibat ekspansi perkebunan sawit. Presiden tidak memakai data pemerintah sendiri saat berbicara mengenai deforestasi dan sawit.
- KPA mencatat, sektor perkebunan sawit menjadi penyumbang terbesar dalam angka konflik agraria di Indonesia. Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (2015–2023), tercatat lebih 1.131 konflik agraria dampak perkebunan sawit. Selain angka konflik agraria, operasi perkebunan sawit juga seringkali diwarnai kekerasan. Masyarakat menjadi korban karena pendekatan represif dalam menyelesaikan perselisihan di wilayah konflik.
- Para pihak mendorong, Pemerintah Indonesia serius dan fokus pada pembenahan tata kelola kebun sawit yang sudah belasan juta hektar, bukan lagi ekspansi tetapi bagaimana meningkatkan produktivitas.
”….Ternyata kelapa sawit jadi bahan strategis rupanya….Maka jagalah, kebun-kebun kelapa sawit kita di mana-mana itu. Aset negara. Saya kira ke depan harus tambah kepala sawit. Gak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation. Namanya kelapa sawit, ya pohon. Itu pohon, ada daunnya kan? Itu dia menyerap karbon…”
- Advertisement -
Begitu cuplikan rekaman video pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada 30 Desember lalu dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Bappenas, 30 Desember 2024 di Jakarta. Pernyataan ini langsung menuai kritik dan protes dari berbagai kalangan.
Para pihak khawatir, kalau sampai kebijakan ekspansi kebun sawit terjadi, bukan hanya mengancam perlindungan hutan di Indonesia tetapi masalah lain berisiko muncul.
Pada 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui rilisnya menegaskan, sawit bukan tanaman hutan. KLHK juga merinci praktik kebun sawit ekspansif, monokultur, dan non prosedural di dalam kawasan hutan menimbulkan berbagai masalah hukum, ekologis, hidrologis dan sosial.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun dari Walhi Nasional mengatakan, sebagai pemimpin negara, seharusnya presiden berbicara berdasarkan sains, pengetahuan, riset, dan fakta-fakta sahih, bukan pernyataan tak berdasar dan bertentangan dengan temuan ilmiah.
Pernyataan Presiden dorong ekspansi sawit tanpa mempertimbangkan data dan fakta dari pemerintah sendiri. Padahal, praktik-praktik ini menciptakan masalah besar dalam hal hukum, persoalan lingkungan (deforestasi), hidrologi, dan dampak sosial terhadap masyarakat sekitar.
Data pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)—kini terpisah– menyebut, sekitar 3,2 juta hektar kebun sawit berada dalam kawasan hutan. Berarti seluas 3,2 juta hektar hutan terdegradasi akibat ekspansi perkebunan sawit. Presiden tidak memakai data pemerintah sendiri saat berbicara mengenai deforestasi dan sawit.
Ekspansi sawit juga memberikan dampak lebih luas, seperti polusi udara, kerusakan sungai, krisis air bersih, banjir, longsor, serta kebakaran hutan dan lahan terjadi setiap musim kemarau.
Dia bilang, semua masalah lingkungan ini berimbas pada kehidupan masyarakat. Awal Desember 2024, para Special Rapporteurs dan Kelompok Kerja PBB mengirimkan surat resmi kepada pemerintah Indonesia, terkait pelanggaran hak-hak masyarakat adat, degradasi lingkungan hidup, intimidasi dan kriminalisasi terhadap para pembela HAM yang meluas di industri sawit.
Surat ini juga menyoroti dampak negatif dari operasi raksasa sawit. Menurut dia, kondisi ini makin memperpanjang daftar keprihatinan global terkait industri sawit Indonesia.
“Ekspansi perkebunan sawit skala besar berisiko memperburuk berbagai masalah, termasuk memperpanjang rantai konflik agraria yang sudah berlangsung lama,” katanya.
