- Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta menjatuhi hukuman enam dari 22 terdakwa kasus korupsi tata niaga timah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah, di Bangka Belitung periode 2015-2022, pada 23 Desember lalu. Berbagai kalangan menilai, putusan hukum yang dibacakan Ketua Majelis Hakim PN Tipikor, Eko Aryanto ini terlalu ringan, tak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang terjadi di Bangka Belitung.
- Hakim anggota Suparman Nyompa dalam sidang menyatakan, perbuatan para terdakwa menimbulkan kerugian negara Rp300 triliun, berdasarkan hasil audit tim Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
- Satrio Manggala, Manajer Analisa Kebijakan Publik Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, penegakan hukum sejatinya jadi efek jera bagi pelaku tipikor. Sedangkan pada kasus korupsi timah itu, vonis hakim terbilang ringan dan tak sebanding dengan nilai kerugian yang ditimbulkan. Apalagi, dampak tambang, lingkungan hidup di Bangka Belitung rusak parah.
- Eksploitasi sumber daya alam menyebabkan kerusakan lingkungan di Bangka Belitung. Catatan Walhi, kurun 2014-2020, Bangka Belitung kehilangan hutan tropis seluas 460.000 hektar. Kini, hanya menyisakan 197.255,2 hektar hutan. Lebih dari 1.000 sungai di Bangka Belitung juga tercemar. Kondisi ini makin parah dengan kerusakan hutan mangrove seluas 10.858 hektar.
- Advertisement -
Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta menjatuhi hukuman enam dari 22 terdakwa kasus korupsi tata niaga timah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah, di Bangka Belitung periode 2015-2022, pada 23 Desember lalu. Berbagai kalangan menilai, putusan hukum yang dibacakan Ketua Majelis Hakim PN Tipikor, Eko Aryanto ini terlalu ringan, tak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang terjadi di Bangka Belitung.
Keenam orang yang kena hukum yakni, Harvey Moeis selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta merupakan Direktur Pengembangan Usaha RBT dan Reza Andriyansyah sebagai penerima manfaat PT Stanindo Inti Perkasa. Lalu, Suwito Gunawan merupakan Direktur PT Sariwiguna Binasentosa, Robert Indarto dan Rosalina sebagai General Manager Operasional PT Tinindo Internusa 2017-2020.
Harvey Moeis kena vonis 6,5 tahun penjara, denda Rp1 miliar subsider enam bulan penjara serta membayar ganti rugi Rp210 miliar subsider dua tahun penjara. Aset yang berkaitan dengan perkara suami dari aktris Sandra Dewi ini juga dirampas untuk negara sebagai hukuman membayar ganti rugi.
“Menyatakan terdakwa Harvey Moeis terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan secara bersama-sama,” kata Eko di PN Tipikor, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Harvey dengan hukuman penjara satu tahun, denda Rp1 miliar subsider satu tahun penjara ditambah ganti rugi Rp210 miliar subsider 6 tahun penjara.
Suprapta vonis penjara 8 tahun, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan penjara serta berkewajiban membayar ganti rugi Rp4,5 triliun subsider 6 tahun penjara. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan JPU yakni pidana penjara 14 tahun dan denda Rp1 miliar subsider satu tahun penjara dan wajib membayar ganti rugi Rp4,5 triliun subsider 8 tahun penjara.
Lalu, Rosalina, kena pidana 4 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan penjara. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa 6 tahun penjara.
Untuk Reza Andriansyah pidana 5 tahun, denda Rp750 juta subsider tiga bulan penjara. Vonis lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni pidana penjara 8 tahun dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan penjara.
Kemudian Suwito Gunawan dan Robert Indarto kena hukum 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan penjara. Hakim juga menghukum keduanya membayar ganti rugi, Suwito Rp2,2 triliun subsider 6 tahun penjara dan Robert Rp1,9 triliun subsider 6 tahun penjara. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yakni 14 tahun untuk mereka.
Hakim menyatakan, keenam terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Empat terdakwa yakni Harvey, Suprapta, Suwito dan Robert terbukti korupsi dan pencucian uang. Sedangkan Reza dan Rosalina, terbukti melakukan korupsi.
Harvey M (nomer dua dari kiri) bersama para tersangka dugaan korupsi tambang timah di Bangka Belitung.
Kerugian negara capai Rp300 triliun
Hakim anggota Suparman Nyompa dalam sidang menyatakan, perbuatan para terdakwa menimbulkan kerugian negara Rp300 triliun, berdasarkan hasil audit tim Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dia merinci, kerugian itu dari kalkulasi kerusakan dan pemulihan atas lingkungan hidup di Bangka Belitung karena aktivitas tambang Rp271,07 triliun. Kemudian, kerugian Rp2,28 triliun dari sewa alat pengolahan timah yang tak sesuai ketentuan atau lebih mahal dari harga sesungguhnya. Juga pembayaran biji timah ilegal oleh PT Timah kepada mitra tambangnya Rp26,65 triliun.
