- Meskipun beberapa Masyarakat Adat telah menerima kembali hak atas kawasan hutannya, sebagian dari mereka telah kehilangan pengetahuan tentang hutan.
- Di Kasepuhan Cibedug, di mana selama dua dekade hutan mereka dianggap masuk dalam kawasan hutan negara, warga adat kehilangan pengetahuan tentang manfaat tumbuhan hutan.
- Demikian juga pengelolaan sumber air untuk pengairan, pranata adat yang disebut pamakayanan tidak lagi berfungsi.
- Diperlukan dukungan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk memanstikan pengelolaan dan pengetahuan adat dapat kembali seperti sebelumnya
Siang itu Ucup (32), seorang warga kampung Cibedug, Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten, berjalan menuju patok perbatasan antara hutan garapan dengan hutan titipan.
Meski termasuk wilayah adat, area hutan titipan (leuweung titipan) yang berjarak 5 kilometer dari kampungnya itu, nyatanya baru diakui negara sejak 2 tahun lalu lewat SK.10085/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2022 tentang status hutan adat Kasepuhan Cibedug.
Namun, saat hutan kembali dikelola adat, kondisinya sudah rusak. Buktinya dapat ditemukan sepanjang perjalanan. ketika sisa-sisa tebangan pohon besar dapat dijumpai.
“Secara adat, seharusnya tidak diizinkan untuk menebang pohon di sini karena ini masuk kawasan hutan keramat,” kata Ucup.
Ucup bilang jika kondisi hutan rusak sejak tidak lagi dikelola oleh adat. Pada tahun 2003 area tersebut diklaim negara sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Tanggung jawab pengelolaannya ada di pihak taman nasional.
“Padahal dulu [saat dikelola adat] ada pamakayaan (juru tani).”
- Advertisement -
Pamakayaan sendiri mengacu kepada satu dari lima perangkat adat yang perannya mengatur air untuk pertanian. Area pertanian tadah hujan di Cibedug sepenuhnya tergantung kepada kelestarian leuweung titipan. Jika sumber air berkurang maka dapat dipastikan panen menjadi buruk.
Sejak hampir 20 tahun dikelola negara, tidak ada lagi pamakayaan di Cibedug. Dia menduga pelarangan warga untuk masuk hutan kala itu bisa jadi pemicunya. Padahal fungsi pamakayaan teramat penting.
Mereka secara reguler mengontrol hutan, mengecek dan menjaga sumber mata air yang ada, dan membuat saluran irigasi tanpa mengerosi lahan di lereng.
Sebagai generasi ke-10 di Kasepuhan Cibedug, kehilangan 20 tahun atau satu generasi pamakayaan, bagi Ucup amat berpengaruh. Ada warisan pengetahuan yang hilang dan tidak diturunkan kepada generasinya. Dia cuma bisa pasrah.
“Paling nungguan bae titah ti barisan olot (Tinggal menunggu perintah saja dari barisan para tetua),” katanya.
Sarmin (55), Amil adat Kasepuhan Cibedug menunjukan padi yang sudah disimpan di leuit di Kasepuhan Cibedug, Kabupaten Lebak, Banten. Sarmin mengatakan 1 leuit bisa menampung lebih dari 200 pocong atau setara 1 ton beras. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Baca juga: Kasepuhan Cibedug, Potret Perjuangan Warga Adat yang Hidup dalam Tradisi
Pengetahuan Adat yang Hilang
Selain itu, ada juga pengetahuan lokal tentang etnobotani yang terpengaruh akibat akses masuk hutan yang dibatasi selama dua dekade itu. Padahal, untuk umumnya warga adat kasepuhan, banyak tumbuhan yang bisa menjadi sumber berbagai pengobatan herbal.
Dibandingkan dengan generasi leluhur, saat ini pengetahuan mereka tentang berbagai jenis khasiat tumbuhan memang telah jauh menurun.
Satu dari yang tersisa itu adalah Nani Mulyati (43) yang masih memiliki pengetahuan soal tanaman obat. Setidaknya, dia masih dapat menyebutkan sekitar kurang lebih 50 jenis tanaman obat. Sedianya ada catatan, mungkin bisa lebih dari 100 jenis.
“Kadang sudah ada yang lupa,” terang dia. Nani kehilangan kemampuan identifikasi karena tidak lagi berinteraksi dengan alam dan hutan, karena pernah mengalami era pembatasan akses.
Dia bercerita, dulu ada peneliti dari Jepang yang datang pada tahun 2002. Dia tinggal di kasepuhan selama 3 tahun untuk melakukan riset dan berhasil membukukan lebih 100 tanaman khas. Sayangnya tidak ada dokumentasi yang ditinggalkan bagi masyarakat dari hasil penelitiannya itu.
Dengar-dengar sang peneliti pun sudah tidak bisa lagi dihubungi sejak ada kejadian tsunami di negaranya.
“Waktu itu saya tunjukan tanaman obat yang biasa kami pakai, kemudian dia kumpulkan dan sejak itu banyak tambahan pengetahuan tentang khasiatnya,” ucap Nani.
Di luar itu, arus modernitas dan budaya hidup praktis yang menyertainya saat ini, lebih jadi pilihan warga. Alih-alih repot mencari tumbuhan berkhasiat obat, mereka beralih mengkonsumsi obat-obat yang dijual di warung maupun datang berobat ketika sakit di Puskesmas.
