- Simpanse liar menunjukkan kemampuan budaya kumulatif, seperti mengembangkan alat yang lebih kompleks dari sebelumnya, meski berlangsung lebih lambat dibanding manusia
- Penelitian menunjukkan simpanse dengan alat paling canggih cenderung memiliki hubungan genetik yang erat, memperkuat peran sosial dalam evolusi teknologi.
- Simpanse betina yang bermigrasi membawa keterampilan baru ke kelompok lain, menyebarkan inovasi alat yang terus berkembang melalui pembelajaran sosial.
- Meski interaksi antar kelompok lebih sedikit dibanding manusia, simpanse berhasil menciptakan inovasi alat sederhana yang efisien, seperti spons daun dan lumut.
Simpanse tak henti-hentinya mengejutkan kita. Bukan hanya mampu menggunakan alat, primata cerdas ini juga menunjukkan peningkatan dalam kecanggihan alat yang mereka gunakan dari waktu ke waktu. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa simpanse tidak hanya mewarisi keterampilan dari kelompoknya, tetapi juga memperbaiki dan meningkatkannya dari generasi ke generasi. Fenomena ini disebut dengan cumulative culture atau budaya kumulatif, yang memperlihatkan bahwa beberapa komunitas simpanse menjadi lebih maju secara teknologi (penggunaan alat), meskipun dalam laju yang sangat lambat jika dibandingkan manusia.
Penelitian sebelumnya yang diterbitkan di PLOS Biology menemukan bahwa simpanse terus belajar dan menyempurnakan keterampilannya hingga dewasa. Kini, penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengetahuan ini diwariskan dan dikembangkan sepanjang generasi, menciptakan akumulasi inovasi yang menakjubkan.
Baca Juga: Kera dan Manusia Berbagi Bahasa yang Sama
Penyebaran Budaya yang Terungkap Saat Betina Migrasi
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bagaimana simpanse betina yang bermigrasi memainkan peran penting dalam penyebaran budaya dan pewarisan keterampilan antar generasi. Simpanse betina muda sering meninggalkan kelompok asalnya untuk bergabung dengan kelompok lain setelah mencapai usia reproduksi. Saat bermigrasi, betina tersebut membawa keterampilan dan pengetahuan budaya yang diperoleh di kelompok asalnya ke komunitas baru. Andrew Whiten dari University of St. Andrews menjelaskan bahwa perpindahan ini serupa dengan penyebaran genetik. “Jika simpanse membawa pengetahuan budaya yang tidak dimiliki komunitas barunya, mereka dapat menyebarkannya, sama seperti mereka menyebarkan gen,” ujarnya.
Beberapa simpanse ditemukan menggunakan spons lumut dibandingkan daun untuk menyerap air dari lubang mineral | Foto oleh Cat Hobaiter
Migrasi simpanse betina menjadi salah satu faktor penting dalam mempercepat penyebaran dan pengembangan alat antar generasi. Proses ini memungkinkan komunitas baru mengadopsi dan menyempurnakan teknik yang sebelumnya tidak dikenal. Misalnya, sebuah komunitas yang awalnya hanya menggunakan alat sederhana untuk berburu rayap dapat mempelajari teknik yang lebih kompleks, seperti menggunakan kombinasi alat penggali dan kuas. Teknik ini melibatkan tongkat untuk menggali sarang rayap dan kuas yang dibuat dengan menggigit batang tanaman untuk mengekstrak rayap lebih efisien. Proses pembelajaran lintas kelompok ini menjadi dasar dari perkembangan teknologi yang lambat namun signifikan pada simpanse.
Budaya Kumulatif yang Dibuktikan melalui Genetik
Penelitian yang dipimpin Cassandra Gunasekaram dari University of Zurich ini menggunakan pendekatan genetik untuk memahami penyebaran budaya simpanse. Timnya menganalisis data dari 240 simpanse yang mencakup empat subspesies, dikumpulkan dari 35 lokasi penelitian di Afrika. Data ini mencakup informasi tentang penggunaan alat oleh simpanse serta hubungan genetik mereka selama 15.000 tahun terakhir. Analisis genetik ini memberikan “mesin waktu” yang memungkinkan para ilmuwan melacak bagaimana budaya berkembang di antara komunitas simpanse.
- Advertisement -
Simpanse menggunakan alat untuk menggali makanan dari batang pohon. Oleh Liran Samuni, Taï Chimpanzee Project (CC BY 4.0)
Hasilnya menunjukkan bahwa simpanse yang menggunakan alat paling kompleks memiliki kesamaan DNA lebih besar dibandingkan simpanse yang menggunakan alat sederhana atau tidak menggunakan alat sama sekali. Menariknya, alat-alat kompleks ini lebih sering dikaitkan dengan migrasi betina. Fakta ini mendukung gagasan bahwa alat-alat tersebut merupakan hasil evolusi teknik sederhana yang kemudian ditransmisikan melalui interaksi sosial lintas kelompok dan diwariskan turun-temurun.
Baca Juga: Suara Simpanse dan Manusia Sama dalam Perkara Ini
Simpanse semakin handal menggunakan alat seiring waktu
Simpanse memang telah lama dikenal karena kemampuan mereka menggunakan alat untuk memudahkan aktivitas sehari-hari. Namun, penelitian ini memberikan hal baru tentang bagaimana alat-alat tersebut menjadi lebih kompleks dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, beberapa simpanse ditemukan menggunakan spons lumut dibandingkan daun untuk menyerap air dari lubang mineral. Teknik ini tidak lebih kompleks dari segi struktur, tetapi lebih efisien dibandingkan metode sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa budaya kumulatif pada simpanse tidak selalu mengenai membuat alat yang lebih rumit, melainkan juga memperbaiki cara penggunaan alat agar jadi lebih efektif.
Spons lumut (kanan) adalah inovasi baru yang pertama kali diamati pada 2011 dan menyebar melalui pembelajaran sosial. Oleh Noémie
Alasan Mengapa budaya kumulatif jauh lebih lambat daripada manusia
Meskipun temuan ini menunjukkan kecerdasan simpanse yang mengagumkan, namun budaya kumulatif mereka sebenarnya berkembang jauh lebih lambat dibandingkan manusia. Salah satu alasan utama adalah perbedaan kemampuan kognitif dan komunikasi. Tidak seperti manusia, simpanse tidak memiliki bahasa verbal yang memungkinkan mereka menjelaskan teknik atau ide secara langsung. Alhasil, penyebaran budaya bergantung sepenuhnya pada observasi dan imitasi.
Simpanse juga memiliki tingkat interaksi yang jauh lebih rendah dengan komunitas lain dibandingkan manusia. Interaksi lintas kelompok yang jarang ini membatasi peluang untuk berbagi pengetahuan dan keterampilan. Faktor lain adalah sifat alat-alat simpanse yang sering terbuat dari bahan alami, seperti kayu atau tanaman, yang mudah terurai. Hal ini membuat sulit bagi para ilmuwan untuk melacak jejak perkembangan budaya mereka secara arkeologis.
Sumber: Mongabay.co.id