- Pesisir pantai utara (pantura) Kabupaten Demak diperkirakan telah kehilangan lahan sekitar 50 ribu hektar, karena tanah yang tenggelam. Kombinasi antara abrasi, tanah yang amblas, serta bencana iklim diprediksi akan semakin memperparah keadaan.
- Diperkirakan pada tahun 2030-an, akan semakin banyak lahan-lahan di pantura Jawa Tengah yang akan hilang. Salah satunya, Kabupaten Pekalongan diproyeksi 80 persen wilayahnya akan berada dibawah laut pada tahun 2035.
- Faktor antroposentrik juga dianggap menjadi faktor penting dalam tenggelamnya tanah, termasuk konversi lahan mangrove, pembukaan tambak, penyedotan air tanah, dan pengeboran minyak bumi.
- Pemerintah diperhadapkan pada pilihan untuk membangun tanggul raksasa atau merelokasi warga di pesisir pantura.
Tak ada yang lebih tabah dari mereka yang selalu menanam mangrove di tengah rob dan abrasi. Setidaknya bagi masyarakat pesisir menanam sama dengan mempertahankan tempat tinggal lebih lama.
Seperti Slamet (68) yang masih setia menanam mangrove. Katanya, tak ada yang lebih berharga selain menjaga rumah yang tinggal setapak lagi dengan laut Jawa itu.
“Dulu berjarak 1,5 kilometer, sekarang tinggal beberapa meter saja sudah laut,” kata warga Dukuh Wonorejo, Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah, di akhir November lalu.
Sulit menemukan informasi berapa jumlah mangrove yang tersisa. Data Dinas Lingkungan Hidup Jawa Tengah yang tersedia adalah tahun 2011. Disebutkan kerusakan hutan mangrove di wilayah itu sudah mencapai 8.595 hektar.
Di tahun yang sama, kawasan yang terabrasi telah mencapai 4.888 hektar. Sejak saat itu rata-rata luas abrasi bertambah sekitar 780 hektar tiap tahunnya.
Slamet mengaku, banyak akademisi dan peneliti mengamati kondisi abrasi di desanya. Semula, masyarakat di pesisir Demak tidak mengetahui dengan pasti penyebab abrasi dan air laut yang kerap mendatangi rumah mereka.
- Advertisement -
Namun hasil dari penelitian malah membikin warga semakin miris. Diperkirakan desa-desa di pesisir Demak bisa tenggelam paling tidak pada 2030.
“Katanya karena perubahan iklim dan penurunan tanah,” ucapnya.
Slamet (68) bersama istri dan seorang cucunya. Dia menyebut wilayah pesisir desanya, Timbulsloko mengalami rob dan amblas. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia
Tanah yang Amblas di Timbulsloko
Slamet sudah merasakan rob sejak tahun 2007. Selama itu pula separuh biaya hidup warga hanya dihabiskan untuk meninggikan rumah. Minimal 1 meter lebih tinggi setiap renovasi rumah, katanya.
Pola adaptasi itu ibarat mengontrak di tanah sendiri karena setiap saat harus mengeluarkan uang untuk menguruk tanah. Di desa ini tanah sudah turun (subsidensi) rata-rata 10 sentimeter per tahun.
Desa Timbulsloko merupakan salah satu desa yang mengalami dampak terparah setelah air laut menenggelamkan mayoritas rumah warga sepanjang tahun. Kondisi rumah-rumah di sini turun dan amblas secara kontinyu.
“Semua cara sudah dilakukan untuk bertahan,” ujarnya. “Kalau soal menanam mangrove ini hanya cara agar harapan itu tetap ada.”
Dibantu istrinya, Ning, Slamet biasa menanam 1.000-1.500 bibit dalam satu minggu. Tergantung ketersediaan bibit. Gerakan penanamannya masih bersifat swadaya dan sukarela.
Tentu saja bukan rupiah yang mereka cari, melainkan berharap mangrove yang ditanam, dapat menghimpun sedimen lumpur untuk menyambung daratan. Sedimen jadi barang mewah karena susah didapatkan, katanya.
Di belakang rumah Slamet, tampak juga sisa-sisa tanggul yang dibangun beberapa tahun lalu. Bahkan, ada juga yang kondisinya sudah tenggelam tersapu ombak.
Slamet bercerita, hilangnya daratan berbanding dengan hilangnya kesempatan bertani. Di pertengahan 1990-an, dia bisa menanam jagung, padi, dan singkong. Kini, kepiting, ikan dan udang pun berkurang.
