- Penelitian terbaru Adi dan kolega [2024], mengkonfirmasi bahwa aktivitas penambangan timah, khususnya di laut yang diperkirakan mulai bergeliat sejak 2000-an, berkorelasi kuat dengan rusaknya padang lamun di Kepulauan Bangka Belitung.
- Di wilayah Bakit [Teluk Kelabat Luar], satu dari lima lokasi penelitian, dan wilayah yang terdampak tinggi aktivitas penambangan timah, terlihat penurunan habitat padang lamun mencapai 912,06 hektar atau 41,46 hektar per tahun, selama kurun waktu 22 tahun [2000-2022].
- Tidak hanya padang lamun, aktivitas penambangan timah di laut sejauh ini telah berkontribusi terhadap kerusakan mangrove dan terumbu karang, yang merupakan bagian penting dari ekosistem pesisir.
- Para peneliti merekomendasikan adanya tindakan pengelolaan dan konservasi yang mendesak, guna memastikan keberlanjutan ekosistem lamun atau ekosistem laut secara keseluruhan.
Lamun merupakan tumbuhan berbunga [Angiospermae] yang dapat hidup di bawah air [laut]. Bersama mangrove dan terumbu karang, mereka menjadi bagian penting dalam ekosistem pesisir yang berfungsi sebagai habitat, perlindungan, pembibitan hingga reproduksi bagi beragam organisme laut dan ikan yang telah menghidupi jutaan manusia.
Di Kepulauan Bangka Belitung, yang memiliki luas laut sekitar 6,5 juta hektar atau hampir 80 persen dari luas total wilayahnya, padang lamun tersebar hampir di seluruh pesisir Pulau Belitung serta di pesisir timur Pulau Bangka, dengan luasan sekitar 11.646,90 hektar [Babel, 2023].
Namun, luasan ini telah jauh berkurang tahun 2016 yaitu 44.050,37 hektar [Babel, 2016]. Apa penyebabnya?
Penelitian terbaru mengkonfirmasi bahwa aktivitas penambangan timah, khususnya di laut yang diperkirakan mulai bergeliat sejak tahun 2000-an, berkorelasi kuat dengan rusaknya padang lamun di Kepulauan Bangka Belitung.
Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2000 dan Sentinel L2A tahun 2022, digunakan para peneliti untuk mengevaluasi luas habitat lamun. Tahun 2000 menjadi acuan, yang menggambarkan periode sebelum aktivitas penambangan timah meningkat secara signifikan.
- Advertisement -
“Analisis kami mengungkapkan bahwa padang lamun dekat lokasi penambangan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah dan penurunan habitat signifikan [82,79 persen] selama dua dekade terakhir [2000-2022],” tulis penelitian Adi dan kolega [2024], yang dipublikasikan di jurnal Marine Pollution Bulletin, dalam situs ScienceDirect, Volume 209, edisi Desember 2024.
Selain itu, Nilai SEQI [Indeks Kualitas Ekologi Lamun] lebih rendah. Dengan kata lain, kesehatan ekosistem lamun terpengaruh secara negatif di wilayah yang terkena dampak penambangan timah.
Sementara Total Suspended Solid [TSS] juga tercatat lebih tinggi dekat operasi penambangan. TSS merupakan indikator fisik dampak penambangan timah, yang secara merugikan mempengaruhi kondisi ekologis padang lamun dengan meningkatkan kekeruhan air dan mengganggu fotosintesis lamun.
“Analisis kami menunjukkan bahwa TSS secara signifikan berkorelasi dengan hilangnya area lamun di wilayah dekat lokasi penambangan, mungkin karena dampaknya pada fotosintesis,” tulis para peneliti.
Baca: Kapal Isap Produksi di Perairan Matras Merusak Laut dan Terumbu Karang?
Lamun yang tersisa di sekitar Pulau Gelasa, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Kesimpulan tersebut diperoleh setelah para peneliti mengumpulkan data dari lima lokasi, yakni tiga di Pulau Bangka [Bakit, Tanjung Kerasak, dan Tukak], serta dua di Pulau Belitung [Pegantungan dan Tanjung Kelayang].
Lokasi pengambilan sampel dipilih karena mewakili berbagai tingkat dampak penambangan timah terhadap lingkungan sekitar, yakni Bakit [Tinggi], Tanjung Kerasak [Sedang], Tukak [Sedang], Pegantungan [Rendah], dan Tanjung Kelayang [Rendah].
