- Pada 23 Oktober 2023 ada tiga pihak berbeda yang mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Permohonan ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
- Setahun lebih berselang, gugatan tersebut menemui titik akhir dengan MK menolak permohonan tersebut. Penetapan putusan tersebut dilakukan hakim MK pada sidang yang digelar pada 29 November 2024
- Alasan utama kenapa MK menolak permohonan uji materi UU 18/2017, adalah karena awak kapal dan pekerja perikanan adalah bagian dari pekerja migran. Sementara, tiga pihak meminta klausul tersebut dihapus dalam Pasal 4 ayat 1 huruf C
- Ada banyak makna, hikmah, dan harapan setelah MK menolak permohonan uji materi tersebut. Paling utama, adalah perlindungan terhadap pekerja perikanan migran Indonesia bisa terwujud dengan dukungan hukum dan sistem yang kuat
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mendapatkan apresiasi dari banyak pihak atas keputusan bersejarah mereka yang tegas menolak permohonan untuk menghapus pasal 4 ayat 1 huruf C dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Penghapusan klausul tersebut menjadi fokus dari permohonan uji materi yang diajukan oleh tiga pihak berbeda yang mewakili kelompok, perorangan, dan lembaga perekrut (manning agency). Ketiganya mengajukan permohonan uji materi pada 23 Oktober 2023.
Adapun, tiga pihak yang dimaksud adalah Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) yang mewakili kelompok, Untung Dihako mewakili perseorangan, dan lembaga perekrut PT Mirana Nusantara Indonesia.
Tiga pihak tersebut mempersoalkan pada Pasal 4 ayat (1) huruf c yang mengatur bahwa pelaut awak kapal dan pelaut perikanan termasuk pekerja migran Indonesia. Ketetapan tersebut dinilai harus segera dicabut atau dihapus, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terkait pelayaran.
Penolakan MK tersebut ditetapkan pada Jumat, 29 November 2024 melalui Putusan Perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023. Putusan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya, yang ingin mengecualikan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan migran dari rezim hukum perlindungan pekerja migran.
Hakim Ketua MK Suhartoyo menyebut mengakui awak kapal dan pelaut perikanan sebagai bagian dari pekerja migran. Pengakuan tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan penuh bagi mereka dalam memenuhi hak-haknya sebagai pekerja migran.
- Advertisement -
Dengan demikian, pengakuan hukum sebagai PMI merupakan prasyarat untuk memenuhi hak-hak konstitusional dari setiap pelaut migran. Termasuk, hak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Baca : Nasib Buruk Awak Kapal Perikanan di Kapal Perikanan Asing
Sekelompok nelayan dan awak pekerja perikanan (AKP) di Pelabuhan Perikanan Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Putusan MK Tegas
Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menyampaikan apresiasinya terhadap MK yang berani tegas. Pertimbangan MK itu juga dinilai sudah sejalan dengan posisi Pemerintah Indonesia pada tingkat internasional dan kawasan.
Pada tingkat internasional, Indonesia sudah meratifikasi International Convention on the Rights of Migrant Workers and Members of their Families (ICRMW) pada 2012 dan mengadopsinya ke dalam UU No.18/2017. Pada Pasal 2 paragraf 2 (c) ICRMW, pelaut disebut sebagai bagian dari pekerja migran.
Sementara pada level kawasan, Indonesia sukses mengawal dan mengadopsi ASEAN Declaration on the Placement and Protection of Migrant Fishers pada 2023 atau saat kepemimpinan ASEAN dipegang oleh Indonesia.
“Deklarasi tersebut juga mengakui awak kapal perikanan (AKP) migran sebagai pekerja migran, dan memiliki hak yang sama seperti pekerja migran di darat,” ungkap CEO IOJI Mas Achmad Santosa melalui keterangan resminya.
Selain pertimbangan di atas, dia menyebut kalau MK juga menilai bahwa perlindungan pelaut migran dalam UU No.18/2017 secara prinsip sejalan dengan konvensi internasional, termasuk ICRMW dan Maritime Labour Convention (MLC) 2006. Perlindungan ini meliputi hak-hak dasar pekerja, kondisi kerja yang aman, jaminan sosial, serta hak-hak lain.
