- Para dubalang masyarakat adat di sepanjang aliran Sungai Subayang, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, ikut jadi penjaga kawasan konservasi Rimbang Baling. Dubalang ini merupakan pengawal ninik mamak suku.
- Tugas dubalang di komunitas adat mengawasi hutan adat dari aktivitas merusak dan mengancam keanekaragaman hayati.
- Konsorsium Kerabat melalui Forum HarimauKita mengusulkan pada BBSKDA Riau mengangkat para dubalang menjadi kader konservasi. Hal itu setelah disetujui para ninik mamak dan diperkuat dengan rekomendasi tertulis pemerintah desa.
- Kader konservasi dari tiap desa memiliki jadwal patroli lima hari dalam satu minggu. Mereka bergantian sesuai jatah desa masing-masing. Kalender itu sudah disusun sejak November 2023 hingga setahun penuh pada 2024. Tim Forum HarimauKita tetap mendampingi kegiatan yang ditambah sosialisasi dan edukasi pada masyarakat sekitar.
Dani Mirta, Hengki Pratama dan Risman, mengenakan kaos berkerah lengan panjang hijau tua. Bagian dada baju sebelah kiri bercap logo Kerabat, singkatan dari Konservasi Rimbang Baling Bersama Masyarakat yang Berdaulat. Sebuah konsorsium terdiri dari Yapeka, Indecon dan Forum HarimauKita.
- Advertisement -
Para pemuda ini adalah para kader konservasi yang akan patroli hutan. Siang itu, November lalu, Dani Mirta memimpin tim simulasi pemasangan kamera jebak.
“Grid itu sudah ditentukan. Kami sebagai pemasang kamera menuju itu langsung. Jadi kode-kode itu dibuat duluan dan diberikan pada tim yang akan turun ke lokasi,” kata Dani.
Setelah menemukan lokasi ideal yang dinilai akan dilintasi satwa, Dani mengeluarkan kamera dan memilih pohon tontang manok (Campnosperma sp) untuk mengikat kamera jebak.
Dia sudah diberi tali. Bagian atas tertutup potongan jerigen plastik mengikuti ukuruan kamera untuk melindungi terpaan hujan bak payung.
“Sebenarnya kamera ini anti air. Ini untuk antisipasi saja. Jadi sudah kita persiapkan.”
Kamera jebak menempel pada pohon dengan ketinggian 60 centimeter dari permukaan tanah. Dani mengatur mode kamera: foto atau video. Juga menyesuaikan hari, jam serta titik lokasi pemasangan.
Risman bagian mencatat data-data itu sesuai tabel pada kertas dokumentasi yang dibawa sedari awal. “Biar tidak lupa,” kata Risman, didampingi Hengki Pratama mengisi tabel informasi.
Kamera aktif bila lampu kecil berwarna merah tampak menyala.
Anggi Kemala Rezki, Field Officer Forum HarimauKita menyarankan, jarak antara pohon harus posisi miring atau tidak berhadapan. Ini untuk menghindari blitz atau flash alias cahaya kilat yang keluar dari kamera ketika menangkap reaksi di depannya.
“Kalau blitz atau sensor kamera satu kena ke kamera yang di depan, masing-masing kamera akan bereaksi seolah menangkap gambar yang lewat di depannya,” katanya.
Penggunaan baterai pada kamera jebak diatur sehemat mungkin. Sebab itu, durasi video dibatasi 10 detik ketika menangkap suatu gerakan di depan kamera. Ada pun foto cukup tiga kali jepret.
“Biasanya, daun jatuh pun juga akan ditangkap oleh kamera jebak. Ia (kamera) bekerja kalau ada reaksi apapun di depan.”
Tugas kader konservasi belum selesai di situ. Mereka akan kembali ke tiap-tiap kamera terpasang sebanyak dua kali. Satu setengah bulan pertama, buat mengganti baterai dan memori. Satu setengah bulan berikutnya lagi mengambil seluruh peralatan.
Hasil itu diserahkan sepenuhnya pada BBKSDA Riau, lewat Forum HarimauKita. Fatur bilang, informasi dalam kamera jebak buat satwa dilindungi, terkhusus harimau Sumatera.
BBKSDA Riau khawatir kalau informasi terutama titik koordinat bocor hingga jadi perburuan masyarakat. “Antisipasi demi keamanan.”
Selain memantau sebaran dan populasi harimau Sumatera di Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, kader konservasi juga mencatat tiap temuan selama perjalanan dalam hutan.