Dari lima lokasi tersebut, Bakit [Teluk Kelabat Luar] menjadi wilayah paling terdampak dengan penurunan habitat padang lamun mencapai 912,06 hektar atau 41,46 hektar per tahun, selama kurun waktu 22 tahun [dari 2000 hingga 2022].
Sedangkan di posisi kedua ada wilayah Tukak [Kabupaten Bangka Selatan], yang kehilangan padang lamun seluas 193,27 hektar atau 8,78 hektar per tahun. Selanjutnya wilayah Pegantungan [75,69 hektar] atau 3,44 hektar per tahun. Wilayah Tanjung Kelayang [10,15 hektar] atau 0,46 hektar per tahun. Terakhir, wilayah Tanjung Kerasak [5,97 hektar] atau 0,27 hektar per tahun.
“Studi ini menggarisbawahi dampak buruk penambangan timah pada padang lamun, mendesak regulasi yang ketat, rehabilitasi, dan pemantauan berkelanjutan untuk keberlanjutan,” tulis para peneliti.
Baca: Perairan Pulau Gelasa, “Lumbung Cumi” di Pulau Bangka yang Harus Dilindungi
Terumbu karang yang sekarat akibat tertutup sedimentasi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Tidak hanya Lamun
Berdasarkan analisis Walhi Kepulauan Bangka Belitung, luas izin usaha pertambangan [IUP] di Kepulauan Bangka Belitung hampir mencapai satu juta hektar [951.854.625 hektar]. Luasan ini terbagi di darat [349.653.574 hektar] dan laut [566.201,08 hektar].
Menurut Ahamd Subhan Hafiz, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung, aktivitas penambangan timah, khususnya di pesisir-laut, tidak hanya merusak padang lamun, juga terumbu karang dan mangrove.
“Ekosistem pesisir laut di Kepulauan Bangka Belitung saat ini menuju keruntuhan. Ribuan masyarakat pesisir, khususnya para nelayan terdampak, terus dijebak dalam konflik berkepanjangan,” katanya, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [23/11/2024].
Terumbu karang yang tahun 2015 pernah mencapai 82.259,84 hektar, hanya tersisa 17.744,85 hektar pada tahun 2017 [Babel, 2023]. Sementara mangrove, pada 2017 luasnya tercatat mencapai 273.692,81 hektar. Namun, pada tahun 2022, hanya tersisa 39.882 hektar [2022], atau hilang sekitar 230.000 hektar.
“Degradasi mangrove dan terumbu karang tersebut sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas industri tambak udang, dan utamanya aktivitas penambangan timah yang belum menujukkan tanda-tanda untuk berhenti,” kata Hafiz.
Baca: Kawasan Konservasi Laut Pulau Bangka, Harapan Ditengah Dominasi Tambang Timah
Bintang laut dan lamun di sekitar Pulau Semujur, Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung, yang tertutup sedimentasi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Berdasarkan penelitian Pamungkas & Husrin [2020] yang melakukan pemodelan sebaran sedimen tersuspensi dampak penambangan timah di Perairan Bangka, sebaran Total Suspended Solid [TSS] dari aktivitas penambangan timah berkisar antara 0-25 mg/L, dan tersebar pada radius [~16 mil/25 kilometer dari lokasi penambangan timah].
“Berdasarkan hasil pemodelan, diketahui bahwa tailing akibat aktivitas pertambangan akan menyebabkan penyebaran TSS yang terus meluas sepanjang waktu,” tulis penelitian tersebut.
Hasil penelitian juga memperlihatkan bawah selama 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan, sebaran TSS terlihat secara konsisten menumpuk di sekitar Perairan Perlang dan Batu Beriga. Setelah 1 tahun, TSS semakin menyebar hingga Perairan Toboali dan Selat Bangka.
“Setelah 3 sampai 6 bulan, banyak wilayah perairan Bangka yang sudah melewati baku mutu air laut [BMAL] akibat penyebaran TSS akibat tailing penambangan timah lepas pantai. Kondisi ini menunjukkan bahwa tailing penambangan timah lepas pantai akan mempengaruhi perairan tersebut dan dapat terbawa ke perairan lain di sekitarnya,” tulis penelitian tersebut.
Menurut Hafiz, sudah saatnya Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung fokus pada upaya pemulihan lingkungan.
“Adanya kasus korupsi yang merugikan negara hingga 300 triliun Rupiah, seharusnya menjadi momentum bersama, khususnya pemerintah untuk fokus pada agenda pemulihan lingkungan,” tegas Hafiz.
