- Payung hukum mengakui dan melindungi masyarakat adat lewat Undang-undang khusus belum ada walau sudah mulai masuk bahasan lebih 20 tahun. Hingga kini, kehidupan masyarakat adat penuh was-was, tak tenang karena kerap berhadapan dengan investasi maupun proyek-proyek skala besar yang masuk ke wilayah mereka.
- Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 2014-2024, terjadi perampasan 11,07 juta hektar wilayah adat selama 10 tahun terakhir, sekitar 2,4 juta hektar terjadi dalam tahun terakhir. Pada periode sama, terjadi 687 konflik melibatkan masyarakat adat, dengan 925 orang alami kriminalisasi.”
- Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN menyebut, masyarakat adat berada dalam pertandingan yang tidak seimbang. Dampaknya, setiap upaya masyarakat adat menuntut pengakuan atau penyelesaian konflik kerap patah karena kekuatan besar yang mereka lawan. Perjuangan untuk mempertahankan wilayah adat akan makin berat di masa depan.
- Yance Arizona, Pakar Hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan, perampasan tanah dan diskriminasi masyarakat adat makin meningkat di masa depan. Perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat, katanya, tercipta lewat kondisi demokrasi yang positif.
- Advertisement -
Payung hukum mengakui dan melindungi masyarakat adat lewat Undang-undang khusus belum ada walau sudah mulai masuk bahasan lebih 20 tahun. Hingga kini, kehidupan masyarakat adat penuh was-was, tak tenang karena kerap berhadapan dengan investasi maupun proyek-proyek skala besar yang masuk ke wilayah mereka.
Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 2014-2024, terjadi perampasan 11,07 juta hektar wilayah adat selama 10 tahun terakhir, sekitar 2,4 juta hektar terjadi dalam tahun terakhir.
Pada periode sama, terjadi 687 konflik melibatkan masyarakat adat, dengan 925 orang alami kriminalisasi.
“Perampasan ini terjadi pada 121 kasus yang melibatkan 140 komunitas adat dari berbagai sektor,” kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN dalam peluncuran Catatan Akhir Tahun 2024, penghujung tahun di Jakarta.
Rinciannya, 58 konflik terjadi dengan konsesi perkebunan, 9 konflik dengan kawasan hutan dan konsesi hutan, 29 konflik dengan konsesi tambang, lima konflik karena industri energi, 14 dengan proyek infrastruktur, empat kasus dengan proyek pariwisata, dan dua dengan konsesi pertanian dan peternakan.
Beberapa merupakan konflik lama yang belum selesai, seperti Masyarakat Adat Sihaporas dengan PT Toba Pulp Lestari. “Ada peningkatan konflik di konsesi tambang dan energi,” kata Rukka.
Cerita dari lapangan juga menunjukkan konflik agraria belum selesai. Situasi ini membuat masyarakat adat menderita karena kehilangan tempat tinggal maupun wilayah adat mereka.
Di Jambi, ratusan orang Rimba di Sungai Temantan, Kabupaten Batanghari, terusir dari wilayah adat mereka. Puluhan ribu hektar hutan tempat mereka berburu berubah menjadi sawit, kebun kayu dan tambang batubara.
Tumenggung Ngalembo, satu dari 9 pimpinan kelompok orang Rimba di Desa Hajran, Kecamatan Batin XXIV, berulang kali mendatangi Kantor Bupati Batanghari untuk meminta pertemuan, usahanya selalu nihil.
“Sampek tipis selop kami ke kantor bupati itu, tidak pernah ketemu. Kalau masyarakat datang, kantor ditutup. Kekmano kami nak ketemu.”
Ngelembo bilang, banyak kebun durian, kebun ubi, tanah makam, puluhan pohon menggeris—penanda kelahiran anak Rimba—habis terbabat untuk perkebunan sawit dan tambang batubara.
Semua lahan itu terrampas perusahaan tanpa ada ganti rugi.
“Sayo tahu, tanah, bumi, air itu dikuasai negara untuk masyarakat. Tapi lahan itu dikasih ke perusahaan, kini masyarakat dibuang perusahaan.”
Lelaki paruh banya itu bilang, wilayah adat kelompok mereka mulai dari Sungai Pawal hingga Sungai Serengam telah dikuasai perusahaan.
“Sekarang tanah badewo kami lah habis, sementara orang Rimbo itu hidupnyo dengan dewo. Kalau sudah habis macam ini, anak-anak kami terancam,” kata Induk Segerum, perempuan Rimba.
Masyaralat Adat Sihaporas mempertahankan wilayah adat. Foto: dokumen warga
Ibu lima anak itu bilang, sejak izin ada tambang batubara, sudah 9 orang Rimba di Sungai Temantan, Batanghari jadi korban. Mereka meninggal karena kena tabrak angkutan batubara, sebagian sakit karena minum air sungai tercemar tambang.
