- Pembangunan Bendungan Bulango Ulu di Gorontalo meminggirkan masyarakat sekitar proyek. Mereka yang kebanyakan hidup dari bertani dan berkebun, mulai kehilangan ruang hidup dampak dari proyek strategis nasional ini.
- Proyek bendungan ini membuat sebagian petani terkatung-katung tak tahu arah untuk mencari hidup. Kondisi ini membuat mereka terpaksa harus pindah, maupun mencari pekerjaan lain untuk bertahap hidup.
- Bendungan ini disebut bukan solusi untuk pertanian di Gorontalo. Sebaliknya, mega proyek ini bisa berdampak buruk secara ekologis dan membuat petani makin rentan.
- Sebagian warga yang terpaksa melepas tanah mereka jadi proyek bendungan hingga kini belum mandapat ganti rugi.
- Advertisement -
Sejumlah eskavator terlihat giat membongkar gunung, memindahkan bongkahan batuan dan pasir ke dalam deretan dump truk berkapasitas 30 ton yang terparkir di tepi jalan di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo ini. Para pekerja berseragam proyek dengan mantel cerah dan helm pelindung terlihat mengarahkan supir dump truk agar tak tergelincir.
Pemandangan ini terlihat di lokasi pembangunan Bendungan Bulango Ulu, proyek strategis nasional (PSN) senilai Rp2,4 triliun di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, November lalu. Bendungan ini akan dibangun setinggi 65,9 meter dan luas genangan 483 hektar, mencakup tiga desa yaitu, Desa Tuloa, Owata dan Mongiilo.
Bendungan Bulango Ulu ini adalah proyek besutan Presiden Joko Widodo (Jokowi), bagian dari 61 target pembangunan bendungan 2014-2024. Bendungan ini akan memenuhi kebutuhan air baku 2.200 liter per detik dan menyediakan sumber tenaga listrik dengan kapasitas 4,96 megawatt.
Bendungan ini juga untuk mengamankan dan memanfaatkan sumber daya air di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, dan Bone Bolango, dengan kapasitas tampung mencapai 84 juta meter kubik. Keberadaan bendungan ini diklaim akan meningkatkan produktivitas pertanian di Gorontalo dan sekitar.
“Proyek ini akan meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan perkebunan di Gorontalo serta daerah sekitar. Insya Allah, proyek ini selesai akhir tahun ini,” kata Presiden Joko Widodo, saat mengunjungi proyek ini April 2024, dengan optimis.
Gagasan proyek ini sebenarnya muncul sejak 2018. Dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), pembangunan bendungan ada tiga tahap, pra konstruksi, konstruksi dan operasional. Tahap konstruksi mulai 2019-2022, pengisian awal bendungan pada 2022.
Proses pengisian, akan jalan kalau proses pembebasan lahan dengan masyarakat selesai. Proses itu selama satu tahun, dan bendungan ini akan mulai beroperasi pada 2023. Karena ada aksi penolakan warga, tahap konstruksi baru mulai awal 2021.
Dalam dokumen amdal, saat penyusunan pada 2017, rona awal menunjukkan sekitar 75,7% masyarakat tak menyetujui pembangunan Bendungan Bulango Ulu, dan 23,3% setuju. Hal tersebut menunjukan persentase penduduk yang tidak setuju lebih besar dibandingkan dengan yang setuju.
Dampak pembangunan bendungan ini juga bakal dirasakan sekitar 747 keluarga, 437 rumah dibongkar. Kondisi ini akan berdampak pada kehidupan petani dan mengubah tatanan sosial-ekonomi masyarakat.
Hingga kini, proyek belum selesai karena terkendala proses pembebasan lahan, dan proses pembayaran belum selesai.
Saat itu Jokowi bilang, bendungan ini untuk memperkuat infrastruktur nasional, mendukung sektor pertanian, dan menyediakan irigasi untuk 4.950 hektar lahan pertanian di Gorontalo.
Bendungan juga akan memainkan peran penting dalam pengendalian banjir di wilayah hilir Sungai Bolango, karena mampu mengurangi debit air sampai 414 meter kubik per detik.
Itu harapan Jokowi. Kenyataan jauh panggang dari api. Para petani di sekitar proyek justru terpinggirkan karena tak ada lahan untuk bertani. Terlebih lagi, sebagian besar lahan tersisa berstatus kawasan hutan dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).
Purnama Sudarmika, warga terdampak Bendungan Bulango Ulu. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Pemerintah juga hanya memberikan uang ganti rugi tanpa menyediakan lahan untuk relokasi petani. Banyak petani kehilangan mata pencaharian tanpa alternatif jelas.
Rasyid Nusi, warga Desa Owata, Kecamatan Bulango Ulu, ambil buah kelapa sebelum penenggelaman lahan. “Buah kelapa ini akan jadi kenang-kenangan dari bekas kebun saya di Desa Owata,” kata Rasyid November lalu.