Pemadaman kebakaran lahan termasuk di kebun sawit di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia
Konflik-konflik ini, katanya, tidak hanya merusak hubungan antara masyarakat dengan perusahaan, juga menciptakan kerusakan lingkungan yang makin meluas, termasuk kebakaran hutan dan lahan berulang setiap tahun.
Tak hanya itu, katanya, ekspansi ini juga dapat memperburuk bencana ekologis yang makin sulit teratasi, serta mendorong korupsi di sektor perkebunan sawit yang melibatkan aktor-aktor negara.
Dalam pernyataan itu, katanya, Prabowo meminta polisi dan tentara menjaga perkebunan sawit. Pernyataan ini berbahaya, seakan menginstruksikan terbuka di publik, bahwa polisi dan tentara harus menjaga sawit.
Fakta selama ini, aparat cenderung berpihak pada perusahaan-perusahaan besar yang terlibat dalam sengketa agraria dengan masyarakat lokal.
Dalam banyak kasus, aparat keamanan seringkali terlibat dalam intimidasi, kekerasan, bahkan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menuntut hak mereka atas tanah yang tergusur oleh perusahaan-perusahaan sawit.
Kalau instruksi melibatkan polisi dan tentara dalam pengamanan perkebunan sawit mereka jalankan, berisiko melegitimasi pendekatan kekerasan yang sudah sering terjadi selama ini.
Instruksi itu, katanya, dapat memperburuk situasi, karena akan memberi sinyal bahwa pendekatan keamanan adalah solusi dalam menghadapi masalah agraria dan konflik sosial yang melibatkan perusahaan sawit.
“Instruksi ini akan melegitimasi pendekatan keamanan dalam pelaksanaan operasi produksi perusahaan sawit yang akan makin menambah jumlah kasus intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat.”
Aksi Save Kinipan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia
Perpanjang masalah bagi warga
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) nyatakan serupa. Ucapan presiden soal menambah perkebunan sawit berisiko besar memicu kenaikan konflik agraria di Indonesia. Ekspansi sawit, kata Dewi, akan memperpanjang cerita perampasan tanah masyarakat.
“Persoalan klasik perkebunan sawit di Indonesia bukan hanya perkara kerusakan lingkungan atau deforestasi, tetapi konflik agraria akibat penggusuran dan perampasan tanah masyarakat yang selama ini diakibatkan operasi perusahaan perkebunan,” kata Dewi.
KPA mencatat, sektor perkebunan sawit menjadi penyumbang terbesar dalam angka konflik agraria di Indonesia. Pada 2023, tercatat sedikitnya 108 kasus konflik agraria meletus di sektor perkebunan, dengan 88 karena perkebunan dan industri sawit. Angka ini mengalami peningkatan dari 2022, sebanyak 99 kasus.
Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (2015–2023), tercatat lebih 1.131 konflik agraria dampak perkebunan sawit. Selain angka konflik agraria, operasi perkebunan sawit juga seringkali diwarnai kekerasan. Masyarakat menjadi korban karena pendekatan represif dalam menyelesaikan perselisihan di wilayah konflik.
Sepanjang 2023, KPA mencatat, operasi perkebunan sawit menimbulkan 252 korban kriminalisasi (248 laki-laki dan empat perempuan), 52 orang—43 laki-laki dan 9 perempuan– mengalami penganiayaan, dua orang tertembak, dan tiga tewas.
Dewi menduga, rencana perluasan kebun sawit ini tidak terlepas dari rencana ambisius presiden untuk pengembangan program biodiesel B40 dan B50. Kalau ambisi tak tidak dibarengi evaluasi tata kelola perkebunan sawit, katanya, akan menimbulkan persoalan baru berupa konflik agraria.
Seharusnya, kata Dewi, presiden mengevaluasi secara komprehensif terhadap karut marut tata kelola sawit selama ini. Pertanyaan utama yang perlu dia jawab adalah, apakah lahan sawit seluas belasan juta hektar saat ini benar-benar memberikan dampak positif bagi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
“Fakta lapangan menunjukkan sektor ini banyak menimbulkan krisis agraria dan ekologis.”
