- Sebelum adanya gula tebu, buah rendingan [Curculigo latifolia] digunakan masyarakat di lahan basah Sungai Musi sebagai sumber energi, sekaligus pemberi rasa manis dalam minuman dan makanan.
- Sejumlah penelitian menemukan bahwa buah rendingan dapat digunakan sebagai pemanis rendah kalori bagi penderita diabetes dan obesitas.
- Di wilayah tropis, bagian buah, daun, hingga akar tumbuhan dari genus Curculigo yang memiliki sekitar 20 spesies ini, umum dimanfaatkan masyarakat adat sebagai sumber obat-obatan, pangan, hingga teknologi tangkap ikan [jaring dan tali pancing] dan kain tradisional.
- Beberapa penggunaan tanaman ini dalam pengobatan tradisional telah divalidasi melalui penelitian farmakologis. Namun, mekanisme kerja senyawa-senyawa bermanfaat dalam tumbuhan ini perlu diteliti lebih mendalam.
Saat pertama kali memakannya, tidak ada yang menyangka jika buah rendingan [Curculigo latifolia] yang berbentuk bulat seperti rimpang bawang dengan ukuran 10-25 milimeter itu, dapat menghasilkan rasa super manis.
“Walaupun kita sudah minum satu hingga empat gelas air, rasa manisnya masih melekat di lidah. Ini sering kami gunakan sebagai pengganti gula tebu saat memasak, atau saat membuat minuman di talang [kebun],” kata Ermawati [53], warga Desa Tempirai, Kecamatan Penukal Ulu, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir [PALI], Sumatera Selatan, awal Desember 2024.
Rendingan merupakan tumbuhan hutan cukup terkenal di kalangan masyarakat yang menetap di sekitar lahan basah Sungai Musi. Sekilas, bentuknya seperti bibit pohon kelapa, dan hanya tumbuh tidak lebih dua meter.
Tumbuhan dari famili Hypoxidaceae ini, biasanya hidup liar di sekitar kebun warga atau di kiri-kanan jalan kecil menuju hutan.
“Saat mencari rotan, madu, dan obat-obatan di hutan, kami sering memakan langsung buah rendingan. Rasa manisnya bisa mengembalikan energi yang hilang saat menyusuri hutan atau berjalan ke kebun,” lanjut Ermawati.
- Advertisement -
Baca: Mabuk Kecubung, Efek Berbahaya Tumbuhan Herbal yang Disalahgunakan
Buah rendingan memiliki rasa manis yang tahan lama dan bisa dijadikan alternatif pengganti gula tebu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Mengutip penelitian Taufik AY dan kolega [2024], Genus Curculigo ini terdiri 20 spesies herba yang biasanya tersebar di wilayah tropis dan subtropis seperti India, Tiongkok, Asia Tenggara, dan Australia.
Di Indonesia, dalam penelitian Umar dan kolega [2021] disebutkan, tumbuhan ini tersebar di Sumatera, Bangka, Lingga, Jawa, Kalimantan, hingga Papua. Ia terkenal dengan nama lokal “lemba”, sedangkan di Indonesia beberapa warga lokal menyebutnya marasi, keliangau, prakuwang, lumpa, doyo, dan kehoang.
Rendingan, sejak lama telah dijadikan masyarakat adat sebagai pangan yang juga memiliki khasiat pengobatan berbagai macam penyakit. Dalam penelitian Taufik AY dan kolega, rimpangnya ini digunakan untuk mengobati penyakit kuning, menoragia, dan demam.
Ia juga dapat direbus dengan Areca catechu dan Hibiscus rosa-sinensis yang membantu dalam mengatur pendarahan menstruasi dan menyembuhkan oftalmia. Selain itu, bunga dan akarnya telah digunakan untuk mengobati gangguan lambung atau saluran kemih, dan di Malaysia, daun dan akarnya biasanya digunakan untuk peradangan dan luka.
Baca: Inilah Bijora, Tumbuhan Herbal dari Hutan Tapanuli
Tumbuhan tropis ini, bagian daun, akar, hingga buahnya kerap dijadikan pangan sekaligus obat-obatan oleh masyarakat lokal di Asia. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Di Brunei Darussalam, akarnya dimanfaatkan untuk menyembuhkan sakit kepala dan sariawan, sedangkan campuran akar dan rimpangnya dapat membantu mengatasi diare.
