- Bencana hidrometerologi seperti banjir, dan longsor terjadi di berbagai daerah seperti di Sukabumi, Jaw Barat, musim basah tiba. Perlu pengetahuan tentang risiko dan evakuasi mandiri demi menyelamatkan masyarakat di area “langganan” bencana.
- Sebelumnya, BNPB sudah berkoordinasi soal mitigasi bencana dengan seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat. Hasilnya, ada 21 kabupaten dan kota yang menyatakan status darurat bencana. Meski begitu, implementasi kajian pada kebijakan dan tata ruang untuk mitigasi masih jadi tantangan. Ironisnya, ada beberapa daerah belum mengenal risiko kebencanaan di wilayahnya.
- Abdul Muhari, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menuturkan, sejak lama Jawa Barat menduduki peringkat pertama bencana di Indonesia termasuk Sukabumi dan Cianjur.
- Untuk mengurangi risiko bencana, pemerintah dan masyarakat harus menyadari tempat hidup mereka itu berada di kawasan rentan. Adaptasi juga kuncinya menciptakan wilayah tangguh.
- Advertisement -
Rahmat, warga Desa Citarik, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, sudah tiga hari tak membuka usaha pangkas rambutnya. Hujan deras mengguyur hampir sepekan menyebabkan banjir bandang di ibu kota Sukabumi itu.
“Ini musim hujan paling parah yang pernah terjadi,” kata pria 42 tahun ini kepada Mongabay Jumat (6/12/24).
Sebelum banjir bandang pada 3 Desember lalu, hujan tanpa reda selama tiga hari beturut-turut. Akibatnya, beberapa sungai yang bermuara ke pantai selatan itu meluber ke jalanan dan menerjang pemukiman warga serta fasilitas umum lain dengan membawa material lumpur.
Rata-rata ketinggian air 1-2 meter di hampir semua titik bencana. Dalam video amatir warga merekam arus deras hingga menghanyutkan mobil-mobil warga.
“Bahkan ada rumah yang hanyut ke laut,” katanya.
“Saya khawatir setelah melihat kondisi begini.”
Banjir bandang dan tanah longsor di Sukabumi menyebabkan kerusakan di 29 kecamatan dengan lima korban jiwa, dan tujuh orang masih dalam pencarian.
Bencana juga menyebabkan 589 rumah rusak, sebanyak 3.497 jiwa terdampak dan 1.400 orang mengungsi.
Kondisi diperburuk dengan akses jalan dan jembatan putus hingga menyulitkan proses evakuasi bencana. Pemerintah daerah telah menetapkan status tanggap darurat selama tujuh hari ke depan terhitung dari 4 Desember lalu.
Perahu nelayan di Pelabuhan Ratu terdampak banjir bandang yang membawa material . Foto: BNPB
Pengaruh siklon
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan peringatan dini terkait potensi cuaca ekstrem dan gelombang tinggi di sejumlah wilayah Indonesia dalam beberapa hari ke depan, khusus 6-8 Desember 2024.
Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, pemicu hujan deras adalah dampak bibit siklon tropis 91S di Samudra Hindia, sebelah barat daya Banten. Bibit siklon tropis ini diperkirakan memberikan dampak terhadap banjir dan longsor meluas di musim hujan.
Gejalanya meliputi hujan lebat disertai angin kencang dan petir di beberapa wilayah, termasuk Banten dan Jawa Barat. Kemudian, pada lapisan atmosfer sekitar 3.000 kaki, kecepatan angin dapat mencapai hingga 35 knot atau setara 65 kilometer per jam.
Kondisi ini, katanya, mampu meningkatkan pertumbuhan awan hujan di sekitar wilayah bibit siklon tropis, sepanjang daerah konvergensi/konfluensi itu.
“Kami mohon masyarakat tak menganggap remeh bibit siklon ini demi keselamatan bersama terhadap potensi cuaca ekstrem yang dapat terjadi kibat bibit siklon ini,” katanya dikutip dari laman resmi Kamis (5/12/24).
Hasil pengamatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi menyebutkan, Sukabumi masuk dalam zona kerentanan gerakan tanah menengah-tinggi. Jadi, daerah ini berpotensi terjadi gerakan tanah terutama ketika curah hujan di atas normal.
Oktory Prambada, Ketua Tim Gerakan Tanah PVMBG menjelaskan, banyak titik longsor berawal dari lerengan curam tergelincir. Struktur tanah yang tersusun dari unsur vulkanik itu tidak mampu menampung air.
“Penyebabnya banjir yang memicu longsor dimana-mana,” katanya.
Oktory mengatakan, Jawa Bagian Selatan, sudah teridentifikasi langganan gerakan tanah ketika peralihan musim. Hampir setiap tahun data rekomendasi kerentanan bencana dari Badan Geologi selalu diperbaharui dan diberikan kepada pemerintah daerah terkait.
Kalau dari riwayat bencana berdasarkan zonasi, tekanan risiko meningkat drastis, baik intensitas, frekuensi, sebaran, maupun kekuatannya. Lokasinya pun tak berubah, bahkan ada wilayah jadi langganan.
Bila dibandingkan bencana geologi seperti letusan gunung api dan gempa, murni karena faktor alam, ada jejak manusia yang berperan meningkatkan bencana hidrometeorologi.
Oktory juga tak memungkiri hal itu karena berkaitan dengan daya dukung lingkungan dan daya tampung sudah tak seimbang.
“Yang perlu disadari makin meningkatnya risiko, sisi lain kurang direspon dengan daya adaptasi.”