“Sekarang kami minta keadilan pado pemerintah. Kami ini juga masyarakat. Kalau sumber penghidupan kami diambil, itu nak bunuh kami namonyo,” sahut Ngelembo.
Saat ini, perusahaan adu domba berusaha memecah belah kelompok orang Rimba. Ada tiga kelompok dipakai untuk menghalangi upaya kelompok Ngelembo mempertahankan wilayah adat mereka.
“Kami tanam ubi, kelompok lain yang nyabutinyo. Kami tanam padi, disungkur alat berat. Mau kami pukul, itu anak beranak kami, saudara dewek. Jadi kami sekarang cuma biso nangis.”
Fadhil Arief, Bupati Batanghari ditemui Mongabay sebelumnya, menyebut, konflik lahan orang Rimba dengan perusahaan sedang ditangani tim terpadu. Dalam lima tahun dia menjabat, konflik tidak kunjung selesai. Saat ini Fadhil, kembali maju pada pilkada Batanghari 2024.
Kondisi serupa terjadi pada kelompok Suku Anak Dalam (SAD) Batin Telisak, di Sarolangun, berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari tempat Ngelembo. Mereka kehilangan hutan tempat dulu tinggal karena sudah kena kavling-kavling oleh pemerintah untuk izin restorasi, hutan tanaman industri (HTI), hak guna usaha (HGU), dan tambang batubara.
Patar Manalu menunjukkan kebun kopi agroforestri miliknya di Desa Tipang, Kecamatan Bakti Raja, Humbang Hasundutan [Humbahas], Sumatera Utara. Foto: Barita News Lumbanbatu/Mongabay Indonesia
Marhoni, anggota SAD Batin Telisak, mengatakan, sudah tidak punya wilayah adat. Lahan yang mereka garap, sebagian masuk kawasan hutan, sisanya konsesi perusahaan. Puluhan pohon sialang yang jadi sumber penghidupan SAD, lenyap.
Sejak hutan jadi izin perusahaan, kelompok SAD Batin Telisak sering berkonflik dengan gajah. Kawanan mamalia itu sering mendatangi kebun-kebun mereka, dan menghabiskan semua tanaman.
“Dulu, waktu hutan masih banyak, [ti]dak pernah kami ribut dengan gajah. Kini [i]tu kalau [t]idak ribut dengan perusahaan, ribut dengan gajah.”
Adi Prasetijo, Antropologi Sosial Universitas Diponegoro mengatakan, konsekuensi tidak ada pengakuan dan perlindungan hukum atas wilayah adat tidak hanya ekonomi juga penghilangan budaya.
“Praktik, bahasa, dan identitas budaya tradisional berkaitan erat dengan tanah leluhur. Terjadi penggusuran, praktis akan mengganggu hubungan ini, yang menyebabkan mereka kehilangan warisan budaya.”
Hilangnya wilayah adat juga memicu kerawanan pangan. Begitu juga relokasi paksa pemerintah, justru bisa memecah belah masyarakat, melemahkan struktur sosial dan sistem pendukung yang penting bagi ketahanan komunal.
“Masyarakat adat berperan penting dalam melestarikan keanekaragaman hayati. Penggusuran akan menyebabkan degradasi lingkungan, karena praktik konservasi tradisional ditinggalkan,” kata lelaki yang karib disapa Tijok.
Menurut dia, penting mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah dan wilayah adat mereka.
Hutan adat Tobelo Dalam di Ake Jira, sudah bersih untuk jadi lokasi tambang nikel. Foto: Christ Belseran/Mongabay Indonesia
Makin susah
Masyarakat Adat Suku Balik di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, juga merasakan hal sama. Mereka mengalami eskalasi konflik karena lahan untuk proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).
Arman, pemuda Suku Balik, mengatakan, suku mereka sudah ada di Sepaku sejak 16 abad lalu. Tetapi, perusahaan kayu masuk dan menerobos wilayah adat Balik Sepaku sejak 1960-an.
Perusahaan-perusahaan itu membuka hutan dan menebang pohon-pohon besar. Meranti, ulin, bengkirai, dan pohon endemik lain kena tebang, kemudian berganti sengon, acacia, dan eucalyptus.
Masyarakat sempat tidak memedulikan aktivitas perusahaan karena pembukaan jauh dari pemukiman. Konflik pecah lantaran lahan garapan masyarakat adat juga diklaim sebagai hutan produksi yang pengelolaan hanya bisa oleh perusahaan.