“Saya ingat tahun 2004 sampai 2007 mula-mula sawah di sini mulai hilang jadi tambak. Setelah jadi tambak kemudian perlahan hilang jadi laut,” ujar dia.
Seorang warga sedang berjalan dengan latar belakang rumah-rumah yang tenggelam. Untuk menahan agar tanah tidak tenggelam, warga harus terus meninggikan rumah lewat penumpukan sedimen. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Bencana Ekologis yang Terjadi di Pesisir Jawa
Ketua Program Restorasi Yayasan Lahan Basah Indonesia (YLBI), Eko Budi Priyanto, salah seorang yang sempat meneliti pada tahun 2015, menerangkan bahwa banjir rob hampir pasti selalu akan hadir. Alasannya, karena tanah di desa-desa pesisir di Demak sudah lebih rendah daripada laut.
Penyebabnya hampir sama, penurunan daratan karena beban bangunan, pengambilan air tanah melebihi daya dukung tanah aluvial lunak, hingga degradasi mangrove.
Menurutnya, wilayah pesisir utara Jawa menjadi contoh nyata dari bencana lingkungan yang semakin meningkat. Intervensi teknis seperti pembuatan teknologi pemecah gelombang hanya memperlambat tenggelamnya pemukiman warga agar tidak hilang dari peta.
Eko menuturkan, adapun upaya pembuatan tanggul dilakukan untuk menangkap lumpur. Dengan harapan bisa digunakan untuk konservasi mangrove. Saat lumpur mencapai 50 cm, barulah dapat ditanami jenis bakau sebagaimana karakteristik wilayahnya.
“Dulu kami juga mengkonsepkan seperti itu. Kami bersama warga di 9 desa waktu itu membuat perangkap sedimen dari bambu yang mampu bertahan 3-4 tahun, tapi nyatanya di desa-desa tertentu upaya ini tidak berhasil,” terangnya.
Namun, upaya restorasi kalah cepat dengan laju kerusakan yang terjadi.
Eko menyatakan secara topografi kemunduran garis pantai sudah ada yang mencapai 2 kilometer. Hal itu menyebabkan tanggul rentan jebol. Meski demikian, di beberapa lokasi ada juga tanggul yang telah terisi oleh sedimen lumpur dan pasir.
“Waktu itu ada desa yang berhasil menangkap sedimen hingga 20 hektar, tapi memang sulit apabila dilakukan secara terpisah. Air laut cepat mengintrusi daratan mengakibatkan sedimen mudah hilang lagi,” imbuh Eko.
Eko mengakui, mitigasi abrasi ini sulit tanpa dukungan multipihak. Mahalnya pembiayaan menjadi kendala.
Saat itu, YLBI bersama warga mengandalkan dukungan pendanaan dari luar. Skemanya berupa dana hibah, dengan syarat pembuatan tanggul memiliki tingkat keberhasil menahan sedimen diatas 85 persen.
Tampak udara pesisir mangrove yang tersisa di Desa Timbulsloko, Kabupaten Demak. Awalnya ini adalah wilayah daratan yang terus menyusut. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Abrasi Tak Bisa Lepas dari Faktor Manusia
Dengan laju abrasi dan penurunan muka tanah yang terus terjadi, agaknya hanya soal waktu desa-desa di pesisir pantai utara (pantura) Jawa Tengah itu akan hilang.
Heri Andreas, Pakar Geodesi ITB, menyebut dibutuhkan pemodelan secara komprehensif untuk mengetahui langkah mitigasi dari fenomena hilangnya daratan di pantura. Sayangnya, selama ini belum ada pemodelan yang dipakai untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Pemerintah seharusnya punya baseline data tentang potensi hazard (tanda bahaya) supaya tahu nanti potensi bencananya dan cara penangannya seperti apa,” tegas Heri.
Pemantauan menggunakan data geodesi dalam 10 tahun terakhir mengungkap, tanah di pantai utara Jawa turun jauh lebih cepat daripada tingkat kenaikan permukaan laut global.
Kenaikan muka air laut yang dipicu perubahan iklim global memang terjadi. Namun, kata Heri, kenaikannya masih dianggap belum signifikan yaitu rata-rata 4-6 milimeter (mm) per tahun.