Foto leuit yang berdampingan dengan area persawahan di Kasepuhan Cibedug, Kabupaten Lebak, Banten. Leuit menjadi simbol bagi Masyarakat Adat sebagai pengetahuan lokal yang bersahaja. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Padahal Nani bilang, banyak jenis tumbuhan herbal yang dapat menyembuhkan.
“Lampuyang, kitulang kotok, sirih, jukut bau, papagan lame, sembung dan cecenet itu beberapa tumbuhan yang biasa dipakai pasca melahirkan,” jelas Nani.
“Ada juga, sembung, beunying, arsam, kembang teleng dan samang, yang digunakan jika ada luka dalam atau penyakit lainnya. Cara pemakaiannya kebanyakan ditumbuk dan direbus.”
Bagi warga adat, hutan tidak hanya berisi tegakan pohon. Hutan adalah apotek hidup, katanya. Sebab terdapat berbagai jenis tumbuhan yang berguna.
Nani mencontohkan, pisang jenis gembor. Rebusan dari batangnya bisa untuk meredakan demam pada anak.
Terpisah dari hak kelola hutan adat selama 20 tahun, agaknya sedikit mengubah kebiasaan masyarakat. Padahal sudah ratusan tahun tinggal dan hidup di dekat hutan, mereka terdidik memanfaatkan berbagai jenis vegetasi hutan untuk obat, pangan, dan hidup.
Mirip seperti cerita Nani, warga yang lebih senior seperti Purna (55) pun mengaku pengetahuannya telah banyak berkurang. Contohnya saat ini. dia mengaku hanya mampu menyebut sekitar 35 varietas padi gede dan padi huma. Padahal, katanya, banyak jenis padi yang belum disebutkan.
Sebagai bagian dari adat, perempuan di Kasepuhan Cibedug perannya tidak bisa diremehkan. Di bidang penyediaan pangan misalnya, perempuan turun dari menanam, memanen padi, hingga ritual serentaun (memasukkan padi ke lumbung).
Jika ada satu tradisi yang masih tetap dipertahankan hingga kini adalah pantangan menggunakan bibit padi dari luar atau bibit transgenetik. Benih padi yang mereka pakai berasal dari hasil panen yang disisihkan untuk bank benih di musim berikutnya.
Sejumlah ibu-ibu melakukan aktivitas menumbuk padi menggunakan alat tradisional di Kasepuhan Cibedug, Kabupaten Lebak, Banten. Sekalipun tidak menolak modernisasi, mereka tetap mempertahankan tradisi adat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Hutan Adat Sebagai Jaminan Keberlanjutan
Lasti Fardilla Noor, Knowledge Management dari lembaga Working Group ICCAs Indonesia (WGII), meyakini hutan akan tetap lestari apabila pengelolaannya diberikan penuh kepada masyarakat adat.
Dalam konteks Kasepuhan Cibedug, -dia menyebut, masyarakat secara turun-temurun cenderung menjaga hutan warisan leluhur, Mereka menerapkan aturan adat dan menindak dengan tegas setiap pelanggaran yang terjadi,
Namun kerusakan justru terjadi ketika negara mengambil alih hutan, Saat banyak terjadi penebangan ilegal dan pencurian, masyarakat tidak lagi menindak pelanggaran ini. Dalam aturan adat, saat sudah menjadi bagian hutan negara, maka itu menjadi tanggung jawab dan mengikuti aturan taman nasional.
Lasti menegaskan, status hutan adat bersifat mutlak dan dilarang untuk diubah statusnya. Semisal, dalam Pasal 94 Peraturan Menteri LHK No 9/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, pemegang penetapan hutan adat tidak bisa mengubah status dan fungsi hutan adat.
“Artinya, semua kawasan yang telah ditetapkan sebagai hutan adat punya jaminan,” terangnya.
Lasti percaya, hutan adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat adat. Tidak saja secara fisik, tapi juga manfaat dan pengetahuan tentang berbagai jenis tumbuhan dan satwa yang ada di dalamnya.
Dia pun menyoroti, dalam proses pengakuan hutan adat banyak sekali rintangan serta ringkidnya birokrasi. Yang paling kentara adalah rendahnya dukungan pemerintah daerah.
Padahal, salah satu ketentuan utama penetapan hutan adat adalah regulasi daerah seperti peraturan daerah, terkait dengan tata cara pengakuan masyarakat adat, hingga wilayah hutan adat.
Dia menyebut saat dunia mulai mengakui peran masyarakat adat sebagai kelompok yang berperan aktif dalam perlindungan ekosistem, di dalam negeri masih banyak persoalan yang harus dibereskan terkait persoalan pengakuan hak.
“Sebenarnya dalam konteks konservasi, bahasa konservasi itu hanya ada di antara kalangan kita yang punya pikiran modern. Bagi masyarakat adat, konservasi itu tidak dikenal. Mereka hanya tahu satu bahasa yaitu menjaga,” pungkasnya.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay Indonesia dengan WGII.
Foto : Harmoni Selaras Alam Bersemayam di Kasepuhan Cisungsang
Sumber: Mongabay.co.id