Padahal, masyarakat sudah menggarap lahan sejak lama dan turun-temurun. Masyarakat yang belum memiliki alas hak atas tanah jadi tidak bisa mengurus legalitas kebun yang mereka tanami, karena sudah lebih dulu perusahaan klaim secara hukum.
Bahkan, wilayah transmigrasi yang memiliki legalitas berupa sertifikat hak milik (SHM) di sekitar Desa Bumi Harapan juga sempat kena klaim perusahaan.
“Tahu-tahu lahan masyarakat ini masuk semua di izin perusahaan.”
Masyarakat resah dan merasa tertipu sejak saat itu. Mereka yang selama ini menjaga hutan malah kalah di mata hukum.
Dengan legalitas itu, membuat perusahaan berwenang melarang masyarakat masuk hutan. Padahal, masyarakat mengandalkan hutan untuk pemenuhan kebutuhan pokok, mencari papan untuk membangun rumah, dan sumber pangan.
“Masyarakat berburu sesuai kebutuhan mereka. Enggak berlebihan. Enggak ada yang sampai impor daging, atau jual ke luar kampung. Enggak ada,” ujar Arman.
Belum selesai dengan perusahaan, IKN datang. Harapan untuk mendapat kepastian hukum untuk tanah-tanah adat warga pupus.
Kaos peserta aksi pun mendesakkan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia
RUU Masyarakat Adat mandek
Posisi masyarakat adat lemah salah satu karena belum ada Undang-undang yang mengakui dan melindungi mereka. Rancangan UU Masyarakat Adat sudah lebih 20 tahun mandek. Pemerintah dan DPR terkesan enggan menelurkan regulasi ini dan mengandalkan pemerintah daerah untuk mengakui masyarakat adat di wilayah mereka.
Prosesnya, rumit dan sosialisasi tidak sampai ke masyarakat adat jadi kendala tersendiri. Hambatan ini yang terjadi pada Arman dan Masyarakat Adat Suku Balik.
Sebenarnya, pengakuan masyarakat adat sudah pernah melalui Peraturan Daerah Paser Nomor 4/2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, tetapi baru Masyarakat Adat Paser Mului. Untuk Masyarakat Adat Balik, belum ada.
Pada Agustus 2024 terbit Peraturan Kepala Otorita IKN Nomor 8/2024 mengenai tata cara pengakuan, perlindungan, dan pemajuan kearifan lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Basuki Hadimuljono, kala itu Plt. Kepala Otorita IKN, yang menekennya. Untuk pengakuan Masyarakat Suku Balik Sepaku masih belum ada.
“Kami enggak mau yang seperti itu (dari Otorita IKN),” kata Arman. Apalagi kekuatan hukum untuk wilayah adat berupa hutan tak ada di sana.
Andreas Hului, pendamping Suku Balik dari AMAN Kaltim, menyebut, aturan Otorita IKN ini tidak memberikan perlindungan kuat terhadap masyarakat adat di kawasan IKN. Tawaran pemerintah membuat living museum sebagai pelestarian budaya masyarakat adat di sana pun hanya akan menghasilkan budaya yang tak otentik dan sudah modifikasi.
“Keterikatan mereka (masyarakat adat di IKN) terhadap alam/lingkungan itu sangat personal. Mereka punya filosofi, air itu adalah ibu, hutan adalah ibu, tanah adalah ayah dan sebagainya. Bukan sekedar objek dan subjek,” katanya.
Suku Balik tercatat memiliki luasan hutan masih asri mencapai hampir 20.000 hektar di dua lokasi terpisah. Hutan seluas 15.000-an hektar berada di hulu Sungai Sepaku, yang dianggap sebagai hutan tua dan hutan sekitar 5.000-an hektar di sekitar Gunung Parung. Hutan adat itu dua-duanya berbatasan langsung dengan hutan produksi milik perusahaan kayu yang kini masih beroperasi.
Perempuan Rimba di Rombong Sikar, menguliti pinang pada November 2018. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia
Mengorbankan perempuan
Ketika wilayah adat hilang atau terganggu, sangat berdampak bagi perempuan. Di Masyarakat Adat Suku Paser, Kalimantan Timur, hutan penting untuk tradisi dan pengetahuan bagi generasi penerus mereka.
Lia, nama samaran, perempuan adat Suku Paser merasakan dampak itu. Dia tidak bisa lagi melakukan pengenalan dini pada anak-anak tentang hutan adat, maupun kelestarian alam.
“Sudah enggak ada yang mau dikenalkan kepada anak-anak masalah (tentang) alam/hutan. Karena hutan sudah enggak ada. Paling hanya bisa diceritakan sama anak-anak,” keluh Lia dari ujung telepon.