Kunjungan Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB Mayjen TNI Lukmansyah, bersama Pj. Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin, Plt. Kepala Pelaksana BPBD Jawa Barat Anne Hermadianne Adnan dan Kalaksa BPBD Kabupaten Sukabumi Deden Sumpena meninjau UPTD Puskesmas Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (5/12)/24. Foto: BNPB
Minim pemahaman
Abdul Muhari, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menuturkan, sejak lama Jawa Barat menduduki peringkat pertama bencana di Indonesia termasuk Sukabumi dan Cianjur. Meski begitu, tinggal di daerah dengan riwayat bencana tak berarti diikuti kesadaran meminimalkan dampak.
Untuk mengurangi risiko itu, kata Muhari, pemerintah dan masyarakat harus menyadari tempat hidup mereka itu berada di kawasan rawan. Adaptasi jadi kunci menciptakan wilayah tangguh.
“Kami selalu memberikan informasi peringatan dini. Memang terjadi setiap tahun tanpa ada perubahan dari sisi penggunaan lahan dan lansekap, dampaknya akan makin tinggi,” katanya.
Sebelumnya, BNPB sudah berkoordinasi soal mitigasi bencana dengan seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat. Hasilnya, ada 21 kabupaten dan kota yang menyatakan status darurat bencana.
Meski begitu, implementasi kajian pada kebijakan dan tata ruang untuk mitigasi masih jadi tantangan. Ironisnya, ada beberapa daerah belum mengenal risiko kebencanaan di wilayahnya.
“Setelah kami intervensi, rata-rata dari kejadian bencana, banyak pemerintah daerah tak tahu soal kerawanan bencana di wilayahnya,” kata Muhari.
Padahal, katanya, bencana merupakan urusan wajib layanan dasar sebagaimana dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 101/2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar.
BPNB juga merilis kajian risiko bencana (KRB) dan dokumen rencana penanggulangan bencana (RPB) sebagai rujukan bagi daerah.
“Sebetulnya dalam menghadapi bencana sudah banyak rujukan dan aturan tersedia, tinggal political will dari pemerintah daerah untuk memampukan daerahnya menghadapi bencana,” kata Muhari.
Dia ingatkan, pemerintah daerah lebih memperhatikan tata kelola lingkungan.
Selain itu, kekurangan informasi di masyarakat selaras dengan kondisi sosial mereka. Lantaran sudah sering mengalami bencana hingga menyimpulkan rasa aman berlebih. Alhasil, konstruksi sosial ini membuat penanganan bencana menjadi lebih rumit.
“Ini memungkinkan masyarakat tak mengambil langkah yang seharusnya. Karena kecenderungan sering mengalami, maka mengurangi daya kritis untuk menyelamatkan diri.”
Dia contohkan, warga yang meninggal jadi korban longsor. Sebelumnya, korban sudah mengamankan diri dengan pergi dari rumah. Karena merasa aman, kembali ke rumahnya.
Bencana di Sukabumi, memberi perspektif baru bahwa peningkatan partisipasi masyarakat tak bisa ditawar. Masyarakat di lokasi-lokasi rawan bencana tak bisa lagi hanya harap-harap cemas, tetapi perlu berperan aktif merespon ketika peralihan musim.
Pada 6 Desember lalu, Letjen TNI Suharyanto, Kepala BNPB memimpin langsung rapat koordinasi (rakor) penanganan darurat bencana di Sukabumi. Dia perintahkan segera aktivasi posko tanggap darurat bencana agar lebih mudah koordinasi dan fungsi komando berjalan. Foto: BNPB
Bagaimana penanganan?
Pada 6 Desember lalu, Letjen TNI Suharyanto, Kepala BNPB memimpin langsung rapat koordinasi (rakor) penanganan darurat bencana di Sukabumi. Dia perintahkan segera aktivasi posko tanggap darurat bencana agar lebih mudah koordinasi dan fungsi komando berjalan.
Setidaknya, kata Suharyanto, ada dua posko: posko utama di Pendopo Sukabumi dan posko taktis di Pelabuhan Ratu.
Dalam kondisi tanggap darurat, BNPB akan terus mendampingi pemerintah daerah dalam upaya percepatan penanganan. Apabila situasi mulai kondusif, katanya, lambat laun akan diserahterimakan kepada pemerintah daerah.
Dalam mengantisipasi bencana susulan, BNPB akan operasi modifikasi cuaca (OMC) di sekitar Sukabumi.
“Kami berupaya meminimalisir atau mengurangi debit hujan yang turun di Sukabumi dengan operasi modifikasi cuaca,” kata Suharyanto, dalam rilis BNPB.
Sementara Bey Machmudin, Penjabat Gubernur Jawa Barat ketika meninjau lokasi berupaya memperbaiki transpotasi baik jalan dan jembatan yang terputus. Pemerintah Jawa Barat menjamin pendistribusian logistik seperti makanan, minuman, dan pakaian berjalan ke daerah-daerah yang terisolasi.
Bagi rumah warga yang mengalami pergerakan tanah, dia minta PVMBG untuk analisis demi mengutamakan keselamatan warga.
Dia juga memerintahkan normalisasi di beberapa aliran sungai untuk mencegah banjir susulan.
BNPB mencatat, ada 1.880 bencana sepanjang 2024 sampai awal Desember 2024. Bencana banjir menjadi paling dominan dengan 938 kejadian.
*******
Pulau Ternate Paling Rentan Banjir Bandang, Wilayah Bencana akan Dikosongkan
Sumber: Mongabay.co.id