Selain UU No.18/2017, Indonesia juga menindaklanjuti aturan tersebut dengan mengadopsi dan melakukan harmonisasi ICRMW, MLC, dan Konvensi ILO 188 (C-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Adopsi dilakukan ke dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.
Khusus tentang C-188, merupakan konvensi aturan internasional yang khusus mengatur standar perlindungan bagi para pekerja di sektor kelautan. ILO mengesahkan konvensi tersebut pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss.
Penting dibaca : Tanpa Perlindungan Penuh, Nasib Awak Kapal Perikanan Semakin Terpuruk
Aktivitas sekelompok awak kapal perikanan (AKP) di sebuah kapal penangkap ikan. Foto : Tommy Trenchard/Greenpeace
Menurut Santosa, Indonesia diharapkan bisa memiliki posisi tawar yang lebih kuat di masa mendatang. Khususnya, saat bernegosiasi dengan negara tujuan penempatan atau negara bendera untuk memastikan penghormatan dan perlindungan hak-hak AKP Migran.
Pemberlakuan PP No.22/2022, juga menjadi alasan penilaian MK tentang dualisme perizinan penempatan pelaut migran, yang menurut mereka otomatis berakhir. Dualisme tersebut hanya akan menyulitkan instansi pemerintah di tingkat pusat, daerah, dan desa saat mengawasi penempatan pelaut migran.
“Juga, menyulitkan instansi penegak hukum saat akan melakukan upaya penegakan hukum terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sepanjang migrasi pelaut migran,” terangnya.
Secara khusus, MK menegaskan kewajiban perusahaan penempatan pelaut migran untuk mengikuti persyaratan perizinan dalam UU No.18/2017 dan PP No.22/2022. Kewajiban itu, meliputi pembuatan surat izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (SIP3MI).
Merujuk pada Pasal 43 dan Pasal 45 PP No.22/2022, ketentuan SIP3MI adalah pengalihan dari kewajiban pembuatan surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK) yang dibebankan kepada perusahaan penempatan awak kapal.
Peralihan tersebut membuat perusahaan perekrut dan penempatan awak kapal yang telah memiliki SIUPPAK wajib melakukan penyesuaian dengan SIP3MI. Putusan MK tersebut menjadi momentum yang tepat untuk penguatan tata kelola pelindungan pelaut migran.
Harmonisasi Kebijakan
Peneliti IOJI Jeremia Humolong Prasetya menambahkan, pemerintah harus memastikan pengembangan dan harmonisasi kebijakan terkait perlindungan pelaut migran dalam berbagai tingkatan, dari nasional, daerah, desa, atau multilateral, bilateral dan kawasan.
“Harmonisasi menjadi bentuk upaya pembentukan koridor migrasi yang aman untuk pelaut migran,” sebutnya.
Agar perbaikan bisa sinkron, pemerintah harus bisa menetapkan kebijakan prioritas seperti revisi UU No.18/2017, pengembangan peraturan teknis menindaklanjuti PP No.22/2022, pembentukan mekanisme koordinasi antara instansi pemerintah di berbagai tingkat, dan peningkatan kerja sama bilateral.
Baca juga : Perdagangan Orang di Kapal Perikanan Indonesia Terus Terjadi?
Awak kapal perikanan (AKP) sedang bekerja di sebuah kapal perikanan berbendera Taiwan. Foto : Greenpeace
Peneliti IOJI Tasya Nur Ramadhani merinci sejumlah catatan IOJI tentang dampak dari putusan MK tersebut. Pertama, kejelasan posisi pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan perlindungan PMI pasca terbentuknya Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Kemen P2MI).
Kedua, peraturan teknis yang menindaklanjuti UU No.18/2017 dan PP No.22/2022 untuk mengatur bentuk-bentuk perlindungan yang lebih rinci di seluruh tahapan migrasi pelaut migran. Peraturan ini diharapkan bisa memberikan proses bisnis penempatan pelaut migran yang bertanggung jawab, sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma perlindungan HAM dalam UU No.18/2017 dan PP No.22/2022.
Ketiga, meningkatkan efektivitas kelembagaan perlindungan pelaut migran, salah satunya merujuk pada UU No.18/2017 yang mengamanatkan perlindungan PMI dilakukan pendekatan multi institusi. Peran tersebut harus dijalankan oleh Kemen P2MI dengan baik.
Berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 165 Tahun 2024, Kemen P2MI harus membentuk mekanisme koordinasi antar semua instansi di tingkat pusat, daerah, sampai tingkat desa. Serta, memastikan masing-masing menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan norma UU No.18/2017 dan PP No.22/2022.
Selain penguatan dan perbaikan di dalam negeri, kerja sama internasional yang kuat juga menjadi tujuan yang harus dilakukan pemerintah dalam melaksanakan perlindungan pelaut migran. Kerja sama internasional menjadi penting, karena kompleksitas yurisdiksi hukum atas operasi kapal bendera asing tempat pelaut migran bekerja.
Perlunya Perjanjian Bilateral
Menurut Penasihat Senior IOJI Harimuddin, berbagai laporan resmi menunjukkan bahwa mayoritas dari pelaut migran bekerja pada kapal ikan jarak jauh (distant water) yang beroperasi lintas negara dan melibatkan banyak yurisdiksi berdasarkan bendera kapal, domisili dan kewarganegaraan operator dan manning agent, zona maritim yang dilalui kapal tersebut, serta kewarganegaraan AKP migran.
Itu sebabnya, saat terjadi pelanggaran hak pekerja di atas kapal, Pemerintah Indonesia akan kesulitan untuk mengidentifikasi dan mengejar pertanggungjawaban hukum dari pelaku kejahatan. Terutama, pihak ultimate beneficial owner (UBO) yang biasanya adalah pemegang saham utama atau pemilik saham akhir.
Belajar dari persoalan yang dihadapi para pelaut migran, di masa mendatang Kementerian P2MI bersama Kementerian Luar Negeri perlu meningkatkan perumusan perjanjian bilateral dengan negara-negara tujuan utama dari Pelaut Migran, meliputi negara bendera, negara pelabuhan, negara transit, dan negara pantai yang umumnya dikunjungi kapal-kapal bendera asing tersebut.
Selain itu, perjanjian bilateral juga dinilai bisa meningkatkan daya tawar Pemerintah Indonesia dalam pemenuhan hak-hak asasi maupun perburuhan, seperti kondisi kerja yang layak di atas kapal, standardisasi gaji, jaminan sosial, penyelesaian masalah, dan repatriasi yang aman.
Baca juga : Praktik Perbudakan kepada Pekerja Perikanan dari Indonesia
Ilustrasi. Sekelompok nelayan sedang menangkap ikan di Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Berakhirnya Dualisme Kementerian
Selain IOJI, apresiasi juga disampaikan Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI) yang terdiri dari enam serikat pekerja dan tiga kelompok masyarakat sipil. Istimewanya, TAPMI terlibat langsung sebagai pihak terkait dalam perkara uji materi UU No.18/2017 di MK.
Harimuddin yang juga menjadi Kuasa Hukum TAPMI mengatakan bahwa MK sudah tegas dalam melakukan pertimbangan yang menyeluruh dan konklusif. Sekaligus, menunjukkan keberpihakan terhadap pelindungan HAM pelaut migran dengan mengukuhkan norma Pasal 4 ayat 1 huruf C dalam UU No.18/2017.
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Juwarih menyoal tentang tata kelola pelaut migran sesuai dengan UU No.18/2017. Merujuk UU tersebut, perlindungan harus menjamin penyelenggaraan perlindungan sejak sebelum, selama, hingga setelah bekerja.
Menurutnya, putusan MK memperjelas kedudukan bahwa pelaut migran merupakan pekerja migran Indonesia yang telah diatur UU No.18/2017. Selain itu, putusan juga memberi kejelasan kedudukan pelaut migran dalam hukum internasional, terutama dalam perlindungan Konvensi PBB tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya.
Melalui putusan tersebut, MK juga menegaskan bahwa dualisme dan ego sektoral antar kementerian sudah berakhir. Dualisme tersebut mengorbankan dan membiarkan banyak pelaut migran bekerja tanpa perlindungan sejak dua dekade terakhir.
Sekretaris Jenderal Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI) Syofyan juga mengapresiasi putusan MK yang mempertahankan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf C UU No.18/2017. Keberanian tersebut sejalan norma hukum internasional yang berlaku.