“Unsur yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara terpenuhi pada perbuatan terdakwa itu,” kata Suparman dalam sidang.
Dia mengatakan, uang kerugian negara mengalir ke beberapa terdakwa dan perusahaan mitra. Antara lain, Amir Syahbana sebagai Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bangka Belitung 2021–2024 sebesar Rp325,99 juta. Kemudian, Suparta sebagai Direktur RBT melalui perusahaan Rp4,57 triliun. Kemudian, penerima manfaat CV Venus Inti Perkasa (VIP) dan PT Menara Cipta Mulia (MCM) Tamron alias Aon melalui VIP Rp3,66 triliun, serta Robert Indarto, Direktur SBS Rp1,92 triliun.
Suwito, pemilik manfaat SIP Rp2,2 triliun, Hendry Lie, pemilik manfaat PT Tinindo Inter Nusa (TIN) Rp52,57 miliar dan 375 mitra jasa usaha pertambangan senilai Rp10,38 triliun.
Uang itu kemudian mengalir ke Indo Metal Asia dan Koperasi Karyawan Mitra Mandiri (KKMM) Rp4,14 triliun serta Emil Ermindra selaku Direktur Keuangan PT Timah periode 2016–2020 dan Mochtar Riza Pahlevi selaku Direktur Utama Timah periode 2016-2021 melalui CV Salsabila Utama Rp986,79 miliar.
Suparman bilang, ada pula Rp420 miliar merupakan pengumpulan dana dari para smelter swasta melalui PT Quantum Skyline Exchange (QSE) sebagai perpanjangan tangan RBT. Harvey Moeis dan Helena Lim selaku Manajer QSE.
“Dengan demikian para terdakwa yang menikmati uang itu dibebankan pula uang pengganti atas kerugian negara,” kata Suparman.
Agustina Arumsari, Deputi Bidang Investigasi BPKP menjelaskan, nilai kerugian itu berdasar hasil riset beberapa pakar, salah satunya Bambang Hero Sahardjo, pakar lingkungan dan Guru Besar IPB University.
“Ini masuk dalam keuangan negara, karena memang di dalam konteks neraca sumber daya alam lingkungan, kerusakan yang disebabkan tambang ilegal merupakan residu yang menurunkan nilai aset lingkungan secara keseluruhan,” katanya.
Bambang Hero menghitung kerugian negara karena kerusakan lingkungan berdasarkan Peraturan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 tahun 2014. Kerusakan itu, katanya, terbukti secara pendekatan saintifik.
Bambang dan timnya melakukan legal sampling pada area tambang. Sampel itu dari sisa bongkaran tambang sampai vegetasinya.
“Satu lokasi tidak hanya satu titik, itu ada beberapa titik, baik yang ada di Bangka, Bangka Belitung, Bangka Timur. Area tambang timah yang berada di Babel, jadi kami datangi.”
Hasil perhitungan terungkap dalam kawasan hutan itu, ternyata tidak hanya hutan produksi juga kawasan konservasi (taman nasional).
Mereka juga rekonstruksi dengan citra satelit. Dengan begitu mereka dapat mengetahui luasan kerusakan lingkungan dan perubahan lingkungan dampak tambang 2015-2022.
Sejumlah Rp 271 triliun itu, dia dapatkan dari kerusakan di dalam dan non kawasan hutan. Rinciannya, biaya kerugian lingkungan Rp183,703 triliun, kerugian ekonomi lingkungan Rp74, 493 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp12,157 triliun.
“Apapun alasannya PT Timah harus bertanggung jawab atas yang terjadi di lokasi itu. Kalau tidak [pemulihan] akan menjadi beban negara. Harus dipulihkan.”
Luasan IUP tambang di Bangka Belitung 348.653,574 hektar dengan luas galian 170.363,064 hektar. Ia tersebar di tujuh kabupaten yakni Bangka, Bangka Barat, Bangka Selatan, Bangka Tengah, Belitung, Belitung Timur dan Kota Pangkalpinang.
Lanskap Pulau Bangka kini didominasi bukit-bukit dari tumpukan limbah pertambangan timah.Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Tak sebanding
Satrio Manggala, Manajer Analisa Kebijakan Publik Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, penegakan hukum sejatinya jadi efek jera bagi pelaku tipikor. Sedangkan pada kasus korupsi timah itu, katanya, vonis hakim terbilang ringan dan tak sebanding dengan nilai kerugian yang ditimbulkan. Apalagi, dampak tambang, lingkungan hidup di Bangka Belitung rusak parah.