Lia adalah perempuan Adat Suku Paser yang mendiami Pemaluan—kini jadi kawasan inti pusat pemerintahan IKN.
Dia menyebut, hutan hilang juga berdampak pada makanan tradisional Suku Paser yang bisa jadi punah. Biasa, mereka mengolah umbut rotan muda untuk sayuran.
Kini, sayur itu tidak bisa lagi mereka masak karena sulit dapat rotan. “Termasuk umbut-umbut berduri tanaman rotan itu kan dimakan yang muda-mudanya. Iya itu dari hutan semua, biasa disayur,” katanya.
Seperti Suku Balik, Suku Paser pun memiliki keahlian dalam membuat kerajinan. Misal, atap nipah ataupun menganyam lanjong.
Lanjong merupakan tas tradisional berbahan dasar rotan dengan anyaman jadi tas. Tas itu juga untuk Masyarakat Adat Suku Balik maupun Paser ketika berkebun.
“Tetangga saya yang keseharian sering bikin anyaman (rotan), mereka juga sering bikin atap nipah, sekarang sudah enggak bisa,” kata Lia.
Nipah memang masih ada di pinggir sungai tetapi kerusakan lingkungan karena pembangunan IKN membuat banyak buaya mulai bermunculan di pinggir sungai.
Mereka pun jadi tidak bisa lagi membiarkan anak-anak bermain di pinggir sungai. Padahal, pemanfaatan sungai merupakan tradisi atau budaya yang biasa orangtua turunkan ke generasi penerus.
“Anak-anak mau main ke sungai pun sudah tidak kami bolehkan. Karena itu tadi, takut dengan predator.”
Sekarang, semua tradisi itu hanya tinggal cerita. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan secara komunal masyarakat adat di sekitar kawasan IKN juga masih terbatas. Bukan masalah keaktifan individu, namun pembatasan-pembatasan berbasis gender masih terjadi.
“Hanya orang-orang yang tertentu saja. Ndak seluruh Masyarakat Pemaluan di sini dilibatkan, terutama perempuan.”
Warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), sudah lama protes plasma dengan PT Hamparan Massawit Bangun Persada (HMBP), Sejak September lalu, warga sudah aksi beberapa kali. Foto ini dari video aksi warga 21 September lalu. Foto: video warga
Pertandingan tak seimbang
Dalam peluncuran Catatan Akhir Tahun, Rukka menyebut, masyarakat adat berada dalam pertandingan yang tidak seimbang. “Masyarakat adat melawan negara dan kebijakannya, melawan korporasi. Pemerintah dan aparat dari tingkat desa sampai pusat mendukung perusahaan dan elit lokal,” katanya.
Dampaknya, setiap upaya masyarakat adat menuntut pengakuan atau penyelesaian konflik kerap patah karena kekuatan besar yang mereka lawan. Perjuangan untuk mempertahankan wilayah adat akan makin berat di masa depan.
Sejauh ini, dari data yang AMAN himpun lewat Badan Registrasi Wilayah Adat, sudah 30,1 juta hektar wilayah adat punya peta partisipatif. Dari jumlah itu, negara klaim kawasan hutan pada 23,8 juta hektar, dan ada 6,6 juta konsesi perusahaan di wilayah adat.
“Baru ada pengakuan 4,8 juta hektar wilayah adat,” kata Rukka.
Yance Arizona, Pakar Hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan, perampasan tanah dan diskriminasi masyarakat adat makin meningkat di masa depan. Dia mengacu pada kondisi demokrasi negara menurun.
Perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat, katanya, tercipta lewat kondisi demokrasi yang positif. “Kita di Indonesia sedang mengalami proses kemerosotan demokrasi. Upaya mencapai pengakuan masyarakat adat akan makin sulit.”
Terlebih, model pembangunan saat ini mengadopsi pola pemerintahan orde baru. Seperti lewat keterlibatan militer dalam urusan publik dan eksekusi program pemerintah.
Juga program transmigrasi yang menyasar Papua. Menurut dia, ini langkah diskriminatif terhadap masyarakat adat di Bumi Cendrawasih.
“Kita ada Otsus Papua dan pengakuan terhadap hak masyarakat adat. Sampai hari ini kita lihat implementasi terhadap pengakuan masyarakat adat sangat terbatas dalam konteks Papua,” kata Yance.
Dia mengimbau, masyarakat adat dan para pendamping mengencangkan ikat pinggang dan merapatkan barisan di tingkat lokal hingga nasional selama lima tahun ke depan. “Jangan sampai terkecoh dengan retorika populis, mereka bilang pembangunan untuk kepentingan masyarakat. Masyarakat yang mana?”
********
Menuntut Perlindungan Masyarakat Adat di Pemerintahan Baru
Sumber: Mongabay.co.id