- Dewita, ibu dua anak di Kabupaten Tebo, Jambi, berniat membersihkan lahan untuk menanam padi. Dia banting tulang sendirian membersihkan sepetak lahan di Dusun Muara Bulan, Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi. Bukan padi dia dapat, malah masuk jeruji.
- KKI Warsi menunjukkan, sampai 3 September 2024, luas kebakaran hutan dan lahan di Jambi mencapai 6.797 hektar. Lebih dari 3.900 hektar berada dalam konsesi perusahaan. Kebakaran paling luas di perkebunan sawit.
- Sampai akhir September 2024, Polda Jambi menetapkan 14 orang tersangka kasus pembakaran hutan dan lahan di Jambi. Sampai saat ini belum ada perusahaan sebagai tersangka.
- Abdullah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi menilai, upaya penegakan hukum aparat masih berat sebelah, karena terkesan hanya menyasar petani kecil, seperti kasus Dewita.
- Advertisement -
Dewita berurai air mata membaca nota pembelaan di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Tebo, 3 Desember lalu. Ibu dua anak itu kena tuntut 2,5 tahun penjara dan denda Rp20 juta atas tuduhan membakar lahan.
“Saya memohon yang mulia untuk memberikan belas kasihan dan kemurahan hati, memberikan hukuman yang seringan-ringannya kepada saya,” katanya terisak.
“Saya mempunyai tanggungan untuk menafkahi dan mangasuh kedua anak saya yang masih bersekolah SD…kami di sini hanya perantau, jauh dari keluarga. Benar-benar menyambung hidup untuk masa depan keluarga kecil saya.”
Perempuan 35 tahun itu tidak menyangka niatnya membersihkan lahan untuk menanam padi, justru menyeret ke penjara. Selama ini, dia banting tulang sendirian membersihkan sepetak lahan yang dibeli suaminya di Dusun Muara Bulan, Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi, pada Maret 2024.
Lasro, suami Dewita, saban hari pontang-panting jadi kuli serabutan. Sejak kena PHK setahun lalu, Lasro sepakat berbagi peran dengan istrinya demi menyambung hidup di perantauan.
Nahas, pada 31 Juli lalu, sore hari Dewita ditangkap polisi. Aparat mengamankan parang yang Dewita gunakan untuk membersihkan lahan, mengambil korek api serta alat semprot dari dalam pondok untuk jadi barang bukti.
Sebelum persidangan, Mongabay sempat menemui Dewita. Dia cerita awal mula ditangkap. “Awalnya saya lagi nerbas, terus dipanggil anak saya, ‘mak ada orang’ katanya gitu.”
Dewita tak berpikir akan ditangkap. Dia pun menemui rombongan satgas karhutla yang patroli bersama Forkopimda Tebo dan personel PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT). Dia kemudian ditanya siapa pemilik lahan di seberang jalan yang terbakar tak jauh dari pondoknya.
“Saya nggak tahu pak,” jawabnya.
Saat itu, Dewita dan keluarga baru empat bulan pindah dari Padang Lawas, Sumatera Utara. Dia ditanya apakah lahan yang ada tumpukan ranting bekas terbakar itu miliknya?
“Saya jawab ‘iya.’”
Dewita ditanya asal usul lahan yang dia garap, karena berada dalam kawasan hutan yang menjadi konsesi ABT. Dia mengaku, tak tahu masalah status lahan yang dia beli.
Dewita diminta menunjukkan rumah Ali Nasution, pemilik lahan sebelumnya. Rumahnya kosong. Sampai petang, Ali tak kunjung pulang.
Akhirnya Dewita bersama kedua anaknya dibawa ke kantor desa. Di tengah perjalanan, Dewita ditanya apakah dia membakar lahan. “’Ya’, saya bilang.”
Dewita mengaku, seminggu sebelumnya, pada 24 dan 25 Juli 2024, dia membakar tumpukan ranting dan dedaunan kering bekas terbasan. Karena dia mau tanam padi, cabai dan bibit terong yang telah dia siapkan.
Lahan itu dia bersihkan sendirian sejak Mei. Perempuan asal Padang Lawas itu bilang, setiap bekas terbasan seluas empat mater persegi dia tumpuk jadi satu, kemudian dibakar. Total ada enam tumpukan yang dia bakar.
Varial Adhi Putra, Pj Bupati Tebo, yang ikut dalam rombongan patroli minta agar Dewita diperiksa lebih lanjut di kepolisian, sementara kedua anak Dewita dititipkan pada tetangga.
Gundra, anggota polisi Polres Tebo yang menangkap Dewita hadir sebagai saksi persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Tebo, pada 24 Oktober 2024. Dia cerita, awalnya BMKG memberikan informasi adanya hotspot di lokasi Blok II, ABT.
