- Tahun berganti, 2024 sudah berlalu, memasuki 2025. Tahun lalu, para pembela atau pejuang lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM), masih hadapi tantangan berat. Mereka hadapi berbagai ancaman kekerasan maupun kriminalisasi. Pada penghujung tahun lalu, ada tambahan regulasi yang menguatkan perlindungan bahwa pembela lingkungan hidup tak bisa kena hukum pidana maupun perdata.
- Catatan Walhi 2014-2024, terdapat 1.131 orang 1.086 laki-laki, 34 perempuan, dan 11 anak-anak alami kekerasan dan kriminalisasi. Bahkan, ada yang tewas karena memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
- Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengatakan, regulasi itu dibuat untuk memuluskan investasi. Sekalipun, dalam proses, industri ekstraktif seringkali mengabaikan partisipasi publik dalam proses. Alhasil, masyarakat terkena dampak kerusakan lingkungan hingga perampasan ruang hidup.
- Beberapa aturan yang melindungi pembela lingkungan hidup sudah ada, dari hakim, jaksa maupun dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tetapi celah kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup akan selalu ada. Kepolisian belum memiliki regulasi terkait perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup. Seringkali polisi menindak pejuang lingkungan hidup atas dasar laporan pidana.
- Advertisement -
Tahun berganti, 2024 sudah berlalu, memasuki 2025. Tahun lalu, para pembela atau pejuang lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM), masih hadapi tantangan berat. Mereka hadapi berbagai ancaman kekerasan maupun kriminalisasi. Pada penghujung tahun lalu, ada tambahan regulasi yang menguatkan perlindungan bahwa pembela lingkungan hidup tak bisa kena hukum pidana maupun perdata.
Banyak kasus menimpa pejuang lingkungan hidup, ada yang terjerat hukum sampai vonis kena hukuman, ada juga yang bebas. Salah satu, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, aktivis lingkungan Karimunjawa yang dikriminalisasi dengan tuduhan ujaran kebencian. Iadia sempat ditahan dan jalani sidang, bahkan dapat vonis tujuh bulan penjara oleh PN Jepara, meski akhirnya putusan banding membebaskannya.
Ada juga Hasilin dan Andi Firmansyah, warga Desa Torobulu, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dikriminalisasi dengan tuduhan menghalangi aktivitas perusahaan tambang nikel. Majelis hakim pun membebaskan keduanya dari segala tuduhan.
Kendati bebas, mereka harus menanggung dampak turunan dari kriminalisasi. Hasilin, misal, harus keluar kampung untuk sementara waktu lantaran mendapat perlakuan diskriminatif dari warga lain yang pro tambang.
Dia berkeliling mengikuti suaminya yang mencari pekerjaan di tempat lain. Pun demikian dengan putranya yang berusia lima tahun, tak bisa bersekolah sementara waktu.
Hasilin berkeliling mengadu nasib, Firmansyah mengurus bengkel di rumahnya yang berada di pinggir jalan provinsi. Firmansyah pun heran. Meski izin perusahaan ini dia nilai tak jelas dan aktivitas terus berdampak pada masyarakat, tidak ada tindakan apapun dari otoritas terkait.
Pemerintah, kata Firmansyah, lebih “membela” kepentingan perusahaan ketimbang warga. “Kami seperti kehilangan harapan pada negara untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat,” katanya.
Wa Ode Anisa, Koordinator Bidang Advokasi Walhi Sultra mengkritik pemerintah yang kurang mendukung warga dalam memperjuangkan lingkungannya. Pemerintah, seharusnya memprioritaskan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan warga bukan hanya investasi.
Menurut Anisa, banyak hutan untuk tambang yang berakibat ekosistem rusak. “Makin kesini hutan-hutan itu makin terancam. Tidak ada komitmen dari pemerintah untuk menjaga hutan yang tersisa,” ujar Anisa.
Keberpihakan pemerintah pada industri ekstraktif ini pula yang pada akhirnya meningkatkan resistensi bagi para pembela lingkungan. Seperti upaya kriminalisasi, sebagaimana Hasilin dan Firmansyah alami setelah menuntut dokumen izin dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) perusahaan.
Ayunia Muis, aktivis lingkungan mengatakan, belajar dari kasus itu, Undang-undang nyatanya tidak cukup melindungi aktivis agar tidak menjadi sasaran pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari kerusakan lingkungan.