Baca juga: Ternyata, Dugong Memiliki Jenis Makanan Favorit
Lokasi penelitian yang mewakili berbagai tingkat dampak penambangan timah terhadap lingkungan sekitar. Sumber: Penelitian Adi dan kolega [2024]
Rekomendasi Peneliti
Adi dan kolega [2024], merekomendasikan adanya tindakan pengelolaan dan konservasi yang mendesak, guna memastikan keberlanjutan ekosistem lamun dan layanan ekosistemnya, sebagai berikut:
- Strategi pemulihan dan pengelolaan di Bangka Belitung harus mengutamakan pengurangan TSS. Seperti yang diamati di sistem lamun lainnya (Schmidt et al., 2019], kekeruhan air memegang peranan penting dalam ketahanan lamun. Saat ini, kapal-kapal penambangan timah membuang tailing dari proses pemilahan langsung ke perairan, sehingga mengakibatkan tingginya kadar TSS dan meningkatnya kekeruhan. Ada kebutuhan mendesak untuk pengembangan teknologi dan praktik baru yang meminimalkan jejak lingkungan dari operasi penambangan timah, khususnya dalam kekeruhan air.
- Saat ini, telah banyak regulasi yang ditetapkan untuk melindungi lingkungan dari dampak penambangan timah, antara lain rencana dan jaminan reklamasi, izin lingkungan, dan izin lokasi penambangan [Hariansah dan Handini, 2021 ; Haryadi et al., 2022]. Namun demikian, regulasi tersebut perlu dioptimalkan pada tataran implementasi dan penegakan regulasi yang lebih ketat diperlukan untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut.
- Keanekaragaman spesies dalam padang rumput ini menunjukkan potensi adaptasi terhadap tekanan lingkungan, yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pemulihan dan keberlanjutan [Fourqurean et al., 2010; Strydom et al., 2020]. Restorasi lamun mungkin tidak dilakukan secara optimal di daerah dengan penambangan timah aktif karena kondisi air yang keruh. Transplantasi dan perbanyakan lamun harus diarahkan ke daerah konservasi dan kemudian direlokasi ke lokasi yang rusak setelah aktivitas penambangan timah berhenti di daerah tersebut.
- Pendekatan multidisiplin yang melibatkan tata kelola lokal, keterlibatan masyarakat, dan penelitian ilmiah sangatlah penting. Rekomendasi kebijakan harus berfokus pada regulasi lingkungan yang ketat untuk kegiatan pertambangan, program rehabilitasi padang lamun yang terdegradasi, dan pemantauan berkelanjutan terhadap indeks kesehatan lamun untuk melacak kemajuan pemulihan [Hernawan et al., 2021; Sjafrie et al., 2022].
Limbah aktivitas penambangan timah laut yang meningkatkan kekeruhan laut terus mengancam ekositem pesisir di Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Upaya konservasi ekosistem lamun di Bangka Belitung memerlukan strategi multidimensi yang melibatkan regulasi, penegakan hukum, edukasi dan penyadaran publik, serta pemantauan ilmiah yang berkelanjutan.
“Pendekatan ini penting tidak hanya untuk pemulihan dan ketahanan padang lamun, tetapi juga untuk memperkaya kesejahteraan ekosistem laut secara keseluruhan di wilayah tersebut,” tegas para peneliti.
Referensi:
Adi, W., Hartoko, A., Purnomo, P. W., Supratman, O., Pringgenies, D., & Hernawan, U. E. (2024). Ecological condition of seagrass meadows around sea-based tin mining activities in the waters of Bangka Belitung Islands, Indonesia. Marine Pollution Bulletin, 209, 117151. https://doi.org/10.1016/j.marpolbul.2024.117151
Babel, D. (2016). Dokumen Informasi Kinerja Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Babel, D. (2023). Dokumen Informasi Kinerja Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. https://dlhk.babelprov.go.id/content/buku-ii-dok-utama-dikplhd-babel-2023-0
Pamungkas, A., & Husrin, S. (2020). Pemodelan Sebaran Sedimen Tersuspensi Dampak Penambangan Timah Di Perairan Bangka. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, 12(2), 353–368. https://doi.org/10.29244/jitkt.v12i2.27875
Laut Batu Beriga, Harapan Nelayan Pulau Bangka Mencari Ikan
Sumber: Mongabay.co.id