- Para kewang bersama masyarakat berupaya merawat hutan mangrove di Pulau Haruku, Maluku. Hutan nan rimbun ini juga benteng pesisir pulau kecil ini antara lain dari abrasi yang terus mengintai.
- Maleo, salah satu satwa penghuni hutan mangrove Haruku, Maluku. Mangrove terjaga agar jadi rumah bagi burung langka dan dilindungi ini.
- Negeri Haruku dapat penghargaan Kalpataru pada 1985 sebagai negeri yang menjaga kearifan lokal dan melindungi lingkungan dengan aturan adat yang disebut sasi.
- Mangrove juga simbol perjuangan dan perlawanan bagi orang Haruku. Ada momen kewang dan masyarakat Haruku tanam bibit mangrove bersama-sama sebagai wujud protes atas rencana masuk tambang emas. Kewang bersama masyarakat Haruku menolak. Dengan koordinasi Kepala Kewang Negeri Haruku, Elisa Kissya mereka tanam mangrove. Tambang emas pun batal masuk.
Desiran ombak terdengar jelas. Rumah Kewang berjarak sekitar 10 meter dari pantai Haruku dengan sekeliling pepohonan rimbun. Eliza Kissya, Kepala Kewang Haruku, sedang menyapu pekarangan rumah di pagi buta sekitar pukul 5.15 waktu setempat.
- Advertisement -
Pada sisi timur halaman Rumah Kewang ada gundukan tanah dan lubang-lubang sebesar buah kelapa.
“Itu lubang apa?” tanyaku.
“Itu burung maleo pung (punya) tampa (tempat) batalor (bertelur).”
Kami menuju ke tempat bertelurnya maleo. Opa pun membuka pagar, kami pun masuk ke penangkaran maleo.
“Nyong jangan injak di dekat lubang,” kata lelaki 75 tahun ini mengingatkan.
“Itu ada satu pasang di dalam tu,” katanya menunjukkan dua maleo dalam penangkaran.
Dua maleo itu hanya umpan untuk memanggil yang ada di hutan.
“Kalau datang, di sini tempat maleo yang akan bertelur,” katanya.
Opa Eli menjelaskan, pada waktu-waktu tertentu, maleo akan datang dalam jumlah banyak untuk bertelur.
Dia memasukkan maleo ke penangkaran sementara saat akan bertelur untuk memastikan telur aman sampai menetas. Setelah menetas, anak maleo akan meninggalkan tempat ini.
“Kasi biar akang (burung) banyak-banyak di hutan saja.”
Perlahan Eli membungkukkan badan mulai menggali pasir. Sekitar kedalaman 50 cm, Eli menemukan telur maleo.
Sebelum bertelur, maleo betina akan menggali lubang, untuk menyimpan telur lalu menutupi dengan pasir. Saat burung betina bertelur, jantan setia menjaga.
“Burung ini tidak seperti ayam yang mengerami telurnya, maleo selesai batalor lalu titip di pasir, ” katanya.
Opa Eli bilang, saat menetas biasa di musim panas, antara Oktober dan November. Saat ke lokasi November lalu, di penangkaran ada ratusan telur maleo, tunggu waktu untuk menetas.
Pekarangan pasir di Rumah Kewang, merupakan habitat maleo dan jadi tempat burung ini bertelur. Setelah menetas, burung akan ke hutan mangrove.
Maleo, salah satu satwa penghuni hutan mangrove Haruku. Hutan nan rimbun ini juga benteng pesisir pulau kecil ini. Opa Eli bersama para kewang sebagai penanam, perawat dan penjaga mangrove.
Burung ini berkerabat dengan maleo, tergabung dalam kelompok megapoda. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Rawat mangrove
Opa Eli cerita, awalnya tepian Sungai Learssa adalah daerah basah seperti rawa ditumbuhi anakan manipa.
Abrasi dan erosi terus mengikis pulau perlahan hingga menggerakkan Opa Eli menanam mangrove di sekitar muara sungai itu. Dia mulai tanam anakan mangrove pada 2018, kini sudah berubah jadi hutan rimbun. Sebelumnya, kewang bersama masyarakat Haruku sejak 1980-an sudah tanam dan jaga mangrove.
Negeri Haruku dapat penghargaan Kalpataru pada 1985 sebagai negeri yang menjaga kearifan lokal dan melindungi lingkungan dengan aturan adat yang disebut sasi.
Di Negeri Haruku ada sasi darat (hutan) sampai sasi laut (lompa). Sasi hutan dengan menanam dan merawat mangrove serta fauna yang ada di dalamnya seperti maleo tak boleh diganggu.
“Maleo ini juga jadi alasan perlu ada penanaman mangrove. Dengan ada hutan mangrove seperti sekarang ini maka habitat lompa di sungai akan aman begitu juga maleo.”
Dedikasi sebagai penjaga sekaligus pembina lingkungan, Opa Eli pun menerima penghargaan Kalpataru pada 2022. Dia menekankan, prinsip menjaga dan melindungi alam itu adalah kewajiban. Kewang tak sebatas melengkapi sistem pemerintahan adat.