“Seharusnya kondisi (desa-desa terancam tenggelam) ini bisa dicegah karena dalam pandangan kami Sea level rise (kenaikan muka air laut) masih terbilang kecil,” ungkapnya.
Seorang warga Timbulsloko menunjukkan rumahnya yang terus amblas, terlihat dari kusen pintu dan jendelanya yang semakin turun. Rob juga menerjang masuk ke rumah warga. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia
Sebetulnya, pengaruh dari faktor alam masih belum dapat dijadikan penyebabnya. Abrasi, misalnya, juga sulit dijadikan penyebab utama hilangnya daratan.
“Abrasi itu biasanya tajam. Dan yang terjadi di lapangan justru polanya lateral mengikuti garis pantai dan tidak vertikal dominasinya,” ujar Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian itu.
“Bisa jadi selain abrasi dan kenaikan permukaan air laut, ada faktor lain yang paling berpengaruh.”
Heri menduga itu ada keterkaitan dengan penurunan tanah. Hasil penelitiannya memetakan bahwa kota-kota besar di pantura seperti Semarang, Demak, Pekalongan bahkan Jakarta mengalami penurunan hingga 8-10 sentimeter (cm) per tahun.
“Secara alami penurunan tanah terjadi 1-2 cm karena pengaruh dari tektonik dan kompaksi tanah lunak. Jika lebih, kemungkinan besar ada faktor non alamiah,” terangnya. “Menurut saya ini lebih ke arah antropogenik hazard and disaster. Kalau antropogenik berarti harusnya bisa diatasi karena itu manusia yang bikin.”
Eksploitasi air tanah yang berlebih itu digunakan untuk pertanian dan tambak. Tapi menurutnya, dua aktivitas tersebut belum cukup bila dimasukkan ke angka penurunan tanah yang terjadi.
Jika angka penurunan rata-rata tanah 10 cm berarti ada potensi diluar faktor alamiah sebanyak 8 cm, oleh karena itu perlu ditelusuri penyebab dari faktor manusia tersebut.
Hipotesis Heri lantas mengungkap adanya pengaruh dari eksploitasi minyak dan gas (migas). Aktivitas itu cukup masif di laut Jawa sehingga memungkinkan penambahan laju penurunan tanah secara signifikan.
Indikatornya adalah intensitas banjir rob yang makin parah. Hal itu bisa jadi suatu wilayah pesisir sudah berada di bawah permukaan laut. Heri mencontohkan, hampir lebih dari 50 ribu hektar wilayah Demak sudah berada dibawah laut.
“Sejauh ini DEM (Digital Elevation Model) baru ada di Jakarta. Selain Demak yang kami kaji, Pekalongan diproyeksi 80 persen wilayahnya akan berada dibawah laut pada tahun 2035, karena sekarang pun 50 persen sudah berada di bawah laut,” ucapnya.
Heri menganjurkan, pemerintah mulai menghitung. Pasalnya, biaya relokasi warga di Pekalongan saja butuh dana Rp 16 triliun. Pilihan itu dianggap paling baik ketimbang pembangunan tanggul.
Alasannya, pada tahun 2025 dan 2030, secara sistematik terjadi fenomena pasang surut air laut yang kuat sehingga dapat menyebabkan potensi rob meluas.
Foto udara desa di pesisir pantai utara Demak yang semakin menghilang. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Berpikir untuk Pindah
Slamet bilang, di dukuhnya saat ini hanya tersisa 200 rumah yang masih dihuni sekitar 3.000 warga. Sebagian sudah menyerah dan pindah karena rob hampir menggenang 12 jam setiap hari.
Warga yang bertahan masih menggantungkan harapan. Walau kondisinya makin berat karena bencana yang berjalan lambat (slow-onset disaster) seperti ini membuat orang-orang tidak hanya kehilangan rumah tapi juga berdampak ke ekonomi.
Slamet pun mengakui, penghasilan dari nelayan terus turun menurun akibat tangkapan ikan yang kian tak menentu. Rapuh dihajar rob, terbebani kondisi ekonomi menjadi potret muram warga pesisir.
Bicara nasib, Slamet hanya bergumam. “Saya hanya menjalani dengan tabah saja mas,” ujarnya sambil menunjukan 5 ekor ikan dalam ember yang baru ditangkapnya.
Keluarga Mak Jah ‘Penyintas Terakhir Dusun Rejosari’: Kami akan Tetap Tanam Mangrove
Sumber: Mongabay.co.id