Situasi itu, katanya, makin parah dengan pelibatan oknum apparat penegak hukum yang ‘bermain’ dan cenderung membela perusahaan.
Satrio Manggala, Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, yang Daniel dan warga dua warga Desa Torobulu alami membuktikan para pejuang lingkungan rentan terhadap kriminalisasi. Padahal, Indonesia sudah memiliki aturan terkait Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP).
Problem utama, kata Satrio, penegak hukum seringkali hanya melihat dari sudut pandang perbuatan pidana, tanpa menilik latar belakang kronologi mengapa perbuatan itu dilakukan. “Hingga, aturan-aturan Anti SLAPP seringkali tak digunakan. Alhasil, pejuang lingkungan hidup dipidanakan,” katanya.
Catatan Walhi 2014-2024, terdapat 1.131 orang 1.086 laki-laki, 34 perempuan, dan 11 anak-anak alami kekerasan dan kriminalisasi. Bahkan, ada yang tewas karena memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Satrio katakan, selama aparat tidak menarik konteks kasusnya ke belakang, kriminalisasi akan terus terjadi. Kasus Budi Pego, petani asal Banyuwangi, Jawa Timur, misal, kena bui karena tuduhan menyebarkan komunisme, marxisme-leninisme di muka umum saat demo menolak tambang emas di Tumpang Pitu.
Kemudian kasus Wilem Hengki, Kepala Desa Kinipan, Kalimantan Tengah yang ditangkap pada 26 Agustus 2020 atas tuduhan korupsi ketika berjuang mempertahankan wilayah adat dari ekspansi sawit PT Sawit Mandiri Lestari (SML).
Meski akhirnya vonis bebas dan meminta kejaksaan memulihkan nama baiknya.
Ada pula pejuang lingkungan lain yang ditangkap dengan berbagai tuduhan. Ada Gustina Salim Rambe alias Tina Tembe asal Sumatera Utara, dan Ilham Mahmudi dan Taufik, dua pemuda asal Kuala Langkat, Langkat, Sumatera Utara (Sumut).
Adam Putra Firdaus, Peneliti Kehutanan dan Lahan dari Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, kriminalisasi pejuang lingkungan bertentangan dengan konsepsi HAM terkait hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebab, hak itu mengandung elemen prosedural yakni akses informasi, partisipasi dan keadilan. Sayangnya, untuk mendapatkannya, masyarakat selalu menghadapi kerumitan, bahkan kriminalisasi.
“Jadi, ketika tiga akses tidak dijamin, masyarakat tidak punya akses informasi, tidak bisa berpartisipasi dan memperoleh keadilan ketika terjadi kerusakan lingkungan. Artinya, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak akan terpenuhi,” katanya kepada Mongabay.
Padahal, katanya, hak mendapatkan akses dijamin dan dilindungi aturan Anti-SLAPP. Aturanini pertama kali keluar pada 2009, yakni Undang-undang (UU) Nomor 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Pada Pasal 66 UU tersebut ini menyebutkan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut pidana maupun perdata. Aturan ini diperjelas dengan kelahiran Permen KLHK 10/2024.
Beleid ini, seharusnya dapat terimplementasi sebelum masuk ke persidangan atau saat penangkapan. Terlebih, sebelumnya sudah ada pedoman Kejaksaan Nomor 8/2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Jaksa harus melihat keterkaitan antara laporan dengan perjuangan hak atas lingkungan hidup. Kalau jaksa yakin itu SLAPP, amanatnya jaksa harus menghentikan penyidikan atau mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan.”
Kemudian, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Pada pasal 48 menjelaskan tentang perlindungan hukum pada setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup atau Anti-SLAPP.
. Daniel Frits Maurits Tangkilisan, aktivis lingkungan yang menyuarakan penyelamatan Karimunjawa dijatuhi vonis hukum tujuh bulan penjara, denda Rp5 juta oleh Pengadilan Negeri Jepara, Kamis (4/4/24). Foto: Falahi MUbarok/ Mongabay Indonesia
Dalam mengambil putusan, hakim juga harus mempertimbangkan keterkaitan terdakwa dengan perjuangannya memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Adam memandang, lahirnya aturan-aturan Anti-SLAPP ini sebagai semangat positif bagi para pejuang lingkungan hidup. Mereka bisa terlindungi ketika harus berhadapan dengan hukum atau mendapat ancaman dan intimidasi saat berjuang mempertahankan ruang hidupnya.