Lelaki 56 tahun ini petik kelapa mau bikin santan. Empat tahun lalu, Rasyid punya lebih dua hektar lahan pertanian ditanami berbagai macam, dari tanaman keras ataupun musiman. Kini, Rasyid tak lagi tinggal di sana.
Ketika itu, lelaki tiga anak ini punya penghasilan lumayan dari kebun jauh melebihi upah minimum provinsi (UMP) Gorontalo pada 2024 sebesar Rp3.025.100. Dia bisa peroleh pendapatan setiap hari, minggu, atau dua minggu, tergantung hasil panen.
Dia contohkan, gula aren dari nira tandan bunga jantan pohon enau, bisa bikin 5-7 kg per hari seharga Rp15.000 per kg, hasilkan Rp1,8 juta-Rp2,5 juta per bulan. Sekitar Rp1-Rp1,5 juta per bulan dari penjualan hasil pangan seperti ubi jalar, singkong, dan pisang.
“Kami tidak pernah kekurangan makanan, karena semua ada di kebun. Ketika harga beras naik, kami bisa makan ubi-ubian dari kebun saya,” katanya.
Rasyid juga punya lahan tani jagung dua hektar yang hasilkan sekitar Rp60 juta setiap empat bulan, dengan gabah Rp3.500 per kilogram. Meski belum dipotong biaya perawatan, dia merasa itu cukup kebutuhan keluarganya.
Semua itu kini tinggal kenangan. Sebelumnya, Rasyid bergantung pada kebun untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kini, dia terpaksa pindah ke Kota Gorontalo karena tanah jadi proyek Bendungan Bulango Ulu. Kebunnya terletak di wilayah yang akan terendam bendungan.
Kebun lebih dua hektar dibayar Rp1,1 miliar. Meski jumlah terkesan besar, uang itu tak cukup untuk bertahan lama. Dia tak bisa lagi dapatkan kehidupan dan sumber ekonomi seperti dulu.
“Uang hanya digunakan setahun lebih. Saya pindah ke Kota Gorontalo dan membeli rumah. Sisa uang, saya bagikan ke tiga anak saya yang sudah berkeluarga.”
Rasyid kini hanya bisa mencari cara lain untuk bertahan hidup di Kota Gorontalo, dengan kerja serabutan, seperti jadi tukang atau kuli bangunan. Pendapatan dari pekerjaan itu tidak menentu, tergantung permintaan. Alhasil, rumah yang dia beli di Gorontalo kembali dijual demi memenuhi kebutuhan sehari-sehari.
Kini, Rasyid bersama istri tinggal di rumah kontrakan di Kelurahan Lekobalo, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo. Dia menyesal menjual semua kebun untuk membangun proyek bendungan.
Pembangunan Bendungan Bulango Ulu. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Terkatung-katung
Cerita sama juga dialami oleh Purnama Sudarmika dan suaminya Dadang Nugraha. Kini mereka masih tinggal di Dusun 3, Desa Owata, lokasi genangan bendungan. Sejak ada proyek bendungan, pasangan suami istri ini terkatung-katung tak tahu arah untuk mencari hidup.
Keduanya tidak bisa lagi bertani karena jembatan yang menghubungkan dusun 1 dan 3 roboh kena terjang banjir pada 2021. Akses jalan kini sudah menjadi jalur lintasan alat berat proyek. Mereka harus mencari cara lain untuk bertahap hidup.
“Sudah hampir empat tahun kami tidak bertani lagi. Kami hanya makan gaji di kebun tetangga, seperti membantu menanam jagung, atau tanaman lain,” kata Purnama di kediamannya awal November lalu.
Alasan lain mereka tak lagi bertani karena belum menerima ganti rugi lahan dari negara. Kebunnya sekitar dua hektar telah diukur dan dinilai Satuan Tugas pemerintah sejak 2020. Berkas kepemilikan lahan sudah mereka serahkan. Anehnya, hingga kini mereka belum terima uang pengganti.
Padahal, pemerintah berjanji segera membayar lahan mereka. Janji itu membuat Purnama dan suami berhenti mengelola kebun, berharap pembayaran segera datang. Mereka khawatir, kalau kelola kebun, pemerintah membayar ganti rugi, panen tak bisa dinikmati.
Tanah itu, kata Purnama, kebun mereka satu-satu ketika datang ke Gorontalo pada 2006 sebagai transmigran.
“Kebun ini telah mengantarkan dua anak saya hingga perguruan tinggi. Karena bendungan ini proyek negara, kami tak bisa berbuat apa-apa, harus menyerahkan kebun. Kami belum tahu ke mana hidup setelah bendungan beroperasi.”
Djamaluddin Mahmud, warga Dusun 3, Desa Owata, juga mengalami nasib serupa. Lebih dari 10 hektar tanah belum negara bayar hingga kini. Sudah lebih lima kali, pria 65 tahun ini bersama warga demonstrasi meminta pemerintah segera membayar lahan.
Mereka kesulitan bertani karena hampir empat tahun terkatung-katung dengan janji pemerintah yang tak kunjung terealisasi. Dia hanya bisa memanfaatkan air nira dari pohon enau untuk gula aren, sambil menunggu kebun dibayar.