Rombongan satgas karhutla, Forkopimda Tebo dan personel ABT yang patroli kemudian menuju lokasi titik hotspot. Gundra melihat api membumbung tinggi hampir dua meter, membakar bekas tebangan di seberang jalan sekitar 30 meter dari pondok Dewita. Pemilik lahan yang terbakar tidak ada di lokasi.
Saat itu, hanya ada Dewita bersama kedua anaknya.
Lahan yang Dewita garap masuk wilayah RT 11, Desa Pemayungan. Hasil pemetaan Walhi Jambi menunjukkan, 31.384 hektar wilayah administrasi Desa Pemayungan masuk dalam kawasan hutan. Dari luas itu, 12.792 hektar menjadi izin konsesi ABT. Sisanya masuk dalam izin konsesi PT Lestari Asri Jaya, anak usaha PT Royal Lestari Utama, perusahaan Michelin Grup.
Daru Adianto, Dosen Hukum Universitas Brawijaya yang menjadi ahli dalam sidang menjelaskan, berdasarkan UU Lingkungan kasus kebakaran masyarakat untuk membuka lahan demi memenuhi kebutuhan hidup itu diperbolehkan.
Dewita menjalani sidang di Pengadilan Negeri Tebo atas kasus karhutla. Foto: Teguh Suprayitno/Mongabay Indonesia
Dalam kasus kebakaran lahan harus dilihat siapa pelakunya. Tidak bisa pukul rata antara masyarakat dengan perusahaan, karena motif berbeda.
“Perusahaan membuka lahan untuk kepentingan ekonomi. Sementara masyarakat untuk bertani dan bukan merusak hutan. Selain itu, karena keterbasan dan juga tradisi…Tradisi itu dilindungi oleh hukum dan diperkenankan untuk dilakukan,” kata Daru.
Merujuk Surat Edaran Nomor:SE.1/Menlhk-II/2015 tentang Penanganan Kasus-kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dosen hukum itu bilang, masyarakat yang membuka lahan kurang dari lima hektar dan dengan praktik yang baik, tidak termasuk tindak pidana.
Yang dilakukan Dewita, mengumpulkan bekas terbasan menjadi tumpukan-tumpukan kecil, kemudian dibakar setelah kering, mirip tradisi merun yang umum dilakukan masyarakat Sumatera.
“Merun mirip dengan api unggun hingga tujuannya tidak untuk merusak.”
Dalam kasus lingkungan dan kehutanan yang harus didorong adalah restorative justice, pelakunya harus didamaikan dan korban harus dipulihkan. “Restorative justice kuncinya, bukan menghentikan tetapi memulihkan,” kata Daru.
Dia juga menjabarkan terkait aturan dalam Permen 9/2021 tentang perhutanan sosial. “Jika masyarakat di sekitar masih membutuhkan kawasan hutan harus dibina, difasilitasi dan dibentuk kelompok, dengan mengedepankan penguatan prekonomian dan kelembagaan dan permodalan. Itu menjadi tanggung jawab dari pemegang izin.”
Rukka Sambolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) mengatakan, membuka lahan dengan cara membakar merupakan tradisi yang masih dilakukan para peladang tradisional sampai sekarang.
“Membuka lahan dengan membakar bukan hanya untuk membersihkan, juga memastikan kesuburan tanah,” katanya.
Peladang tradisional tidak sembarangan membakar lahan. Mereka menggunakan sistem pengetahuan khusus, menghitung waktu, arah angin dan lainnya. “Jadi tidak sembarangan asal membakar.”
Menurut dia, larangan membuka lahan dengan cara membakar akan menghilangkan tradisi yang telah dilakukan turun temurun. “Larangan ini juga akan mengancam kedaulatan pangan.”
Dia menyayangkan, banyak peladang tradisional yang membuka lahan dengan cara membakar kena kriminalisasi karena hukum tumpang tindih. Menurut dia, ada diskriminasi antara peladang tradisional dengan perusahaan.
“Hukum tidak berlaku sama pada perusahaan yang lahan konsesinya terbakar,” katanya.
Dewita, dituntut 2,5 tahun penjara akibat kasus karhutla di Tebo.Foto: Teguh Suprayitno/Mongabay Indonesia
Banyak warga terjerat
Tak hanya Dewita, warga Jambi yang kena jerat hukum karena bersih-bersih lahan untuk menanam. Ada juga Hendri Edward kena hukum 10 tahun penjara denda Rp 1 juta karena kebakaran lahan di KM 14, Desa Kandang, Kecamatan Tebo Tengah, Tebo 8 Agustus lalu.
Pada 2 Desember 2024, Manjelis Hakim Pengadilan Negeri Tebo menyatakan, Hendri terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membuka dan atau mengolah lahan dengan cara membakar.