Mereka juga membawa kertas berisi gambar tapak kaki satwa. Ketika mendapati jejak, mereka tinggal mengukur dengan penggaris mencocokkan dengan gambar yang dibawa.
Tim survei melaksanakan tugas masing-masing. Mengatur penggunaan alat sampai pada pencatatan temuan. Foto Suryadi, Mongabay Indonesia.
Dubalang jadi kader konservasi
Dani Mirta dan rekan-rekan adalah dubalang yang diangkat jadi kader konservasi. Dalam masyarakat adat di sepanjang aliran Sungai Subayang, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, dubalang merupakan pengawal ninik mamak suku. Tiap desa atau kenegerian, setidaknya memilik paling sedikit tiga suku.
Ada sembilan desa di aliran Sungai Subayang. Mulai Tanjung Belit, Muara Bio, Batu Sanggan, Tanjung Beringin, Gajah Bertalut, Aur Kuning, Terusan, Subayang Jaya hingga Pangkalan Serai. Sebagian wilayah adat mereka berada di sekitar dan umumnya dalam Suaka Margasatwa Bukti Rimbang Bukit Baling (SM BRBB): kawasan konservasi yang ditetapkan Menteri Kehutanan seluas 141.226,25 hektar pada 2014.
Dubalang mengawal ninik mamak pada tiap upacara atau kegiatan adat. Baik saat lebaran sampai momen pernikahan. Mereka juga utusan ninik mamak dalam menyampaikan kabar atau mengumpulkan para ninik mamak lain ketika akan musyawarah adat.
Mereka punya tugas lebih penting: mengawasi hutan adat dari aktivitas merusak dan mengancam keanekaragaman hayati.
Sejalan tugas itu, Konsorsium Kerabat melalui Forum HarimauKita mengusulkan pada BBSKDA Riau mengangkat para dubalang menjadi kader konservasi. Hal itu setelah disetujui para ninik mamak dan diperkuat dengan rekomendasi tertulis pemerintah desa.
Hingga akhirnya keluar SK penetapan 27 kader konservasi oleh BBSKDA Riau, sekitar Oktober 2023. Erwan Turyanto, Plh Kabid Teknis BBKSDA Riau, menyebut dubalang juga sebagai polisi adat dalam menjaga SM BRBB.
Penetapan mereka sebagai kader konservasi bagian dari partisipasi masyarakat membantu dan terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Itu sejalan dengan UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Eksosistem (KSDAHE), UU 41/1999 tentang Kehutanan maupun PP 28/2011 tentang pengelolaan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
“Aturan itu memandatkan pada kita harus melibatkan masyarakat dalam mengelola kawasan konservasi. Dubalang adalah bagian dari masyarakat desa yang berada dalam Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukti Baling,” kata Erwan, dikutip dari Siniar Swararimba—Suara Rimbang Baling—yang tayang di youtube Radio Komunitas Lintas Subayang.
Forum HarimauKita lebih dulu melatih calon kader konservasi mengenai cara pengambilan data-data kehati, penggunaan peralatan monitoring seperti GPS, kamera jebak termasuk aplikasi smart patrol di telepon seluler masing-masing. Mereka juga dibekali materi keselamatan, keamanan dan pertolongan pertama oleh Basarnas.
Anggi mengatakan, materi pelatihan buat kader konservasi akan terus ditingkatkan. Termasuk penggunaan aplikasi smart patrol yang akan lebih efektif dan efisien dalam pengawasan dan pemantauan biodiversitas. Rencananya, materi pelatihan akan sampai pada pembuatan peta.
Sejak ditetapkan, kader konservasi berhasil melaksanakan tugas pertama: monitoring biodiversitas atau survei keanekaragaman hayati.
Forum HarimauKita membagi dua tim untuk memasang puluhan kamera jebak di blok khusus guna mendapatkan data-data kehati, terutama keberadaan satwa dilindungi.
Masing-masing tim menghabiskan 17 hari dalam hutan untuk memasang 20 kamera jebak pada 10 titik. Satu hari, mereka hanya dapat satu grid atau satu titik lokasi. Setelah itu mesti berpindah dan mendirikan tenda untuk bermalam sementara. Jarak antara grid berkisar dua kali dua kilometer kalau ukur garis lurus.
“Kalau ikut tracking bisa sampai 15 kilometer karena mengikuti kontur dalam hutan. Kita sekaligus buat jalur agar memudahkan perjalanan berikutnya ketika datang lagi untuk penggantian baterai dan pengambilan alat,” kata Dani.
