- BP Batam menyatakan kampung nelayan akan tetap digusur untuk pembangunan PSN Rempang Eco City.
- Pernyataan itu mengundang reaksi nelayan Pulau Rempang. Menurut mereka pesisir kampung nelayan di Pulau Rempang tepatnya di pesisir laut Sembulang adalah lokasi nelayan tradisional melaut
- Nelayan memastikan hidup mereka akan sengsara jika laut tempat mencari nafkah diambil alih untuk industri, apalagi sampai saat ini tak ada alternatif mata pencaharian yang lain.
- Dinas Perikanan Kota Batam tetap mendukung PSN ini, meskipun belum bisa memastikan fishing ground alternatif setelah laut mereka jadi bagian industri.
Masyarakat nelayan di Pulau Rempang kembali meradang kala Badan Pengusahaan (BP) Batam mengeluarkan pernyataan, akan tetap menggusur kampung nelayan untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
Pernyataan itu disampaikan Kepala BP Batam Muhammad Rudi melalui Anggota Bidang Pengelolaan Kawasan dan Investasi Sudirman Saad dihadapan anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI saat rapat dengar pendapat di Jakarta, Senin lalu (2/12/2024).
“Intinya BP Batam di kawasan industri itu (Pulau Rempang) tidak memungkinkan untuk mempertahankan kampung di sana, karena kampung nelayan akan dipakai untuk pelabuhan. Pelabuhan tidak bisa direlokasi karena itu berkaitan dengan kedalaman laut di sana,” kata Sudirman saat menjawab pertanyaan pemimpin rapat RDP DPR RI, Nurdin Halid soal perkembangan PSN satu ini.
Tiga hari setelah itu pernyataan Sudirman Saad mengundang reaksi warga. Ratusan warga yang mayoritas bekerja sebagai nelayan berkumpul di simpang Kampung Sembulang Hulu, Pulau Rempang, Rabu siang (4/12/2024). Mereka menggelar orasi dan menyampaikan sanggahan atas pernyataan BP Batam tersebut.
“Kalau mereka terus memaksa berarti mereka membunuh kami nelayan,” kata M Aris Ketua RT Sembulang Hulu Pulau Rempang yang ikut dalam barisan orasi.
Menurut Aris, jika pelabuhan skala besar itu dibangun di kampung nelayan meskipun nelayan sudah direlokasi hal itu bukanlah solusi. Laut yang menjadi tempat nelayan mencari makan sehari-hari tetap akan rusak karena lalu-lalang kapal industri.
- Advertisement -
“Kalau sudah dibangun, jangankan cari makan, lewat saja (kapal nelayan) tidak bisa. Itu sudah pasti,” katanya menjelaskan ketika kampung nelayan berubah jadi pelabuhan industri.
Apalagi pemerintah merelokasi nelayan ke Kampung Tanjung Banon yang lautnya seperti sungai, dengan kondisi berlumpur dan tidak memiliki ikan.
“Kami ini orang laut, sejak SD saya sudah kerja di laut. Jadi laut menghidupkan kami, menyekolahkan kami, ladang saya dilaut, kalau dibikin (pelabuhan) begitu, seperti saya katakan tadi membunuh nelayan,” tegasnya.
Begitu juga dengan warga yang berkebun atau bertani di Rempang. Meskipun diberikan tanah 500 meter persegi kata Aris, tidak bisa untuk bertani. “Sama saja, itu membunuh petani,” katanya.
Baca : Warga Rempang Alami Kekerasan, Komnas HAM: Kedepankan Perlindungan Warga
Masyarakat Pulau Rempang menggelar aksi merespon pernyataan BP Batam, mereka juga memasang spanduk berukuran besar, bertuliskan tolak PSN Rempang Eco City, Rabu 4 Desember 2024. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia
Begitu juga dikatakan Yudi, tetua warga Rempang yang sudah puluhan tahun menjadi nelayan di laut Kampung Sembulang, Pulau Rempang. Di lokasi itu akan dibangun BP Batam pelabuhan skala besar untuk industri PSN Eco City.
Sejak umur 10 tahun Yudi sudah melaut di perairan Sembulang Pulau Rempang. Pria 63 tahun itu menyatakan keberatan dengan rencana BP Batam itu.
“Kalau sudah ada industri, nelayan sempit mencari ikan di laut. Ikannya (nanti) entah kemana, airnya sudah keruh,” katanya.
Warga asli kampung Sembulang Camping itu menegaskan saat ini hidup nelayan di Pulau Rempang sudah sejahtera. Dengan melaut Yudi bisa membiayai empat orang anaknya, bahkan satu diantaranya sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi. “Itu semua saya biayai dengan memancing, tidak ada bantuan dari siapapun,” katanya.
Tak terbayang bagi Yudi, ketika pemerintah mengubah kampung nelayan menjadi pelabuhan industri. Ia akan menangis.