Ketentuan perlindungan pelaut migran dalam UU No.18/2017 dan PP No.22/2022 menjadi praktik baik dalam mengharmonisasikan standar-standar perlindungan dalam ICRMW, ILO C-188, dan MLC. Kepastian atas status hukum pelaut migran itu harus diterjemahkan dalam perumusan dan implementasi kebijakan yang konkret dalam melindungi pelaut kita di setiap tahapan migrasi.
“Langkah ini meliputi kebijakan di tingkat nasional, daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan desa, ratifikasi ILO C-188 dan penguatan implementasi MLC 2006, serta pengembangan perjanjian bilateral,” ungkapnya.
Menurutnya, Kemen P2MI bertanggung jawab untuk melanjutkan momentum ini dengan memimpin dan/atau mengoordinasikan penetapan, serta melakukan evaluasi kebijakan di berbagai tingkatan pemerintahan untuk mewujudkan perlindungan pelaut migran secara menyeluruh.
Baca juga : Praktik Kerja Paksa Terus Hantui Para Pekerja Migran Perikanan Indonesia
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono (kanan) dan Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding (berbatik) bertemu di Kantor KKP, Jakarta Pusat, Selasa (26/11/2024) membahas skema perlindungan ekstra bagi para anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal perikanan luar negeri. Foto : KKP
Skema Perlindungan ABK Indonesia
Dua hari sebelum MK menetapkan putusan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono bersama Menteri P2MI Abdul Kadir Karding bertatap muka untuk menyiapkan skema perlindungan ekstra bagi para anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal perikanan luar negeri.
Skema yang dimaksud, meliputi peningkatan keahlian ABK melalui balai-balai pelatihan yang ada di KKP, pemetaan negara penyaluran ABK, hingga sinkronisasi data ABK yang ada di dua kementerian. Upaya tersebut diharapkan bisa mendorong perlindungan menjadi lebih maksimal lagi.
Trenggono mengatakan, pihaknya akan memaksimalkan balai-balai pelatihan yang tersebar di Medan (Sumatera Utara), Ambon (Maluku), Tegal (Jawa Tengah), Bitung (Sulawesi Utara), dan Sukamandi (Jawa Barat) sebagai tempat pelatihan bagi calon ABK yang terdata akan bekerja di luar negeri.
“Selain kompetensi bidang kelautan dan perikanan, calon ABK akan dibekali dengan pelatihan bahasa asing sesuai negara yang menjadi tujuan,” jelasnya.
Dia meyakini, keahlian yang akan dimiliki oleh setiap calon ABK yang berasal dari Indonesia akan bisa meningkatkan daya saing yang tinggi di dunia kerja. Juga, bisa menghindari para ABK dari praktik kekerasan maupun penipuan yang sampai saat ini masih menimpa ABK Indonesia di luar negeri.
Melalui upaya tersebut, diharapkan keahlian ABK bisa meningkat dan tidak ada lagi yang menjadi korban. Bahkan, ABK yang akan berangkat kerja pun diharapkan bisa melalui proses resmi, agar KKP bisa mengetahui dengan detail prosesnya.
“Kami tidak tahu (kondisi para ABK) berangkatnya seperti apa, kemampuannya apa, tapi kami yang kena. Dengan adanya sinergi, kemampuan ABK bisa kita tingkatkan dan masalah kekerasan dan sebagainya bisa kita hindarkan,” ucapnya.
Menteri P2MI Abdul Kadir Karding mengapresiasi langkah KKP yang siap mendukung upaya perlindungan terhadap pekerja migran, khususnya para ABK. Bersama KKP, pihaknya juga akan membentuk satuan tugas (satgas), melakukan sinkronisasi data ABK, serta melakukan pemetaan negara-negara yang potensial menerima penyaluran ABK secara profesional.
“Negara dengan kebutuhan ABK tinggi, yakni Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan,” paparnya.
Menurutnya, upaya yang dilakukan bersama KKP menjadi bentuk sinergi untuk terus menekan praktik pengiriman ABK keluar negeri secara ilegal. Tujuannya, agar tidak ada lagi ABK yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan saat sudah bekerja di atas kapal perikanan.
“Yang unprocedural itu rawan, banyak laporan yang dibuang di laut karena cekcok, dan sebagainya. Nah ini yang ingin kami bereskan, sehingga semua terdata,” pungkasnya. (***)
Karut Marut Perlindungan Awak Kapal Perikanan
Sumber: Mongabay.co.id