- Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug memiliki filosofi hidup harmoni dengan alam, dimanifestasikan dalam tiga jenis konsep ruang, yaitu hutan titipan, hutan tutupan, dan hutan (lahan) garapan.
- Kemandirian pangan warga adat diwujudkan dalam penanaman padi, “rukun tujuh” adalah tatacara penanaman padi lokal, dimana dalam satu hektar dapat dihasilkan padi hingga 200 pocong (1 pocong sekitar 3-5 kilogram beras).
- Tumpang tindih lahan warga dan TNGHS terjadi di awal 2003, warga dilarang untuk mengelola lahan-lahan di wilayah yang dianggap sebagai bagian dari kawasan konservasi
- Pada tahun 2022, Kasepuhan Cibedug lewat SK Pengakuan Hutan Adat, memperoleh 1.268 hektar kawasan Hutan Adat.
Di tengah masyarakat yang semakin dinamis dengan segala simbol modernitas, Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug, Kabupaten Banten, Banten memilih tetap hidup dalam tradisi dengan konsep mempertahankan keseimbangan alam.
Abah Nurja (82), ketua adat atau yang disebut sebagai olot, menyebut bahwa amanat itu telah diwariskan oleh leluhur. Salah satunya petuah tentang ‘langit adalah bapak dan bumi sebagai ibu’, yang maknanya manusia punya kewajiban merawat tanah dan air agar kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan bisa dipenuhi.
Hal itu pula yang membuat selama ratusan tahun eksistensi mereka berada di wilayah lereng pegunungan Halimun Banten Kidul. Nurja bilang belum ada kerusakan lingkungan signifikan yang timbul selama mereka merawat alam, layaknya ibu dan bapak.
“Merusak alam itu pamali. Aturan alam itu sendiri misteri, jawabannya akan muncul jika patuh menjalankan aturan adat.”
Abah Nurja, olot Adat atau Tetua Adat Kasepuhan Cibedug, Banten.Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
- Advertisement -
Dalam konsep pengelolaan tata ruang di Masyarakat Adat Kasepuhan, jelas Nurja, dikenal tiga jenis kategori ruang, yaitu hutan titipan, hutan tutupan, dan hutan garapan.
Hutan titipan adalah hutan yang dititipkan para leluhur untuk dijaga sehingga sifatnya dikeramatkan. Pantang bagi mereka membuka lahan di areal yang disebut leuweung kolot.
Sedangkan hutan tutupan adalah hutan yang ditetapkan sebagai area lindung bagi masyarakat adat. Jika dibandingkan dengan aturan pemerintah ini dapat disetarakan dengan suaka alam, taman nasional maupun hutan lindung yang punya fungsi konservasi.
Dalam urusan membuka lahan untuk huma, warga harus mengikuti aturan adat. Salah satu syaratnya hanya boleh dilakukan di lahan garapan termasuk sawah dan berkebun.
Adat juga melarang membuka lahan di areal sumber air yang disebut sirah cai dan tempat-tempat yang rawan erosi. Biasanya, ditandai dengan aub lembur atau serupa hutan primer yang menjadi pembatas antara wilayah kelola mereka.
Padi memang menjadi pusat kehidupan orang Kasepuhan. Itu yang membuat mereka teliti memberi zonasi yang tujuannya agar hasil panen mereka tidak gagal karena kekurangan air.
Padi juga tidak ditanam melalui siklus intensif. Setelah masa tanam padi, lahan diistirahatkan atau yang disebut sebagai lahan bera. Tujuannya untuk mengembalikan unsur hara, dan menghindarkan siklus hama yang bisa berkembang biak.
Dalam menanam padi dikenal istilah rukun tujuh atau tata cara yang harus diikuti dalam penanaman padi varietas lokal jenis pare gede dan cere atau padi kecil. Dengan cara ini, dalam satu hektar dapat dihasilkan padi hingga 200 pocong (1 pocong sekitar 3-5 kilogram beras).
Di Cibedug, beberapa warga ada yang memiliki lahan pertanian seluas seperempat hektar. Ada juga yang lebih dari itu tergantung dari amanah yang diberikan orang tua sebelumnya.
Dalam setiap panen, warga adat mampu menyimpan antara 600-1.000 kg beras di dalam lumbung atau yang disebut dalam bahasa lokal sebagai leuit. Hasil padi memang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, bukan untuk dijual apalagi untuk dikomersialisasikan.
Foto udara pemukiman di Kasepuhan Cibedug, Kabupaten Lebak, Banten. Kasepuhan yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Sawah ini dihuni oleh 115 kepala keluarga. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Tercerabutnya Hak Adat Kasepuhan Cibedug
Meski demikian, komunitas Kasepuhan Cibedug sempat mengalami periode masa dimana mereka tidak diperbolehkan membuka lahan. Pasalnya, lokasi tempat mereka menanam padi, dianggap bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
Suryana (55) contohnya. Ia masih ingat betul di tahun 2003, lahan garapan miliknya tiba-tiba disebut sebagai bagian dari kawasan TNGHS.
Dia dan warga lain pun bingung atas aturan negara yang menyebut lahan mereka tumpang-tindih dengan lahan Taman Nasional. Yang mereka tahu, lahan garapan mereka secara turun-temurun diwariskan dari nenek moyang.
Akibatnya, beberapa tahapan rukun tani yang biasa dijalankan oleh masyarakat adat tidak lagi terlaksana.
Dalam ritual adat, kata Suryana, tahap awal proses pertanian dimulai dengan asup leuweung. Proses ini dimulai dengan membuka lahan pertanian secara bersama-sama di lahan garapan yang dilakukan dengan cara membersihkan lahan hutan.
