- Desakan intensifikasi perkebunan sawit terus menguat melihat praktik di dalam negeri cenderung perluasan lahan alias ekspansi. Hasil kajian terbaru menunjukkan luas perkebunan sawit sudah melewati ambang batas yang memperhitungkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
- Giorgio Budi Indrarto, Deputi Direktur Madani Berkelanjutan, menyebut, pemerintah tidak berfokus pada peningkatan produktivitas malah ekspansi. Padahal, kalau ekstensifikasi akan menimbulkan masalah lingkungan baru.
- Kebun sawit di Indonesia, versi Mapbiomas, menunjukkan luas 17.767.966 hektar pada 2022, sementara riset David Gaveau pada 2019 16.263.490 hektar. Sawit Watch mencatat, luasan perkebunan sawit berdasarkan izin yang sudah keluar mencapai 25 juta hektar.
- Hasil riset Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Madani berkelanjutan, Satya Bumi, dan Sawit Watch menunjukkan, batas atas sawit berdasarkan daya tampung lingkungan hanya sampai angka 18,15 juta hektar. Secara perizinan, luasan sawit sudah lewat batas.
- Advertisement -
Desakan setop ekspansi dan lakukan intensifikasi perkebunan sawit terus menguat melihat praktik di dalam negeri cenderung perluasan lahan. Hasil kajian terbaru menunjukkan luas perkebunan sawit sudah melewati ambang batas yang memperhitungkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Kebun sawit di Indonesia, versi Mapbiomas, menunjukkan luas 17.767.966 hektar pada 2022, sementara riset David Gaveau pada 2019 16.263.490 hektar. Sawit Watch mencatat, luasan perkebunan sawit berdasarkan izin yang sudah keluar mencapai 25 juta hektar.
Sementara, hasil riset Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Madani berkelanjutan, Satya Bumi, dan Sawit Watch menunjukkan, batas atas sawit berdasarkan daya tampung lingkungan hanya sampai angka 18,15 juta hektar.
“Secara perizinan, (luas kebun sawit) ini sudah luber,” kata Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, saat peluncuran belum lama ini.
Batas atas sawit ini memperhitungkan beragam faktor, mulai dari kebutuhan manusia di suatu pulau dan bagaimana kesesuaian fisik pulau jika ditanami sawit menggunakan pemodelan kalkulator jejak ekologis yang terdiri dari 14 variabel pembatas.
Sebanyak 14 variabel itu terdiri dari ketersediaan air, kesatuan hidrologis gambut (KHG), karst, mangrove, kawasan konservasi dan hutan lindung, hutan alam, resapan air, dan kelerengan > 30%. Juga kerawanan bencana, habitat satwa dilindungi, key biodiversity area, jasa lingkungan hidup tinggi, maupun keberadaan penduduk.
Dalam riset, kesesuaian fisik lahan sawit untuk menentukan batas atas baru bisa dihitung jika tidak tumpang tindih dengan variabel-variabel itu.
Seorang petani sawit sedang memanen tandan buah sawit di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Foto : Transparansi Internasional Indonesia
Angka 18,15 juta hektar temuan Koalisi Masyarakat Sipil ini menunjukkan perlu ada rem bagi ekspansi perkebunan sawit.
Indonesia harus bisa menyontek Malaysia yang sudah menerapkan batas atas perkebunan sawit di negara mereka. “Mereka (Malaysia) lihat harus ada keseimbangan. Jangan sampai gantungkan ke satu komoditas,” kata Rambo.
Kalau pemerintah ngotot membuka lahan baru lebih dari 18 juta hektar atau melewati batas atas, maka banyak masalah akan bermunculan. Mulai dari masalah lingkungan, ekonomi dan sosial.
Di kebun sawit yang sudah eksis saja, konflik antara masyarakat dengan perkebunan sawit kerap terjadi. Catatan Sawit Watch, ada 1.106 komunitas berkonflik dengan 322 perusahaan sawit.
Masih belum ada mekanisme penyelesaian konflik agraria yang efektif berpotensi memperburuk catatan ini. Apalagi, katanya, pemerintah masih berupaya membuka lahan untuk memenuhi biofuel yang digadang-gadang mencapai B100.