Seharusnya, hakim memberikan hukuman setinggi-tinggi bagi pelaku agar ada efek jera dan sebagai pengingat.
“Cukup kecewa dalam kasus ini. Putus hakim begitu rendah karena tidak cukup mampu memberikan efek jera. Apalagi hakim sudah menetapkan kerugian sekian ratus triliun.”
Kerugian yang timbul bukan hanya menjadi tanggung jawab para terdakwa, juga negara. Sebab, dari awal negara sudah memberikan izin usaha sebagai pintu masuk kepada para terdakwa untuk melakukan penambangan. Izin itu kemudian diselewengkan untuk mendapatkan keuntungan lebih.
Satrio bilang, setiap industri ekstraktif pasti menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang menjadi kerugian negara.
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, dari dari 22 pelaku, tak ada satu pun pucuk pimpinan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Padahal, katanya, menteri periode itu seharusnya ikut bertanggung jawab.
Jatam juga menyoroti pengawasan KESDM lemah dan dinilai lalai. Aparat penegak hukum atau inspektur di Indonesia juga lakukan moral hazard dalam pengawasan.
“Mentalitas korup. Ketika datang mengawasi tambang itu seluruh proses mulai dari kendaraan dan sebagainya itu difasilitasi perusahaan,” katanya.
Perlakuan istimewa itu, menimbulkan dampak negatif dalam kerja-kerja pengawasan.
Aktivitas melimbang timah di sekitar pesisir timur di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia
Kerusakan lingkungan parah
Eksploitasi sumber daya alam menyebabkan kerusakan lingkungan di Bangka Belitung. Catatan Walhi, kurun 2014-2020, Bangka Belitung kehilangan hutan tropis seluas 460.000 hektar. Kini, hanya menyisakan 197.255,2 hektar hutan. Lebih dari 1.000 sungai di Bangka Belitung juga tercemar. Kondisi ini makin parah dengan kerusakan hutan mangrove seluas 10.858 hektar.
Kerusakan daratan Bangka Belitung juga menyebabkan bencana. Analisis Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNPB) Bangka Belitung, dari 11 ancaman bencana di provinsi ini, dari tanah longsor, banjir serta kekeringan, masuk dalam risiko tinggi.
Pada 2023, BPBD mencatat ada 1.084 bencana di Bangka Belitung. Bencana di Bangka Belitung bertambah hampir dua kali lipat pada 2024.
BPBD mencatat, bencana di Bangka Belitung pada 2024 mencapai 2.044 kejadian (1 Januari – 26 Desember 2024). Paling banyak banjir 1.045 kejadian, disusul cuaca ekstrem 442 dan longsor 129 kasus.
Khusus di Bangka Belitung, eksploitasi di daratan melebihi daya dukung lingkungan hingga menyebabkan bencana dan laju degradasi lingkungan yang mengkhawatirkan.
Berdasarkan dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (IKPLHD) Bangka Belitung 2019, luas pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan sudah 1.007.372,66 hektar dari1.642.400 hektar luas provinsi ini.
Aktivitas penambangan tak hanya merusak lingkungan juga memakan korban. Data kompilasi Walhi Bangka Belitung, sepanjang 2021-2023, ada 27 orang meninggal dunia karena kecelakaan tambang, dan 20 orang luka-luka. Ada ribuan kolong (bekas lubang tambang) yang belum tereklamasi dan terus memakan korban.
Sepanjang 2021-2023, tercatat ada 21 kasus tenggelam di kolong, sebanyak 15 korban meninggal dunia, 12 anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.
Satrio menegaskan, kerusakan itu harus segera ada pemulihan. Uang ganti rugi atau perampasan aset milik Harvey cs harus teralokasi untuk pemulihan lingkungan di Bangka Belitung.
Seharusnya, dalam putusan hakim, memerintahkan lembaga atau kementerian tertentu bertanggung jawab untuk membuat perencanaan pemulihan lingkungan di Bangka Belitung.
“Uang itu adalah haknya lingkungan gak bisa dikonversi. Di dalam bayangan kami ada rekening negara khusus untuk pemulihan lingkunga hingga uang itu tak dicampur aduk untuk keperluan pembangunan yang gak ada kaitan dengan kasus ini.”
Kerusakan sudah parah, pemulihan lingkungan di Bangka Belitung pun perlu waktu lama. Bahkan, bila merujuk pada vonis hakim kepada Harvey Moeis cs tak cukup waktu memulihkan lingkungan di Bangka Belitung.
Kolam bekas tambang timah ilegal di Desa Rindik, Kabupaten Bangka Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
*******
Dugaan Korupsi Tambang Timah Rp271 Triliun, Lingkungan Bangka Belitung Rusak Parah
Sumber: Mongabay.co.id