KPA meminta presiden mengkaji ulang soal ekspansi perkebunan sawit ini. Malah, katanya, pemerintah mempertimbangkan kembali untuk memberlakukan Instruksi Presiden (Inpres) Moratorium Sawit dengan memperkuat lagi.
Pembaruan dan penguatan moratorium sawit penting agar persoalan-persoalan agraria dan lingkungan bisa teratasi. Presiden pun perlu segera memimpin penyelesaian konflik agraria di sektor perkebunan yang tidak kunjung selesai.
Selama ini, kata Dewi, konflik agraria karena perkebunan sawit yang sering terjadi karena tumpang tindih antara masyarakat dan pemegang hak guna usaha (HGU). Masalah terjadi karena pemerintah menerbitkan HGU perusahaan di atas tanah dan pemukiman masyarakat.
“Penyelesaian konflik agraria di sektor perkebunan dan pengakuan hak atas tanah masyarakat menjadi penting.”
Diperkirakan, lahan yang dibuka untuk kebun sawit ilegal ini seluas 1.655 hektar. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch mengatakan, pernyataan presiden sangat tergambar jelas dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 3/2024 tentang Pengembangan Kawasan Pertanian yang terbit akhir 2024.
Permentan itu mendorong setiap kabupaten/kota di Indonesia memiliki kebun sawit dengan luas minimal 6.000 hektar yang akan masuk dalam perencanaan pengembangan kawasan pertanian nasional. Menurut dia, rencana ekspansi sawit ini akan memperburuk masalah sawit di Indonesia.
Padahal, penelitian Sawit Watch bersama 13 organisasi masyarakat sipil yang terbit pada 2024 menyebut, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (D3TLH) di Indonesia sudah sangat terbatas, jadi tidak lagi memungkinkan ekspansi perkebunan sawit, seperti dorongan regulasi itu.
Dalam riset itu menyebut, pengembangan sawit tidak bisa lagi di semua pulau karena banyak wilayah sudah melampaui kapasitas daya dukung lingkungan, terutama di area rentan secara ekologi.
Studi itu juga menemukan, banyak flora dan fauna di Indonesia sangat terdampak perkebunan sawit, salah satunya orangutan Borneo dengan menurun hingga 25%.
Belum lagi soal permasalahan konflik sosial yang menimpa kelompok masyarakat rentan di perkebunan sawit seperti buruh, petani, masyarakat lokal, dan masyarakat adat yang jumlahnya selalu bertambah dan tidak berujung.
Sawit Watch mencatat terdapat 1.106 komunitas yang berkonflik di perkebunan sawit.
Terlebih lagi, kata Achmad, industri sawit menghadapi berbagai tantangan dan persoalan seiring dengan dinamika kebijakan dan pasar baik domestik maupun global. Dalam lingkup domestik, katanya, pertumbuhan sawit tidak selaras dengan pertumbuhan ekonomi daerah penghasil.
Selain itu, kesejahteraan masyarakat di sekitar kebun juga mengkhawatirkan. Dari sisi lingkungan, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, terdapat sekitar 5,7 juta hektar hutan alam di hutan produksi konversi (HPK) yang rawan lepas untuk perkebunan sawit.
Menurut data dari Madani Berkelanjutan, dari 24,2 juta hektar ekosistem gambut di Indonesia, sekitar 6,2 juta hektar berada dalam wilayah izin perkebunan sawit. Dari jumlah itu, sekitar 3,8 juta hektar merupakan tutupan lahan gambut sangat rentan terhadap kerusakan dan degradasi.
Berdasarkan observasi The TreeMap, ekspansi kebun sawit di Indonesia pada 2023 berkontribusi terhadap konversi 30.000 hektar hutan, meningkat 36% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebanyak 1/3 deforestasi 2023 karena sawit terjadi di lahan gambut yang kaya karbon.