Dia ditangkap polisi karena api untuk membakar tumpukan sampah bekas steking membesar hingga tak mampu dia padamkan. Hampir lima jam dia berusaha memadamkan api, tetapi tak berhasil. Api baru padam setelah anggota Polres Tebo, Manggala Agni ikut turun tangan memadamkan api.
Selain Hendri, ada dua petani lagi yang dijerat kasus karhutla. Dewita dan Aman Pasaribu sedang menunggu putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tebo. Aman dituntut dua tahun penjara karena membakar lahan di Sungai Banyu, RT.10 Desa Teluk Rendah Ilir, Kecamatan Tebo Ilir, Kabupaten Tebo pada 24 Juli 2024, yang masuk dalam izin konsesi PT Limbah Kayu Utama. Dia kena tuntut dua tahun penjara dan denda Rp20 juta, dengan subsider enam bulan kurungan.
Mustadi, juga sedang menjalani sidang di Pengadilan Negeri Sarolangun akibat membakar lahan. Pada 21 Agustus 2024, petani di Sarolangun itu berniat membakar bekas terbasan yang sudah kering. Tetapi api membesar hingga tak sanggup dia padamkan. Akibatnya sekitar tiga hektar lahan konsesi PBPH PT Agronusa Alam Sejahtera (AAS) ludes terbakar.
Robi Hermanto juga menjadi pesakitan akibat kasus karhutla. Saat ini warga Kenali Besar, Kota Jambi itu sedang menjalani sidang di Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari. Lelaki 38 tahun itu dianggap bertanggung jawab atas kebakaran lahan di hutan Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin, Dusun Senami, Desa Jebak, Kecamatan Muara Tembesi, Batang Hari, 16 Juli 2024 sekira pukul 17.30 WIB.
Api yang dia sulut untuk membersihkan rumput, ternyata tidak padam sampai empat hari. Bahkan api meluas dan membakar Tahura. Robi juga dituntut karena dianggap sengaja melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin.
Beda penanganan, perusahaan tak kena?
Sampai akhir September 2024, Polda Jambi menetapkan 14 orang tersangka kasus pembakaran hutan dan lahan di Jambi. Sampai saat ini belum ada perusahaan sebagai tersangka.
Abdullah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi menilai, upaya penegakan hukum aparat masih berat sebelah, karena terkesan hanya menyasar petani kecil, seperti kasus Dewita.
“Jangan-jangan penangkapan aparat hanya ingin menunjukkan kalau mereka telah bekerja. Tetapi yang ditangkap hanya petani kecil. Perusahaan tidak ada yang ditindak. Faktanya, hingga kini, belum ada perusahaan yang jadi tersangka meski lahannya terbakar,” katanya.
Dia contohkan konsesi PT Artha Mulia Mandiri (AMM) dan PT Sungai Bahar Pasifik (SBP) di Tanjung Jabung Barat, serta PT Puri Hijau Lestari (PHL) di Muaro Jambi, konsesi terbakar.
Perusahaan, katanya, tidak melakukan upaya mitigasi memadai untuk mencegah kebakaran. “Ini pelanggaran serius yang seharusnya mendapatkan perhatian hukum tegas. Hingga kini, belum ada tindakan hukum pasti terhadap kedua perusahaan itu.”
Menurut dia, ketidakadilan ini hasil dari sistem hukum dan pengawasan lingkungan yang lemah, kekuatan ekonomi dan politik perusahaan besar memberikan mereka kekebalan de facto.
“Peraturan dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan seringkali tidak berpengaruh pada mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Lobi politik, hubungan dekat dengan pejabat pemerintah, dan sumber daya finansial yang melimpah memungkinkan perusahaan-perusahaan ini menghindari konsekuensi hukum yang serius.”
Abdullah menyinggung, pernyataan Kapolda Jambi, Irjen Pol. Rusdi Hartono yang akan menindak tegas pelaku pembakaran hutan dan lahan, termasuk pemberlakuan status quo terhadap lahan yang terbakar hingga ada keputusan hukum tetap.
“Jika kita telaah lebih dalam, maklumat itu hanya memberlakukan status quo pada wilayah yang dibakar, bukan pada wilayah yang terbakar. Ini mengabaikan unsur kelalaian dalam mitigasi karhutla.”
Walhi Jambi menyerukan kepolisian dan instansi berwenang lain untuk menegakkan hukum dengan adil, khusus terhadap perusahaan yang lalai dalam pencegahan karhutla. Abdullah mengatakan, ketegasan hukum sangat perlu agar kebakaran hutan dan lahan tidak terus berulang dan merugikan masyarakat serta lingkungan.