“Bukan saja ikan lompa, tetapi hewan dan tumbuhan di Negeri Haruku wajib dijaga,“ katanya.
Negeri Haruku adalah negeri pesisir di Pulau Haruku. Umumnya masyarakat hidup dari hasil laut dan hutan, maupun tanaman umur panjang.
Eliza Kissya, Kepala Kewang Haruku. Foto: Edison Waas
Simbol perjuangan
Mangrove juga simbol perjuangan dan perlawanan bagi orang Haruku. Kliff Kisya, Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kepulauan Lease (Pulau Haruku, Saparua, Nusalaut dan Banda) mengatakan, penanaman bibit mangrove di Muara Learisa sejak lama.
Namun ada momen kewang dan masyarakat Haruku tanam bibit mangrove bersama-sama sebagai wujud protes atas rencana masuk tambang emas. Perusahaan berencana eksplorasi di Petuanan Negeri Haruku pada 1995.
Kewang bersama masyarakat Haruku menolak. Dengan koordinasi Kepala Kewang Negeri Haruku, Elisa Kissya mereka tanam mangrove. Tambang emas pun batal masuk.
Aksi tanam bibit mangrove sekaligus juga membuka mata masyarakat saat itu. Kesadaran makin kuat. Penanaman mangrove pun terus hingga kini sebagai bentuk antisipasi bencana.
Abrasi di Haruku, pada 2018. Kondisi ini mendorong kewang bersama warga tanam mangrove. Foto: Edison Waas
Pernah kena bencana
Pada 2018, Negeri Haruku pernah banjir rob. Sejumlah tanggul penahan pantai jebol. Jalan di pesisir pantai depan Negeri Haruku ambruk. Pasang laut ditambah curah hujan tinggi hingga kondisi lebih buruk.
Seingat dia, antara 2017-2018, ada pembukaan hutan besar-besaran di hulu untuk penanaman cengkih. “Nah, saat turun hujan maka air sungai pun meluap. Ditambah air pasang maka Negeri Haruku dikepung banjir,“ katanya.
Kewang Negeri Haruku pun menekankan sasi darat dan sasi laut yang berlaku hingga kini.
Dalam sasi darat atau hutan, setiap Orang Haruku yang menebang kayu untuk kebutuhan seperti membangun rumah, dan keperluan lain wajib dapat izin dari Kewang Negeri Haruku.
Kalau sudah ada izin, juga ada kewajiban menanam kembali, wajib membawa dan menanam tanaman pengganti.
“Jadi, jika ada warga di Negeri Haruku yang mengambil kayu di hutan Negeri Haruku harus sepengetahuan Kewang Darat. Jika tidak, akan kena denda membayar uang ratusan ribu. Wajib membawa tanaman pengganti untuk ditanam di lokasi penebangan tadi,” katanya.
Kebiasaan ini sudah ada sejak zaman leluhur. Hanya saja generasi saat ini mulai meninggalkannya. Ketika bencana terjadi, Kewang Negeri Haruku, pemerintah negeri, saniri negeri pun bersepakat untuk mengembalikan kebiasaan menjaga hutan di wilayah petuanan mereka.
“ Itu masih dilakukan, walaupun ada sisi kelemahannya juga,” kata Kliff.
Kelemahan yang dia maksud, kalau pelaku pengambilan hasil hutan dan hasil laut bukan merupakan masyarakat negeri Haruku penerapan sanksi kadang berbeda.
“Jika pelaku yang mengambil paham dan tunduk pada sasi di Negeri Haruku itu tidak jadi masalah, jika dia menolak untuk menjaga marwah dari hak dan tradisi maka akan ada proses ke pihak berwajib dalam hal ini kepolisian.“
Kelemahan ini karena belum ada aturan hukum yang memberikan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat yang terus melestarikan hutan dan lingkungan mereka.
UU yang memberikan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat belum juga ada. Pembahasan rancangan UU ini, katanya, sudah belasan tahun melewati beberapa kali presiden tetapi belum ada pengesahan. “Pengakuan terhadap masyarakat adat itu harus disahkan, karena masyarakat adat pandai menjaga lingkungannya.”
Di Haruku, katanya, pemanfaatan hasil hutan hanya untuk pemenuhan hidup sehari-hari. Di laut, ikan untuk mencukupi keperluan makan juga jual ke pasar. “Artinya sistem pengambilan hasil dari alam ini ada punya batasan, batasannya yang penting hari-hari tercukupi.”
Daniel Pelasula, periset BRIN, mengatakan, penanaman mangrove oleh masyarakat di Negeri Haruku adalah cara melindungi ekosistem pesisir, antara lain menjaga habitat lompa. Praktik ini akan berdampak pada kehidupan masyarakat di sana.
“Jika lompa mereka jaga, maka penanaman mangrove dampaknya juga akan dirasakan biota sungai dan pesisir lain termasuk manusia.”
Keberadaan mangrove, katanya, juga jadi pelindung pesisir, guna menjaga air laut tak masuk ke darat, serta tempat makan dan perlindungan ikan.
“Mangrove memiliki banyak kegunaan untuk keberlangsungan hidup ekosistem, juga untuk manusia.”