Satu pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah adalah menyusun sistem terpadu Anti-SLAPP. Jadi, perkara yang terkait Anti-SLAPP bisa setop sedini mungkin.
Satrio Manggala mengatakan, celah kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup akan selalu ada. Apalagi, kepolisian belum memiliki regulasi terkait perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup. Seringkali polisi menindak pejuang lingkungan hidup atas dasar laporan pidana.
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, ada begitu banyak pasal bisa menjerat korban kriminalisasi. Contoh, Pasal 162 revisi UU Nomor 3/2020 tentang Minerba.
Aturan itu berbunyi, setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang izin usaha pertambangan (IUP), izin usaha pertambangan khusus (IUPK), izin pertambangan rakyat (IPR), atau surat izin penambangan batuan (SIPB) kena pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.
Kemudian, Pasal 73 dan 74 UU Nomor 21/2014 tentang Panas Bumi. Melalui pasal itu, masyarakat yang menghalangi atau merintangi pembangunan proyek panas bumi kena pidana penjara sampai tujuh tahun dan denda Rp70 miliar.
Menurut Jamil, regulasi itu dibuat untuk memuluskan investasi. Sekalipun, dalam proses, industri ekstraktif seringkali mengabaikan partisipasi publik dalam proses. Alhasil, masyarakat terkena dampak kerusakan lingkungan hingga perampasan ruang hidup.
“Ketika rakyat berjuang merebut kembali hak-hak asasi mereka, mereka justru dihadapkan dengan agenda pembungkaman, agenda pembatalan partisipasi, atau pembunuh kesempatan rakyat untuk berpartisipasi,” kata Jamil.
Aparat, kata Jamil, seringkali mengabaikan fakta hukum dan bertindak di luar proses hukum, yakni dengan kekerasan hingga menyebabkan kematian.
Hukum, katanya, justru dijadikan alat untuk menakut-nakuti dan membungkam masyarakat.
“Ada begitu banyak korban kriminalisasi, yang sebagian berhasil kita hentikan sebelum masuk pengadilan. Di Wawoni ada 35 orang, di Sangihe 37 orang dan Poco Leok ada 15 orang. Mereka tidak dipenjara, karena kita berhasil membelanya saat masih di tahap kepolisian,” kata Jamil.
Dia bilang bergantinya rezim, dari Joko Widodo ke Prabowo diyakini akan meningkatkan ancaman bagi pejuang lingkungan.
“Jatam memproyeksikan kriminalisasi terus ada, bahkan meningkat 2-3 kali lipat dengan berlangsungnya industri ekstraktif ke depan. Apalagi, dengan pola pelabelan proyek strategis nasional.”
Hasilin dan Andi Firmasyah, usai persidangan dengan vonis bebas untuk mereka. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia
Terus berjuang
Di tengah derasnya ancaman kriminalisasi, para pembela lingkungan terus berjuang mendapatkan haknya.
Di Kabupaten Dairi, masyarakat berjuang menolak tambang seng. Di Pulau Pari dan Rempang, mereka menolak privatisasi pulau.
Ada juga warga Kepulauan Sangihe yang menolak tambang emas, warga Padarincang yang menolak pembangkit listrik panas bumi (PLTB) hingga masyarakat adat di Merauke yang menolak pembangunan proyek tebu dan bioetanol.
“Banyak yang dipanggil polisi setelah kami menghadang alat berat. Kami dituduh melakukan kerasaan, melemparlah, apalah, begitu-begitu,” kata Jull Takaliuang, aktivis lingkungan dari Save Sangihe Island (SSI).
Dia bilang, masyarakat harus melewati berbagai macam rintangan seperti intimidasi hingga kriminalisasi sampai mendapat kemenangan. Terakhir, Robison Saul, nelayan yang dipenjara 9 bulan karena menghadang alat berat PT Tambang Mas Sangihe (TMS) 14 Juni 2022.
Jull bilang, perjuangan masyarakat belum usai meskipun mereka menang dan berhasil menghentikan operasional TMS. Selain tambang emas ilegal kian marak, mereka juga dibuat waswas terkait rencana akuisi 10% saham TMS oleh PT Arsari Tambang, perusahaan tambang milik adik Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo.