“Proyek ini membuat kita terkatung-katung. Kebun masyarakat banyak tak dikelola selama bertahun-tahun karena ada proyek ini. Lahan kami pun sampai hari ini belum dibayar. Kami kecewa!” kata Djamaluddin.
Sebenarnya, warga tolak proyek ini sejak pemerintah sosialisasi pada 2017, saat dia jadi kepala dusun. Tak meleset, kekhawatiran mereka jadi kenyataan. Proyek ini membuat para petani, termasuk dirinya, tak bisa bertani seperti dulu.
Pembangunan bendungan ini, seperti ingin menghidupkan petani di hilir tetapi membunuh petani di hulu.
Djamaluddin tidak mau meninggalkan kampung karena keluarga sudah hidup turun menurun di sana. Sudah banyak kenangan, suka duka mereka lalui di kampung ini.
Bukan solusi
Tarmizi ‘Arief” Abbas, Koordinator Peneliti Institute for Human and Ecological Studies (Inhides) mengatakan, meskipun bendungan untuk mendukung pertanian, belum tentu bisa jadi solusi pertanian di Gorontalo.
Pasalnya, kata Arief, masalah pertanian di Gorontalo sangat beragam, seperti rantai pasok, akses pasar masih didominasi tengkulak, ketersediaan lahan, regulasi tak berpihak petani, perubahan iklim, sampai model perkebunan atau pertanian.
Apalagi, luas sawah di Gorontalo mengalami penurunan signifikan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023, luas sawah 30.112 hektar, berkurang 4.652 hektar dari 207.
Kondisi itu, katanya, membuat petani selalu berada dalam kondisi rentan. Di Gorontalo, misal, petani bahkan menempati posisi pertama sebagai kelas sosial yang paling miskin. Data BPS per Maret 2024, menunjukkan, persentase kemiskinan 14.57% didominasi petani.
Rendahnya produktivitas sektor pertanian dapat pada rendahnya pendapatan petani. Kondisi ini, menyebabkan daya beli petani rendah hingga mendorong petani berada di bawah garis kemiskinan.
BPS Gorontalo mencatat, selama 10 tahun terakhir, pendapatan riil petani di Gorontalo belum menunjukkan perubahan berarti. Pendapatan yang petani terima dari sektor pertanian sedikit lebih tinggi dibandingkan pengeluaran, keuntungan masih sangat kecil.
Pembangunan tanggul penahan air. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Kondisi ini, mengindikasikan kesejahteraan petani berada dalam batas rentan.
Terlebih lagi, rata-rata petani Gorontalo sudah mengalami penuaan atau rata-rata usia 45 tahun ke atas. Sedangkan pemuda berusia 15–29 tahun di sektor pertanian pada Februari 2024 mengalami penurunan signifikan dibandingkan 12 tahun lalu.
Tenaga kerja muda dan makin menua usia petani jadi ‘alarm‘ bahwa sektor pertanian makin tidak diminati. Kondisi ini, mengkhawatirkan karena bisa mengancam kemandirian pangan.
Meskipun PSN ini berfungsi bagi pertanian, tetapi tolok ukur produktivitas tak hanya melalui bendungan. Yang lebih penting, katanya, memberikan jaminan kepada petani terkait akses lahan dan kepemilikan hak tanah.
Produktivitas pertanian, katanya, juga harus didukung kebijakan pemerintah yang berpihak petani bukan sebaliknya. Dia contohkan, program agropolitan berdampak negatif signifikan pada produktivitas pertanian, dan membelenggu petani dalam sistem pasar kapitalisme.
Alih-alih meningkatkan produktivitas pertanian, Bendungan Bulango Ulu akan berdampak buruk secara ekologis. Proyek ini, katanya, akan mendorong pembukaan lahan miring secara masif, penggunaan pestisida berlebihan, dan ancaman keanekaragaman hayati.
“Prasyarat pembangunan bendungan ini membutuhkan tanah dalam skala yang gigantik dengan konsekuensi berdampak pada akses petani ke lahan-lahan produktif mereka.”
Apalagi, skema ganti rugi tak sesuai harapan masyarakat terdampak, terutama dibandingkan produksi pertanian yang mereka peroleh sebelum ada bendungan. Dampak dominonya, ancaman kemiskinan karena petani kehilangan sumber hidup.
PSN, katanya, tak ada beda dengan industri ekstraktif yang rakus lahan.
“Bendungan melalui skema PSN selama ini lebih untuk mendukung produksi skala besar, seperti kawasan industri, ketimbang kepentingan petani.” (Bersambung)
Lokasi pembangunan Bendungan Ulu. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
*******
*Liputan ini didanai dari Grant Liputan Isu Dampak Pembangunan Proyek Strategis Nasional yang diselenggarakan oleh AJI Makassar dan Internews.
“Kami Tinggal di Mana Kalau Ada Bendungan Bulango Ulu?“
Sumber: Mongabay.co.id