- Pemerintah sudah mendapatkan investor untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung di Danau Singkarak, Sumatera Barat. Namun, sosialisasi tak tuntas dan tak transparan, komunikasi juga buruk serta masyarakat masih trauma terkait kehadiran PLTA Singkarak. Masyarakat Adat Malalo Tigo Jurai merasa dilangkahi
- Weirda Laku, Bundo Kanduang Malalo Tigo Jurai mengatakan, para ibu di kampung cemas karena tak ada kejelasan masa depan mereka kalau ada PLTS.
- Masyarakat sudah merasakan dampak PLTA dulu, ikan berkurang dan lahan masyarakat sekitar pembangkit kering. Mereka tak mau hal yang sama terulang kalau ada PLTS.
- Roni Saputra, Direktur Penegakan Hukum Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, pemerintah atau PLN wajib memberikan informasi dan jalankan free prior and informed consent (FPIC) ke masyarakat. Kalau tidak, maka itu pelanggaran dalam proses pelayanan karena masyarakat berhak mendapatkan informasi.
- Advertisement -
Pemerintah sudah mendapatkan investor untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung di Danau Singkarak, Sumatera Barat. Namun, sosialisasi tak tuntas dan tak transparan, komunikasi juga buruk serta masyarakat masih trauma terkait kehadiran PLTA Singkarak. Masyarakat Adat Malalo Tigo Jurai merasa dilangkahi.
Sebelumnya, PT PLN Indonesia Power Bersama investor Arab Saudi akan membangun PLTS dengan nilai investasi Rp50 triliun.
Malalo Tigo Jurai terdiri dari dua nagari, Guguak Malalo dan Padang Laweh. Pada Selasa (24/12/24), Malalo Tigo Jurai mengadakan musyawarah besar. Ada ninik mamak, Karapatan Adat Padang Laweh Malalo dan Guguk Malalo, alim ulama, cadiak pandai, dan bundo kanduang. Kemudian, Wali Nagari dan BPRN Padang Laweh Malalo dan Guguak Malalo, tokoh masyarakat serta pemuda se-Malalo Tigo Jurai.
Dalam pertemuan itu membahas penolakan pembangunan PLTS di Danau Ulayat Malalo Tigo Jurai. Ada dua poin kesepakatan dalam acara ini. Pertama, menolak tegas pembangunan PLTS di Danau Ulayat Singkarak Malalo Tigo Jurai karena merugikan kehidupan masyarakat salingka danau. Masyarakat juga meyakini akan mengancam kelestarian ekosistem terutama endemik ikan bilih maupun keindahan danau dalam jangka panjang.
Kedua, seluruh ninik mamak mulai dari Jurai Padang Laweh, Jurai Tanjung Sawah dan Jurai Guguak Malalo sepakat, tak akan menyewakan, menggadaikan dan menjual tanah pusako kepada pihak pengembang maupun PLTS.
Eduardo, Ketua Tim Penolakan PLTS yang mewakili para pucuk adat di Malalo Tigo Jurai mengatakan, masyarakat banyak mengeluhkan, terutama sumber penghidupan mereka di danau.
“Mereka takut kehilangan penghasilan. Beberapa tahun ini sudah berkurang, jangan nanti pas ada PLTS itu justru menghilangkan sumber pengcarian di danau. Pemerintahan perhatikanlah adat istiadat kami,” katanya.Kondisi mereka sudah susah dengan ada PLTA dan pintu penutup jalur air yang tidak dinaikkan. Terjadi pengendapan dan ikan jadi jarang, kemungkinan karena lokasi lebih rendah, masuk ke terowongan.“Sekarang bagan-bagan itu dalam satu malam saja sulit mendapat satu kg ikan. Biasanya semalam bisa dapat banyak.”
Masyarakat Selingkar Danau Singkarak, awalnya sudah menolak terdiri dari 13 nagari dan 13 karapatan adat nagari baik di Kabupaten Tanah Datar dan Solok. Penolakan mereka sampaikan di DPRD Tanah Datar, namun anggota dewan banyak yang pergi reses. “Setelah itu kembali reda isunya. Ini tiba-tiba muncul lagi berita bahwa mereka sudah sosialisasi, masyarakat terkejut,” katanya.
Melangkahi budaya setempat
Beberapa spanduk penolakan terbentang di wilayah adat Malalo Tigo Jurai, Tanah Datar. Malin, tokoh pemuda adat mengatakan, PLTS masuk abai budaya setempat. “Ada ninik mamak, masyarakat. Jadi, tak sesuai adat berlaku. Sejak 2019, tidak ada bertemu ninik mamak,” katanya.