Dia memastikan, warga akan tetap menolak kehadiran perusahaan tambang. Sebagai pulau kecil, Sangihe tidak layak ditambang. “Sampai kapan pun kami tetap konsisten untuk menolak. Kita tidak pernah berhenti berjuang,” katanya,
Robison Saul, aktivis SSI mengatakan, masyarakat Sangihe tidak takut dengan segala upaya intimidasi dan kriminalisasi. Lebih kuat khawatir jika ruang hidup mereka rusak. Bagi mereka, hutan, laut dan sungai adalah sumber penghidupan.
Sebagian besar masyarakat Sangihe sebagai petani dan nelayan. Kalau sampai ada tambang TMS, katanya, bisa berdampak pada mata pencaharian mereka.
Cerita lain dari masyarakat Dairi, Sumatera Utara yang berjuang menolak eksploitasi tambang seng PT Dairi Prima Mineral (DPM). Baru-baru ini masyarakat Dairi memenangkan gugatan pencabutan izin DPM. Dalam amar putusan majelis hakim agung, memperkuat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta untuk mencabut persetujuan izin lingkungan DPM.
Rohani Manalu dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), mengatakan, masyarakat Dairi berencana mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—kini terpisah– untuk menagih putusan itu.
“Kami akan terus berjuang menyelamatkan ruang hidup kami atas tanah, kampung, kemudian lingkungan kita, hutan dan sungai. Karena sumber mata pencaharian kami,” katanya.
Rohani bilang, meskipun sudah kembali berladang dan menata kehidupan, warga masih khawatir sewaktu-waktu seiring aktivitas yang dilakukan PT DPM. Aktivitas PT DPM, katanya, dari hasil penelitian diapit oleh tiga patahan yakni Lae Renun, Toru dan Angkola. Dia pun khawatir tambang memicu pergeseran patahan dan menyebabkan bencana.
taufik, warga Kuala Langkat, juga penolak mangrove jadi kebun sawit. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia
Pasal multitafsir
Andry Gunawan Wibisana, pakar hukum lingkungan Universitas Indonesia menilai, ada empat pokok permasalahan berkaitan dengan perlindungan terhadap pejuang lingkungan di Indonesia.
Pertama, Pasal 66 UU PPLH yang tidak dijabarkan jelas, meskipun pasal ini menyatakan, orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak dapat digugat perdata dan dituntut secara pidana. “Pada bagian penjelasan juga tidak menjabarkan jelas apa yang dimaksud dengan ‘memperjuangkan secara hukum.”
Kedua, banyak kasus kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan. Seperti kasus di Konawe Selatan, para pejuang lingkungan dituduh menghalang-halangi kegiatan pertambangan.
Ketiga, banyak jaksa yang tidak memahami makna luas dari Pasal 66 UU PPLH. Mereka tetap memproses kasus pejuang lingkungan meskipun mereka hanya menyampaikan pendapat atau melakukan upaya hukum.
Keempat, meskipun pejuang lingkungan bebas dari tuntutan hukum, tidak ada jaminan perusahaan yang menjadi objek perjuangan mereka berhenti beroperasi.
Menurut Gunawan, keempat pokok permasalahan itu jelas pada penanganan kasus kriminalisasi terhadap Haslilin dan Firmansyah, yang sedang menunggu putusan dari upaya kasasi jaksa. “Padahal, teks Pasal 66 jelas menyatakan, negara memiliki kewajiban melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak warga, termasuk hak atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih.”
Gunawan. bilang, ketentuan Pasal 66 itu dapat dimaknai negara wajib menggunakan sumber daya untuk melindungi mereka yang berjuang mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah seolah bertindak sebagai pemilik negara ini, berikut sumber daya alam di dalamnya dan mengabaikan hak-hak rakyat.
Dia pun meyakini, kriminalisasi terus terjadi sepanjang konsepsi “menguasai” sumberdaya alam dimaknai “memiliki” oleh pemerintah.
“Terlebih, jika regulasi terbaru tentang perlindungan bagi pejuang lingkungan tidak dipahami oleh para apparat penegak hukum.”
Gustina Salim Rambe, warga Rantauprapat, Sumatera Utara.
*******
Tolak Hutan Mangrove jadi Sawit, PN Stabat Vonis Ilham dan Taufik Bersalah
Sumber: Mongabay.co.id