- Wisata bahari di Pulau Pari kini menjadi sumber penghidupan utama bagi penduduk lokal, seperti Mustafa, yang sebelumnya menggantungkan hidup pada tangkapan ikan.
- Perkembangan sektor wisata di Pulau Pari terancam oleh reklamasi dan konflik terkait klaim kepemilikan lahan oleh perusahaan
- Proyek reklamasi di sekitar Pulau Pari meningkatkan sedimentasi dan merusak ekosistem seperti mangrove dan padang lamun yang penting untuk keberlanjutan wisata.
- Warga Pulau Pari khawatir reklamasi akan merusak habitat laut, termasuk terumbu karang, yang menjadi daya tarik utama bagi wisata snorkling dan keberlanjutan ekosistem laut.
Di usia 73 tahun, Mustafa masih setia menapaki pasir Pulau Pari, tempat ia membangun kehidupan sebagai nelayan sejak lebih dari lima dekade silam. Pulau kecil ini, yang merupakan bagian dari Kepulauan Seribu di DKI Jakarta, bukan hanya menjadi tempat tinggal bagi Mustafa, tetapi juga bagian dari jiwanya.
Memiliki luas sekitar 43 hektare, Pulau Pari merupakan saksi bisu perjuangan hidupnya melawan gelombang perubahan zaman.
Dulu, pria berkulit sawo matang ini menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan ikan di laut. Hampir setiap pagi ia berangkat melaut menggunakan perahu sederhana, menebar jaring dengan berharap mendapatkan hasil tangkapan untuk keluarga.
Namun, seiring berjalannya waktu, kondisi perairan laut tak lagi sebaik dahulu. Hasil tangkapan kian menurun karena berbagai persoalan, mulai dari sampah plastik, perubahan ekosistem maupun aktivitas reklamasi yang mengganggu keseimbangan laut.
“Waktu itu jenis ikannya macam-macam, mulai dari kerapu, kakap, bawal, hingga ikan tenggiri yang dahulu sering menjadi hasil tangkapan utama kami,” kenang Mustafa saat ditemui Mongabay di wisata Pantai Pasir Perawan, Pulau Pari, November 2024 lalu.
Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa tingkat penurunan hasil tangkapan ikan di wilayah pesisir Jakarta mencapai 30 persen dalam dua dekade terakhir.
- Advertisement -
Salah satu penyebab utamanya adalah peningkatan sedimentasi akibat reklamasi yang mengurangi produktivitas perairan.
Selain itu, dalam penelitian yang dipublikasikan Journal of Coastal Conservation (2021) juga mencatat, bahwa kerusakan ekosistem padang lamun dan mangrove di Kepulauan Seribu telah mencapai 25 persen akibat aktivitas manusia, termasuk pembangunan dan limbah plastik.
Karena berbagai persoalan yang dihadapi itu Mustafa mengaku sempat putus asa. Akan tetapi, dengan berkembangnya wisata di pulau kecil ini, peluang baru yang lebih stabil dan menjanjikan mulai terbuka.
“Sejak wisata mulai ramai, saya sudah tidak mencari ikan lagi. Sekarang fokus melayani pengunjung,” ujarnya.
Baca : Upaya Warga Pulau Pari Hadapi Krisis Iklim [1]
Mustafa (73), warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu yang dulu berprofesi sebagai nelayan. Kini ia menyediakan jasa perahu untuk wisatawan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Wisata Bahari sebagai Sumber Penghidupan
Saat ini, wisata bahari telah menjadi sumber penghidupan bagi Mustafa dan warga Pulau Pari lainnya. Sebagai salah satu penggerak wisata, ia menyediakan jasa perahu untuk pengunjung yang ingin menjelajahi pulau dan menikmati keindahan mangrove serta pantai.
Mustafa mengungkapkan, bahwa pada hari-hari biasa penghasilannya cenderung lebih kecil, tetapi pada akhir pekan seperti hari Sabtu dan Minggu penghasilannya bisa meningkat signifikan.
“Kadang-kadang dalam sehari bisa dapat dua atau tiga perjalanan, tergantung tamu yang datang,” imbuhnya. Dalam sekali perjalanan, perahu yang digunakan bisa mengangkut hingga 10 orang. Tarif yang ia tetapkan juga cukup terjangkau, yaitu sekitar Rp10.000 hingga Rp15.000 per orang.
Dengan penghasilan ini, ia merasa cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari meski jumlahnya tidak menentu.
Penelitian oleh Pusat Kajian Pariwisata Universitas Indonesia (2023) menunjukkan bahwa wisata bahari di Pulau Pari menyumbang hingga 70 persen dari total pendapatan ekonomi lokal, terutama melalui jasa transportasi laut, penginapan, dan pemandu wisata.