Masyarakat, katanya, belum tahu dokumen, seperti analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PLTS. “Terkait bagaimana dampaknya ke ikan di danau dan sebagainya,” katanya.
Keberatan itu, dia sampaikan dalam rapat sosialisasi dengan pemerintah provinsi 16 Januari 2024. “Saya bilang cara masuknya tidak sesuai.”
Mereka yang mau masuk ke Masyarakat Adat Malalo Tigo Jurai harus menghargai adat istiadat. “Ka lauik babungo karang. Ka rimbo babungo kayu,” kata Abu Bakar, gelar Katik Marajo, tokoh adat Malalo Tigo Jurai.
Maknanya, semua yang ada di danau dan hutan itu milik masyarakat adat. Kalau pemerintah mengambil kayu dari hutan, pemerintah harus membayar ke masyarakat adat.
Uangnya untuk pembangunan balai adat atau perbaikan rumah-rumah masyarakat atau fasilitas umum lain.
Selain itu, ‘ke laut berbunga karang’ bermakna, bila orang luar Singkarak mencari ikan harus bayar ke ninik mamak, kecuali nagari tetangga mereka. “Dulu pernah satu orang Rp15.000-Rp20.000. Ini berlaku untuk kampung selain tetangga wilayah adat Malalo Tigo Jurai,” katanya.
Danau dan hutan merupakan tempat penting bagi mereka. “Air nan setitik, rumpuik nan sahalai dan tanah nan sebingkah itu hak ulayat ninik mamak di ranah minang.”
Ungkapan itu berarti, kata Abu Bakar, semua aset adat untuk menghidupi anak cucu keturunan mereka. Kalau tak dapat penghasilan cukup di rantau, bisa pulang dan mencari penghidupan dari danau dan lahan. “Jika ada yang belum kerja dan memiliki uang, bisa mencari ikan di danau,” katanya.
Bahkan, tepian-tepian danau tempat mandi untuk kaum-kaum adat juga diatur agar tidak bertengkar soal wilayah.
Lebih dari setengah populasi Masyarakat Adat Malalo Tigo Jurai menggantungkan hidupnya pada Danau Singkarak. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia
Minim sosialisasi dan pertisipasi masyarakat
Weirda Laku, Bundo Kanduang Malalo Tigo Jurai mengatakan, para ibu di kampung cemas karena tak ada kejelasan masa depan mereka kalau ada PLTS.
“Entah bagaimana nanti lingkungan di sini, tanaman-tanamannya, entah bagaimana anak-anak kami nanti, bagaimana ikan-ikan di danau nanti. Tahu-tahu nanti orang-orang yang tinggal di pinggir danau juga akan kena dampaknya,” katanya.
Dia bilang, sudah merasakan dampak PLTA dulu, ikan berkurang dan lahan masyarakat sekitar pembangkit kering. Mereka tak mau hal yang sama terulang kalau ada PLTS.
Roni Saputra, Direktur Penegakan Hukum Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, pemerintah atau PLN wajib memberikan informasi dan jalankan free prior and informed consent (FPIC) ke masyarakat. Kalau tidak, maka itu pelanggaran dalam proses pelayanan karena masyarakat berhak mendapatkan informasi.
FPIC merupakan proses memastikan masyarakat adat dan lokal dapatkan informasi penuh soal proyek hingga keputusan mereka memang melalui persutujuan di awal tanpa paksaan.
“Jangan hanya gara-gara alasan mengganti energi fosil, prinsip perlindungan hak asasi manusia gagal dilakukan.”
Roni mengatakan, penyelenggara PLTS wajib memberikan informasi ke masyarakat soal kegiatan mereka dan dampak yang mungkin muncul. “Mereka berhak mendapat informasi, jika tidak itu pelanggaran dalam proses pelayanan.”
Dia mengatakan, dalam pembangunan PLTS tak hanya komponen solar panel yang mengapung di danau, juga ada komponen bawah air hingga transmisi dalam bentuk tower.
“Jika PLTS dibangun di waduk atau danau buatan, PLTS Singkarak dibangun di tengah-tengah pemukiman dan sumber hidup masyarakat. Maka pembangkit akan merusak sistem–ekosistem dan sosial yang ada.”
Sebagian masyarkat Singkarak juga bertani ke sawah dan mengolah lahan untuk tanaman pangan. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia
*******
PLTS Kubu, Proyek Ambisius yang Kini Tidak Terurus
Sumber: Mongabay.co.id