Menjaga telur burung gosong maluku dari segala ancaman hingga menetas dan dikembalikan ke alam, dilakukan Eli dalam empat tahun terakhir. Foto: Facebook/ELiza Kissya
Konservasi masyarakat adat
Cindy Julianty, Program Manager Working Group ICCAs Indonesia mengatakan, masyarakat adat yang paling tahu bagaimana memanfaatkan alam sesuai kebutuhan dan kapasitas. Masyarakat adat itu, katanya, memiliki pengetahuan tradisional yang bisa mereka bangun dari proses ilmiah, observasi, dan dengan hati dalam mengambil keputusan.
Pengetahuan masyarakat adat tentang alam lewat tahapan observasi sekalipun tidak ada label dalam sains tetapi mereka mampu memanifestasikan itu dalam beragam berbentuk panduan, istilah atau metafora yang bermuara pada perlindungan alam.
Padahal, katanya, model-model konservasi masyarakat adat sangat saintis.
“Mereka percaya, alam itu tidak boleh menerima perlakuan berlebihan, atau tereksploitasi terlalu banyak karena alam juga akan memberikan ganjaran pada manusia. Rata rata begitulah pemahaman masyarakat adat.”
Pada lingkup masyarakat adat, mengkonservasi hutan keramat karena ingin menjaga pohon-pohon dan lingkungan di tempat itu sebagai titipan para leluhur. Masyarakat adat juga percaya roh leluhur di tempat yang mereka sakralkan itu. Inti dari tujuan penyakralan itu, katanya, untuk melindungi cadangan air dan sumber-sumber kehidupan di sana.
Begitu pula mengenai bentuk masyarakat adat menata ruang. Mereka lebih dahulu memahami tentang pembagian ruang tanpa belajar di kampus. Masyarakat adat sudah tahu mana wilayah cadangan untuk produksi dan mana yang harus dijaga.
“Masyarakat adat itu tidak hanya melakukan konservasi alam atau ekosistem, tetapi juga mengkonservasi hidup mereka,” katanya.
Konservasi adalah gaya hidup bagi masyarakat adat. Walaupun mereka tidak menyebutkan itu sebagai konservasi, tetapi cara mempraktikkan hidup berdampingan dengan alam itu adalah konservasi. Mereka sudah memiliki sistem tata kelola, aturan sekalipun tidak tertulis.
“Jika ada sejumlah pihak yang mengatakan bahwa kita terlalu meromantisasi isu ini, yakinkah itu efektif karena sudah berkembang. Memang tidak bisa menafikan bahwa hidup masyarakat itu dinamis. Proses perubahan di masyarakat akibat dari berbagai faktor secara internal dan eksternal. ”
Jadi, daripada hanya memperdebatkan tolak ukur model konservasi sebaiknya berikan ruang kepada masyarakat untuk revitalisasi nilai itu. Revitalisasi nilai itu, katanya, akan terjawab kalau masyarakat adat berdaulat atas wilayahnya.
“Kedaulatan hak ulayat, berdaulat atas apa yang dianggap penting untuk wilayahnya. Jika diperhadapkan dengan pembangunan mereka memiliki hak untuk menyetujui atau tidak. Itu yang lebih penting.”
Sebaliknya, bisa saja muncul pertanyaan soal berhasil tidaknya konservasi versi negara. Dalam kenyataan, banyak kawasan konservasi rusak dan populasi satwa endemik bahkan langka makin turun.
“Konflik antara manusia dan satwa naik, konversi lahan untuk bisnis juga makin banyak.”
Pelasula pun, mengatakan, tujuan konservasi berkaitan dengan manfaat perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem secara berkelanjutan.
Konservasi adalah upaya rehabilitasi habitat dan pencegahan kerusakan. “Jadi, konservasi mengarah pada bentuk perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem,” katanya.
Menerangkan sedikit tentang konservasi masyarakat adat, seperti di Negeri Haruku, kata Pelasula, tindakan itu bagian dari kesadaran sekaligus mengandung nilai edukasi bahwa ekosistem itu harus tetap terjaga dan memiliki manfaat berkelanjutan.
“Tentu untuk menjaga ekosistem sudah sejak lama diterapkan leluhur kita. Mereka paham pentingnya keseimbangan dan pemanfaatan berkelanjutan. Contoh, saat mengambil ikan saat air surut, ada bongkahan batu yang diangkat untuk mengambil ikan, bongkahan itu dikembalikan ke posisi semula. Tujuannya, agar telur ikan tetap terjaga.”
Bentuk konservasi masyarakat adat, katanya, juga disertai larangan atau sasi. “Kesadaran ini, menjadi kekuatan hingga manusia dapat hidup berdampingan sembari tetap memanfaatkan alam.”
Bibit-bibit mangrove mulai bertumbuh. Penanaman mangrove dilakukan Eliza Kissya, Kepala Kewang Haruku, bersama anggota kewang. Foto: Edison Waas
******
*Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay Indonesia dengan WGII.
Sasi Lompa, Tradisi Jaga Pesisir Orang Haruku
Sumber: Mongabay.co.id