Selanjutnya nibakeun, yaitu ritual berdoa pada saat mulai menebar benih. Sebelum menanam, padi dirawat dengan cara ngubaran atau mengobati padi dari hama.
Setelah beberapa tahapan pengelolaan, kemudian masuk dalam ritual mapag pare beukah dan mipit. Keduanya adalah proses ritual adat meminta izin untuk memanen padi.
Ritual itu kemudian dilanjutkan dengan ngadiukeun pare untuk persiapan syukuran adat yang puncaknya adalah serentaun atau memasukkan padi ke lumbung.
“Setelah ada TNGHS tidak bisa lagi menjalankan rukun tani yang pertama,” ucap Suryana. Dia dan 115 kepala keluarga lain, tidak boleh lagi masuk ke hutan. Mereka dianggap membabati bukit-bukit di daerah hutan penyangga yang masuk di dalam kawasan TNGHS.
Padahal, dalam sistem kosmologi ruang warga Kasepuhan Cibedug wilayah yang mereka kelola adalah bagian wewengkon atau tanah adat yang telah diamanatkan oleh para leluhur.
Sarmin (55), Amil adat Kasepuhan Cibedug menunjukan padi yang sudah disimpan di leuit di Kasepuhan Cibedug, Kabupaten Lebak, Banten. Sarmin mengatakan 1 leuit bisa menampung lebih dari 200 pocong atau setara 1 ton beras. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Perjuangan Pengakuan Adat Kasepuhan Cibedug
Setelah berjuang hampir 20 tahun, warga adat Kasepuhan Cibedug, boleh sedikit bernafas lega. Hak atas tanah dan wilayah mereka akhirnya diakui dengan keluarnya SK Hutan Adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2022.
Dalam SK tersebut, Hutan Adat mereka dinyatakan bukan lagi masuk dalam Kawasan Hutan Negara. Dari 2.138 hektar permohonan luas Hutan Adat yang diajukan ke negara, maka yang disetujui oleh negara adalah seluas 1.268 hektar.
“Karena tidak punya legalitas, di mata negara keberadaan mereka tidak diakui. Itu yang mendorong penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cibedug jadi penting,” jelas Fauzan Adima, staf pengorganisasian masyarakat dari Rimbawan Muda Indonesia (RMI), yang mendampingi masyarakat.
Dengan adanya kejelasan hak, warga adat memiliki tanggung jawab dalam menjaga dan mengelola wilayah. Termasuk merestorasi beberapa wilayah leuweung kolot yang punya fungsi pengatur iklim mikro dan mitigasi bencana yang justru rusak saat berstatus Hutan Negara.
Meski demikian, Fauzan bilang tidak seluruh lahan dalam kosmologi ruang adat Kasepuhan Cibedug telah kembali sepenuhnya.
“Wilayah leuweung cawisan atau hutan cadangan mereka masih berada di kawasan TNGHS,” terangnya.
Leuweung cawisan sendiri adalah lahan cadangan yang bisa digunakan di kemudian hari untuk membuka kampung atau garapan baru ketika terjadi pertambahan penduduk.
Saat ini wilayah kampung dan garapan warga hanya sekitar 5 persen dari luas wilayah adat. Selebihnya merupakan zona hijau atau wilayah hutan yang sudah diatur oleh tutur leluhur.
Fauzan menampik jika batas-batas wilayah adat saling tumpang tindih. Dia bilang batas-batas itu secara tradisional dapat ditemukan dalam berbagai batas alam maupun tanda pasak batu yang dapat ditelusuri.
“Semua batas yang dibuat warga adat di Banten Kidul itu tidak tumpang tindih,” kata Fauzan.
Saat ini warga Kasepuhan dibantu RMI dan beberapa pihak sebutnya baru menyelesaikan peta partisipatif, yang tujuannya untuk menyusun pengelolaan hutan secara aturan tata kelola adat.
Warga Kasepuhan Cibedug menunjukkan patok yang menjadi batas hutan adat di Kasepuhan Cibedug, Kabupaten Lebak, Banten. Butuh 22 tahun bagi warga kasepuhan kembali hak kelola hutan melalui Surat Keputusdan Hutan Adat Kasepuhan Cibedug dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 1.268 hektare
Tradisi dalam Telaah Budaya
Guru Besar Etnobiologi Universitas Padjajaran, Johan Iskandar, menjelaskan, salah satu peran penting masyarakat adat adalah karena mereka memiliki kesadaran lingkungan, seperti konsep tanam serta penataan ruang dan wilayah.
Lebih jauh lagi, secara bergenerasi akumulasi pengetahuan dalam mengelola dan mengidentifikasi berbagai potensi alam telah mereka kumpulkan yang dimanifestasikan dalam tradisi, termasuk di dalam istilah-istilah linguistik yang mereka gunakan dalam pengelolaan hutan.
“Jadi ketika pengetahuan mereka tidak lagi dipakai, maka akan ada jarak dengan tradisi yang ada, dan itu amat mengkhawatirkan,” kata Johan saat dihubungi oleh Mongabay.
Dalam aturan menanam padi pun, mereka memilih tidak membudidayakan sawah irigasi intensif, tetapi sawah tadah hujan dengan sistem tanam satu tahun sekali untuk memperkecil rusaknya unsur hara tanah. Menurut Johan ini adalah buah dari pengetahuan: hidup beradaptasi bersama alam.
“Contohnya, pengetahuan terkait lokasi seperti mata air, hutan keramat hingga lahan berhuma yang merupakan adaptasi budaya melindungi atau mengkonservasi alam,” tutupnya.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay Indonesia dengan WGII.
Foto : Harmoni Selaras Alam Bersemayam di Kasepuhan Cisungsang
Sumber: Mongabay.co.id