Selain itu, pengobatan tradisional Thailand mengklaim bahwa akarnya dapat digunakan sebagai tonik untuk mengatur sirkulasi darah.
“Akarnya juga diketahui memiliki beberapa khasiat obat lain, seperti wasir dan asma,” tulis Taufik AY dan kolega.
Di sisi lain, masyarakat adat di Kalimantan menggunakan serat daunnya untuk membuat jaring dan tali pancing. Di Kalimantan Timur, khususnya di kalangan Suku Dayak, serat daun C. latifolia dimanfaatkan untuk kain tradisional [Ulap Doyo].
Baca juga: Jernang, Bukan Sembarang Tumbuhan Hutan
Rendingan merupakan pangan hutan yang tumbuh di sekitar talang di Desa Tempirai, Kabupaten PALI, Sumatera Selatan. Foto: Norpi Ismi/Mongabay Indonesia
Pemanis Alternatif
Rasa manis buah rendingan dengan tekstur berserat saat dimakan, bukan berasal dari karbohidrat tetapi dari protein jenis curculin [Yamashita et al., 1990] yang menyehatkan.
“Protein ini memiliki sifat manis dan mengubah rasa yang dapat meningkatkan rasa manis dari zat bersifat asam atau tidak berasa. Selain itu, sifat manisnya menjadikannya pilihan menjanjikan untuk pemanis rendah kalori, yang mungkin bermanfaat bagi individu yang ingin mengurangi konsumsi gula atau kalori,” tulis Taufik AY dan kolega.
Tumbuhan ini memiliki tingkat kemanisan 500 hingga 9.000 kali dari sukrosa berdasarkan beratnya.
“Berpotensi sebagai pemanis alternatif pengganti tebu,” jelas penelitian Muslihatin dan kolega [2022].
Magnesium dalam buah ini sangat bermanfaat untuk kesehatan tulang, otot, dan sistem kekebalan tubuh. Kekurangan magnesium bisa menyebabkan berbagai penyakit seperti diabetes dan penyakit jantung.
“Penelitian lebih lanjut diperlukan terkait indeks glikemik, kadar kolesterol, dan aktivitas anti-diabetes, anti-inflamasi, dan anti-kanker,” lanjut Taufik AY dan kolega.
Kebun di sekitar Desa Tempirai seringi dijumpai tumbuhan rendingan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Banyak Manfaat
Penelitian Taufik AY dan kolega juga memaparkan bahwa daun rendingan mengandung banyak senyawa bermanfaat yang ditemukan pada akarnya. Sebut saja stilbena, senyawa yang baik untuk kesehatan jantung, saraf, dan dapat membantu mencegah diabetes dan kanker.
Senyawa lain seperti sterol [daucosterol dan stigmasterol], asam lemak [asam behenate], dan flavonoid [quercetin] juga memiliki sifat antikanker, antibakteri, dan antioksidan.
“Nilai pengobatannya dapat digunakan sebagai suplemen makanan.”
Riset mendalam diperlukan untuk mengidentifikasi senyawa aktif lainnya, memahami mekanisme kerja senyawa-senyawa tersebut, dan mengevaluasi efektivitasnya dalam mengobati berbagai penyakit.
“Dengan begitu, kita dapat membuka potensinya sebagai sumber obat-obatan alami yang aman dan efektif, serta meningkatkan kualitas hidup manusia,” jelas riset tersebut.
Referensi:
Umar, A. H., Ratnadewi, D., Rafi, M., Sulistyaningsih, Y. C., & Hamim, H. (2021). Callus of Curculigo latifolia Dryand. ex W.T. Aiton: initiation, regeneration, secretory structure and histochemistry. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 948(1), 012051. https://doi.org/10.1088/1755-1315/948/1/012051
Taufik AY, Mohd Yasin H, Ahmad N et al. Tinjauan tentang fitokimia dan aktivitas biologis Curculigo latifolia Dryand ex. W.Aiton [versi 2; tinjauan sejawat: 1 disetujui] . F1000Research 2024, 13 :495 https://doi.org/10.12688/f1000research.148960.2
Muslihatin, W., Manuhara, Y. S. W., & Werbrouck, S. (2022). Seed characteristics of Curculigo latifolia and its prospect to in vitro propagation. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 1115(1), 012053. https://doi.org/10.1088/1755-1315/1115/1/012053
Sumber: Mongabay.co.id