“Kalau laut diapa-apakan pemerintah, mungkin saya menangis mancing di laut, karena ikan sudah tidak ada, air sudah tidak karuan lagi, kapal besar datang, jaring nelayan bisa rusak. Mau makan apa nanti anak cucu kami,” katanya.
Saat menjadi nelayan memang kata Yudi, penghasilan tidak menentu. Ia dalam sehari bisa dapat Rp400.000, terkadang Rp30.000. “Tetapi meskipun penghasilan tak menentu, Alhamdulillah selama ini kami bertahan hidup dari nelayan, memberikan makan anak dan istri,” kata dia.
Senada dengan Aris, bagi Yudi, kampung Tanjung Banon tidak memiliki potensi tangkapan nelayan tradisional. Meskipun begitu, hadirnya pelabuhan industri pasti akan berdampak kepada perairan sekitar, termasuk perairan Tanjung Banon yang jaraknya tidak begitu jauh dari pesisir Sembulang Hulu.
Wadi nelayan lainnya juga mengatakan hal yang sama, laut tempat nelayan mencari nafkah tidaklah luas. Jika menggunakan kapal hanya butuh satu jam perjalanan, setelah itu nelayan masuk laut Kota Tanjung Pinang. “Jadi ketika sudah dijadikan pelabuhan industri kemana nelayan harus mencari ikan lagi,” katanya.
Di laut Sembulang ini, lanjutnya, tak hanya menjadi lokasi fishing ground nelayan sekitar, tetapi juga nelayan di Pulau Rempang lainnya.
“Bahkan masyarakat kampung Tanjung Banon itu mencari ikan tempat kami, bagaimana ceritanya kami mau dipindahkan kesana (Tanjung Banon), laut kami dijadikan pelabuhan industri,” katanya.
Pasalnya memang daerah laut Sembulang memiliki karang yang luas. Nelayan bisa bekerja mencari nafkah menggunakan berbagai jenis alat tangkap, seperti pasang bubu, memancing, jaring hingga mencari cumi.
Baca juga : Mimpi Pengembangan Rempang Ecocity yang Mengancam Nelayan
Nelayan kecil di perairan Pulau Karas yang berdekatan dengan perairan Sembulang, Pulau Rempang, Batam. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia
Tanggapan Dinas Perikanan Batam
Kepala Dinas Perikanan Kota Batam Yudi Admajianto mengatakan tupoksi pihaknya di PSN Rempang Eco City saat ini memberikan bantuan ekonomi untuk nelayan yang sudah dipindahkan.
“Kalau kami memang mendukung program (PSN Rempang Eco City) untuk pemberdayaan sesuai kegiatan Dinas Perikanan. Kita membantu alat tangkap nelayan yang bergeser agar mereka bisa bertahan hidup,” katanya saat dihubungi Mongabay, Jumat (6/12/2024). Beberapa kali Yudi menegaskan mendukung PSN Eco City tersebut.
Selain memberikan bantuan alat tangkap, Dinas Perikanan juga akan melakukan pemberdayaan nelayan untuk beralih menjadi nelayan budidaya perikanan. “Untuk memberikan bantuan itu saat ini, kami sedang verifikasi masyarakat nelayan yang sudah pindah untuk pembentukan kelompok nelayan, agar bisa dapat bantuan alat tangkap,” katanya.
Namun Yudi belum bisa memastikan lokasi perairan tempat nelayan yang sudah direlokasi menangkap ikan. Saat ini kata Yudi masih melaut di Laut Sembulang Hulu pasalnya pembangunan belum jalan.
Ia juga membenarkan laut Tanjung Banon tidak berpotensi menjadi tempat nelayan mencari ikan. Yudi juga mengaku, belum dilibatkan secara teknis pembangunan kapan dilaksanakan dan wilayah terdampak dimana saja. “Karena memang lokasi relokasi warga ini keputusan BP Batam dan PT MEG, kami hanya pemberdayaan nelayan,” katanya.
Yudi juga membeberkan selama ini memang belum ada kajian khusus masalah perpindahan ekonomi nelayan yang menerima relokasi. Terutama lokasi perairan melaut alternatif nelayan yang terdampak pembangunan.
Hanya saja beberapa waktu belakangan penyuluh dari Dinas Perikanan yang turun ke lapangan untuk melakukan survei ke warga yang sudah menerima relokasi.
“Memang perlu penyesuaian dengan kebiasaan nelayan, kalau jadi pelabuhan besar, berdampak ke lingkungan, tetapi selain menangkap di laut, kan juga ada budidaya perikanan nanti yang akan kita kembangkan di Tanjung Banon (rumah relokasi nelayan),” katanya.
Untuk fishing ground nelayan itu, pihaknya juga akan duduk bersama dengan PT MEG, BP Batam dan juga pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Selain itu akan turun bersama tim penyuluh melakukan survei lapangan. “Untuk melihat alternatif dimana (nelayan melaut) selain (laut) Sembulang,” pungkasnya. (***)
Menimbang Penyelesaian Konflik Agraria di Proyek Rempang
Sumber: Mongabay.co.id