Sulaiman, Ketua RW 04 Pulau Pari, mengungkapkan sejak tahun 2010 sektor wisata bahari memang telah menjadi andalan ekonomi Pulau Pari. Pembukaan Pantai Pasir Perawan oleh warga setempat, dibantu komunitas wisata, membantu menghidupkan ekonomi lokal.
Saat ini, Pulau Pari menjadi salah satu destinasi utama di Kepulauan Seribu, dengan kunjungan wisatawan yang terus meningkat setiap tahunnya.
Baca juga : Masyarakat Pulau Pari, Bertahan di Tengah Berbagai Tantangan [2]
Pantai Pasir Perawan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu Jakarta sebagai tempat wisata yang membantu perekonomian warga setempat. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Ancaman Reklamasi dan Konflik Agraria Berkepanjangan
Meski kegiatan wisata bahari ini membawa manfaat besar, Mustafa mengaku tidak menutup mata terhadap tantangan yang dihadapi. Salah satu yang menjadi kekhawatirannya adalah menurunnya kualitas lingkungan yang disebabkan proyek reklamasi.
Proyek reklamasi dilakukan oleh pengembang pemilik pulau di sekitar Pulau Pari. Kepemilikan pulau-pulau oleh perusahaan di sekitar Pulau pari juga menjadi konflik yang berkepanjangan yang menimpa warga setempat.
Data WALHI mencatat, bahwa lebih dari 60 bidang tanah di Pulau Pari telah disertifikasi atas nama perusahaan. Warga hingga kini menghadapi ancaman penggusuran meski telah menempati pulau ini selama puluhan tahun.
Sedangkan Data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa sedimentasi di sekitar Pulau Pari meningkat sebesar 18 persen sejak proyek reklamasi dimulai pada awal 2010.
Salah satu proyek reklamasi di sekitar Pulau Pari itu adalah di perairan pulau Tengah yang telah berjalan sejak tahun 2012, dengan mengambil terumbu karang yang sudah mati sebagai material reklamasi untuk pondasi perluasan pantai Pulau Tengah.
Aktivitas reklamasi oleh pengembang itu sempat dikritik oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) karena merusak ekosistem laut Kepulauan Seribu dan bentuk sikap abai dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“KKP abai dalam pengawasan, penindakan, dan sanksi kepada pelaku pengerusakan laut Indonesia” kata Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati pada pertengahan 2023 lalu, di Jakarta.
Selain merusak keberadaan mangrove, sedimentasi ini juga mengancam padang lamun yang berfungsi sebagai habitat penting biota laut.
“Mangrove dan padang lamun ini penting untuk mendukung wisata disini. Kalau rusak, pengunjung juga pasti berkurang,” kata Mustafa dengan nada khawatir.
Perlu dibaca : Reklamasi Pulau Tengah Akibatkan Kerusakan Lingkungan di Gugusan Pulau Pari
Aktivitas reklamasi di Pulau H yang tidak jauh dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Warga Pulau Pari menyatakan penolakannya terhadap proyek reklamasi dan pembangunan resort oleh perusahaan swasta. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Mangrove tidak hanya menjadi daya tarik wisata, tetapi juga berfungsi sebagai pelindung alami pulau dari abrasi. Padang lamun, di sisi lain, berperan sebagai penyerap karbon yang signifikan.
Penelitian oleh Marine Ecology Progress Series (2022) mencatat bahwa setiap hektare padang lamun dapat menyerap hingga 83 metrik ton karbon per tahun, menjadikannya aset penting dalam mitigasi perubahan iklim.
Lain sisi, katanya, pembangunan pulau-pulau reklamasi di sekitar Pulau Pari menambah tekanan terhadap ekosistem laut. Reklamasi mengakibatkan berkurangnya habitat alami, termasuk terumbu karang yang menjadi daya tarik wisata snorkling.
Menurut penelitian dari Universitas Diponegoro (2024), reklamasi di Kepulauan Seribu menyebabkan penurunan tutupan karang hingga 20 persen dalam satu dekade terakhir, mengurangi daya tarik wisata bawah laut sekaligus mengancam keberlanjutan ekosistem.
Di tengah berbagai tantangan, Mustafa dan warga Pulau Pari tetap optimis. Mereka berharap pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya lebih memperhatikan kelestarian lingkungan, serta melibatkan masyarakat dalam setiap pembangunan.
“Kami tidak menolak pembangunan, tapi tolong libatkan kami. Jangan sampai laut ini, yang jadi rumah kami, dirusak,” pungkasnya. (***)
Pertama dari Indonesia, Gugatan Iklim Warga Pulau Pari pada Holcim
Sumber: Mongabay.co.id