Dito Prayogo, kader konservasi dari Desa Aur Kuning mengatakan, belum pernah berjumpa langsung dengan satwa target seperti harimau Sumatera tetapi kerap menemukan jejak berupa tapak kaki maupun kotoran.
Mereka lebih sering menemukan bekas cakaran beruang pada batang pohon. Sesekali ada bekas macan dahan. Beberapa titik ada kotoran gajah juga. Tak jarang, mereka juga temukan aktivitas penebangan liar dan perburuan satwa berupa jerat.
“Sambil pasang kamera, saya juga mencatat temuan-temuan itu,” kata Dito.
Dito, dubalang Suku Domo Kampai, juga pemandu arah selama perjalanan menyusuri hutan. Hasil kerja tim kader konservasi pasca survei biodiversitas dan monitoring keanekaragaman hayati, terangkum di peta yang ditempel pada dinding Kantor Resort Bukit Baling. Ia diberi kode tertentu untuk menandai tiap-tiap temuan.
Temuan perburuan satwa dengan pemasangan jerat. Foto Suryadi, Mongabay Indonesia.
Bagi Dani maupun Dito, sebenarnya tidak asing dengan dunia konservasi. Dubalang seperti mereka sudah terbiasa mengawasi hutan terutama hutan adat yang ditugaskan ninik mamak di desa masing-masing. Sehari-hari, mereka juga mencari nafkah di dalam hutan. Tak heran, mereka mudah keluar masuk hutan tanpa tersesat meski tanpa bantuan alat maupun aplikasi.
Dani, misal, satu bulan sekali pasti patroli di Hutan Adat Tanjung Belit seluas 300 hektar. Bila mendapati penebang hutan, perambahan atau perburuan, dia akan lapor ke ninik mamak. Respon awal ninik mamak biasa menasihati pelaku terlebih dahulu.
“Mengambil kayu tak boleh. Menjerat tak boleh. Menangkap burung pun tak boleh. Dilarang semua,” kata Dani.
Sejak jadi kader konservasi, patroli hutan lebih terjadwal. Tidak terbatas pada hutan adat saja. Melainkan mencakup seluruh areal SM BRBB bila dapat perintah atau diikutsertakan oleh BBKSDA. Seperti yang sudah dijalani Dito, akhir-akhir ini.
Pemasang kamera jebak yang sudah tuntas, sekitar Juni tahun lalu, mencakup lebih kurang 8.000 hektar areal jelajah, baru terbatas pada blok khusus. Hanya sedikit menyerempet blok perlindungan.
Kader konservasi mesti mengantongi surat perintah tugas dari BBSKDA Riau, sebelum memulai patroli.
Saat ini, kader konservasi dari tiap desa memiliki jadwal patroli lima hari dalam satu minggu. Mereka bergantian sesuai jatah desa masing-masing. Kalender itu sudah disusun sejak November 2023 hingga setahun penuh pada 2024. Tim Forum HarimauKita tetap mendampingi kegiatan yang ditambah sosialisasi dan edukasi pada masyarakat sekitar.
Anggi mengatakan, keterlibatan dubalang jadi kader konservasi sangat membantu program perlindungan hutan dan penelitian keanekaragaman hayati Forum HarimauKita maupun pemerintah.
“Kader konservasi bantu sebagian tugas BBKSDA Riau menjaga luasnya Rimbang Baling,” kata Dani.
Dani dan Dito, tak pungkiri menjadi kader konservasi sangat positif buat mereka. Selain menjadi terbiasa menggunakan peralatan dan teknologi yang memudahkan pengawasan hutan, mereka lebih dekat dengan hutan dan satwa setelah praktik identifikasi.
Selain itu juga jadi pemasukan tambahan buat keluarga.
Rata-rata dubalang atau kader konservasi bekerja sebagai petani karet baik milik sendiri maupun upahan di kebun orang lain. Sesekali mereka memanen petai dan jernang dari hutan.
Anggi bilang, beberapa kader konservasi sempat jadi penebang kayu di hutan. Namun mereka meninggalkan pekerjaan itu setelah terlibat langsung melindungi hutan di wilayah masing-masing.
“Harapannya, hutan tetap terjaga dan bebas dari aktivitas liar dan terlarang,” kata Dito.”
*****
Cerita Para Pahlawan Penjaga Hutan Nusantara
Sumber: Mongabay.co.id