“Cukup sudah 18 (juta hektar) saja. Kalau dilewatin akan ada dampak lingkungan, ekonomi, serta sosial,” ucap Rambo.
Giorgio Budi Indrarto, Deputi Direktur Madani Berkelanjutan, menyebut, pemerintah tidak berfokus pada peningkatan produktivitas malah ekspansi. Padahal, kalau ekstensifikasi akan menimbulkan masalah lingkungan baru.
Kajian Madani Berkelanjutan dan Forest Watch Indonesia menunjukkan 3,9 juta hektar lahan gambut untuk perkebunan sawit berpotensi melepaskan 11,5 juta ton karbon per tahun.
Jojo menyebut, ada 3.991.644 hektar sawit di lahan gambut.
Mengikuti batas atas yang dihitung masyarakat sipil ini, kata Jojo sebagai jalan tengah.
“Ini supaya adil. Supaya tidak rusak,” kata Jojo.
Begini kondisi lahan yang dibuka PT SPS di Kota Subulussalam, Aceh, untuk dijadikan kebun sawit. Foto diambil pada Rabu, 12 Juni 2024. Foto drone:: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Benahi tata kelola dan komitmen
Penelitian ini harus jadi pemicu pemerintah segera membenahi tata kelola sawit. Salah satunya, dengan menerapkan intensifikasi yang selama ini seakan sulit industri sawit lakukan.
Padahal, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sudah ada pedoman penerapan intensifikasi yang baik, termasuk bagaimana pembenihan yang mampu mendorong produktivitas.
“Kalau soal teknologi, sudah sangat mumpuni. Yang tadinya dua tahun dari penanaman baru bisa panen, sekarang cukup 1,5 tahun,” kata Jojo.
“Masalahnya, ada di duit untuk intensifikasi, peremajaan dan penyebaran bibit malah dipakai buat yang lain lagi.”
Bola panas berada di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), katanya, yang terlalu banyak menggelontorkan uang ke subsidi biodiesel. Kajian Satya Bumi bahkan menyebut, 79% dana BPDPKS buat 12 perusahaan biodiesel.
“Padahal kalau dari Perpres BPDPKS, kewajiban mereka salah satunya percepat intensifikasi perkebunan sawit,” ucap Sayyidatihayaa Afra.
Sisi lain, ada 11% petani memiliki tanah di bawah 25 hektar yang sangat membutuhkan dana peremajaan dari BPDPKS.
Aya, panggilan akrabnya, mengatakan, kondisi mereka berbeda dari perusahaan besar yang bisa intensifikasi dengan mandiri.
Rambo juga soroti soal intensifikasi. Menurut dia, syarat peremajaan sawit petani swadaya yang terlalu rumit bisa pemerintah benahi supaya intensifikasi petani swadaya bisa optimal.
“Pembenahan legalitas petani ini merupakan kewajiban pemerintah. Pemerintah harus jemput bola,” kata Rambo.
Di lapangan, petani aktif memberikan data supaya peremajaan bisa jalan. Sayangnya, tidak ada keseriusan pemerintah untuk membantu ini berjalan mulus.
Sedangkan intensifikasi di kalangan perusahaan pun komitmen pemerintah dipertanyakan. Pasalnya, tidak pernah ada evaluasi Inpres Moratorium Sawit 2018. Padahal, semangat dari regulasi ini untuk meningkatkan produktivitas sektor sawit.
“(Pemerintah) tidak serius. Kita tidak tahu apa hasil evaluasi Inpres itu,” ucap Rambo.
Padahal, katanya, paling gampang dengan memberikan baseline produktivitas sawit yang baik di daerah-daerah penghasil. Dengan demikian, hasil panen bisa termonitor dan cocok dengan baseline untuk mengetahui seberapa produktif praktik sawitnya.
“Kalau ada baseline gampang lihatnya. Jangan hanya bilang produktivitas sekian ton tapi tidak bisa kita ukur apakah mereka sudah menjalankan intensifikasi.”
Ekosistem hutan rawa gambut, air tawar, hutan mangrove, dan rivarian menjadi penopang utama seluruh kehidupan di kawasan SM Rawa Singkil. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
******
Dirambah untuk Kebun Sawit, Ancaman Serius Suaka Margasatwa Rawa Singkil
Sumber: Mongabay.co.id