“Masalah perkebunan sawit saat ini akan lebih parah ketika Presiden Prabowo benar-benar akan mendorong ekspansi sawit,” kata Rambo.
Peremajaan kebun-kebun sawit penting terutama kebun swadaya rakyat untuk meningkatkan produktivitas. Foto: Agapitus Batbual
Fokus pembenahan
Dalam kajian itu juga menyebut, dengan perspektif ekonomi, penghentian pemberian izin sawit dengan peremajaan (replanting) akan memberikan dampak ekonomi lebih baik dalam jangka panjang. Hal ini mencakup peningkatan PDB, penerimaan pajak, serta lapangan kerja.
Skenario moratorium dan replanting akan menghasilkan PDB Rp30,5 triliun dan menyerap 827.000 tenaga kerja. Sedang ekspansi sawit tanpa moratorium justru berisiko merugikan, dengan PDB negatif Rp30,4 triliun dan hanya menciptakan 268.000 lapangan kerja.
Untuk itu, Sawit Watch mendorong aturan atau kebijakan menghentikan pemberian izin baru perkebunan sawit, bukan malah mendorong ekspansi.
“Langkah ini penting untuk menjaga dampak ekonomi yang lebih baik dari sektor sawit tanpa merusak daya dukung lingkungan,” katanya.
Mansuetus Darto, Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan, pernyataan Presiden Prabowo mendegradasi inisiatif pemerintah sendiri untuk membuat sawit nasional lebih kompetitif melalui pendekatan sawit berkelanjutan, seperti dalam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), juga mencakup standar anti-deforestasi.
“Pernyataan itu sama halnya menghendaki untuk bubarkan ISPO dan bubarkan rencana aksi nasional sawit dan National Dashboard yang pemerintah buat untuk perbaikan tata kelola sawit,” katanya melalui rilis kepada media.
Padahal, awalnya presiden berencana mengejar pendapatan negara dari sawit ilegal yang diperkirakan mencapai Rp300 triliun. Namun, pernyataan baru-baru ini justru kontradiktif dengan rencana itu.
“Ini justru akan memperbanyak sawit ilegal. Mengapa tidak fokus saja pada pengejaran potensi pendapatan Rp300 triliun itu?” tanyanya.
Dari perspektif pasar, katanya, pernyataan Prabowo bisa membuat sawit nasional tak memiliki daya saing lagi ke depan dengan sawit dari negara-negara lain. Sedang pelaku sawit nasional saat ini baik perusahaan maupun petani sedang berkejar dengan waktu untuk pelaksanaan UU Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang tertunda satu tahun.
“Sebab aturan deforestasi Eropa akan berlaku Januari 2026. Saat ini memperbaiki dan membenahi rantai pasok dengan traceability (keterlacakan),” katanya.
Semestinya, kata Mansuetus, presiden fokus pada peningkatan produktivitas melalui percepatan peremajaan tanaman sawit, yang selama ini sedikit lambat. Kalau itu berjalan, bisa berkontribusi pada peningkatan produktivitas sawit nasional sampai 20% pada 2029, tanpa perlu deforestasi lebih lanjut.
Prabowo juga sebaiknya fokus pada pengaturan sanksi hukum terhadap sawit ilegal, yang berpotensi menambah pendapatan negara sampai Rp300 triliun. Bisa juga, katanya, analisis ulang potensi pendapatan negara dari sawit ilegal yang mungkin lebih dari Rp300 triliun.
“Penting juga fokus perhatian pada penerimaan pajak, mengingat masih banyak pelaku usaha yang belum membayar pajak secara tepat.”
Petani sawit mitra PT HIP di kebun mereka. KPPU memutus PT HIP, langgar kemitraan. Para petani ingin lahan mereka segera kembali. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
********
Nasib Petani Sawit Buol, Janji Untung Malah Buntung
Sumber: Mongabay.co.id