Kompol M. Amin Nasution, Kasubbid Penmas Bidhumas Polda Jambi, yang dihubungi Mongabay 20 November 2024 via pesan WhatsApp , sampai berita ini rilis belum membalas pesan terkait kasus karhutla di Jambi.
Petugas memadamkan api di perkebunan sawit di Kabupaten Muaro Jambi yang terbakar. Foto: Taufik/ Mongabay Indonesia
Puluhan konsesi terbakar
KKI Warsi menunjukkan, sampai 3 September 2024, luas kebakaran hutan dan lahan di Jambi mencapai 6.797 hektar. Lebih dari 3.900 hektar berada dalam konsesi perusahaan. Kebakaran paling luas di perkebunan sawit.
Setidaknya, ada 28 konsesi perusahaan terbakar. Bahkan 16 di antaranya kebakaran berulang—pernah terbakar pada 2015 atau 2019.
KKI Warsi juga mencatat luas kebakaran di areal penggunaan lain mencapai 2.872 hektar, didominasi lahan masyarakat. Kebakaran di Kabupaten Sarolangun terluas, mencapai 3.533 hektar lebih.
Sedangkan luas kebakaran lahan gambut di Muaro Jambi, Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat tercatat lebih dari 1.925 hektar. Kebakaran gambut terluas berada di Desa Rantau Panjang, Rondang, dan Londrang lebih 1.000 hektar.
Rudi Syaf, Senior Advisor KKI Warsi mengatakan, kebakaran lahan di konsesi perusahaan, terutama di gambut karena tata kelola buruk.
“Gambut dikanal-kanal, jadi kering. Apalagi, kalau kemarau air bisa turun sampai satu meter bahkan dua meter. Jadi, gambut yang atas kering dan rawan terbakar.”
Menurut dia, perusahaan harus bertanggung jawab karena konsesi terbakar. “Strict liability, perusahaan harus tanggung jawab mutlak, karena itu wilayah izinnya. Pemerintah harus tegas menegakkan hukum.”
Muncul dugaan, konsesi perusahaan sengaja dibiarkan terbakar untuk mengurangi ketebalan gambut. Hingga yang awalnya gambut dalam dan jadi fungsi lindung, bisa digarap.
Rudi bilang, pemerintah harus membantu petani kecil dengan modal cupet untuk membuka lahan tanpa membakar. Langkah ini, katanya, penting untuk mencegah kebakaran.
“Sekarang ini membuka lahan dengan tidak membakar itu biaya mahal. Seharusnya, pemerintah membantu itu agar tidak terjadi kebakaran. Tidak bisa hanya mengimbau jangan membakar.”
Dw dijenguk anak-anaknya saat di tahanan. Foto: dokumen Walhi Jambi
***
Di luar ruang sidang, Lasro, suami Dewita tampak gelisah. Dia bingung alasan apalagi yang harus dikatakan pada anak-anaknya. Saban hari kedua anaknya selalu menanyakan kapan ibunya pulang ke rumah.
“Kalau anak-anak tanya, saya selalu bilang ‘sebentar lagi mamak pulang’. Kadang kasihan lihatnya, karena anak-anak itu biasa dengan mamaknya.”
Lasro cerita, pandemi COVID-19 benar-benar menghancurkan ekonomi keluarga mereka. Dia kehilangan pekerjaan. Sudah pontang-panting cari kerja, tetapi tak dapat. Hingga akhirnya, seorang kenalan menawari dia lahan tiga hektar di Jambi.
Lahan itu bekas tebangan yang belum pernah digarap. Lasro tak kepikiran kalau lahan itu masuk dalam kawasan hutan atau izin konsesi. Pikirannya, lahan itu akan mereka garap untuk menyambung hidup. Dia pun menguras semua uang tabungan untuk lahan ini.
Lasro meyakinkan, istri dan anak-anaknya untuk pindah ke Jambi, dengan harapan hidup mereka akan lebih baik.
“Niat kami pindah itu biar bisa hidup lebih baiklah. Dapat lahan dikit, mamaknya yang garap, saya kerja jadi buruh buat biaya hari-hari, tapi malah macam ini kejadiannya,” kata lelaki 40 tahun itu sedih.
Lasro termenung. Dia beranjak pergi menemui istrinya di tahanan, menyerahkan bungkusan plastik berisi obat sakit kepala. Kata dia, Dewita sering mengeluh sakit kepala sebelah.
Suami istri itu saling bicara terpisah jeruji besi. Dewita rindu anak-anaknya, dia ingin pulang.
“Pengen ngumpul lagi sama anak-anak.”
********
Karhutla Jambi Dominan di Konsesi: Belasan Petani Tersangka, Korporasi?
Sumber: Mongabay.co.id