- Setahun setelah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut diterbitkan pada Mei 2023, keran ekspor untuk pasir laut akhirnya resmi dibuka pada akhir Agustus 2024
- Kebijakan tersebut mendapatkan penolakan dari berbagai pihak sejak awal disahkan regulasi itu. Namun, pemerintah tak gentar untuk tetap maju memproses pembukaan kembali kegiatan ekspor pasir laut yang telah dilarang selama 20 tahun lebih
- Namun, setelah dibuka lagi kegiatan ekspor, dampak buruk mulai muncul dan diprediksi akan terus bermunculan di masa depan. Salah satunya, adalah pencurian pasir laut oleh dua kapal asing berbendera Singapura yang ditangkap saat sedang beroperasi di perairan Kepulauan Riau
- Degradasi ekosistem pesisir dan ancaman penurunan produktivitas sumber daya perikanan dan kelautan menjadi salah dua dari banyak dampak negatif yang akan bermunculan ketika penambangan pasir laut sudah ramai dilaksanakan di Indonesia
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut menjadi peraturan yang memicu pro dan kontra di paruh akhir pemerintahan Joko Widodo sebagai Presiden RI. Kebijakan tersebut menjadi awal legalisasi kegiatan penambangan pasir laut di Indonesia.
Perbedaan cara pandang terhadap regulasi yang sudah terbit sejak 15 Mei 2023 itu semakin memuncak pada 2024, setelah Kementerian Perdagangan menerbitkan aturan yang mengesahkan kegiatan ekspor pasir laut kembali dibuka.
Aturan tersebut, adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 tahun 2023 tentang Barang Yang Dilarang Untuk Diekspor, dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Salah satu dampak yang muncul setelah aturan turunan diberlakukan, adalah munculnya dugaan pencurian pasir laut di wilayah perairan Indonesia. Kegiatan ilegal itu muncul, diduga kuat karena permintaan terhadap pasir laut meningkat signifikan.
Kapal yang melakukan pencurian itu sudah ditangkap oleh kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 9 Oktober 2024. Pelaku yang beraksi di perairan Kepulauan Riau itu terdiri dari dua kapal, yaitu MV Yang Cheng 6 dan MV Zhou Shun 9.
Kedua kapal berbendera Singapura itu ditangkap secara terpisah di perairan Batam dan Karimun, Kepulauan Riau. Saat beraksi, kapal MV Yang Cheng mampu mengambil pasir laut hingga 10.000 meter kubik (m3) hanya dalam waktu sembilan jam saja.
- Advertisement -
KKP menyebutkan, saat dilakukan pemeriksaan, kapal MV Yang Cheng 6 berukuran 8012 gros ton (GT) dan MV Zhou Sun 9 berukuran 8559 GT. Keduanya terindikasi melakukan penambangan pasir laut di wilayah Indonesia tidak sesuai dengan aturan dan ketentuan.
Baca : KKP Lepas Dua Kapal Asing Pencuri Pasir Laut di Batam, Apa yang Terjadi?
Aktivitas penambangan pasir laut di Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Foto : independensi.com
Direktur Program Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Imam Trihatmadja mengaku prihatin karena kedua kapal bisa wara wiri di perairan Indonesia tanpa memiliki dokumen kapal yang resmi dan diduga melakukan kegiatan pengambilan pasir laut tanpa izin di wilayah perairan Indonesia.
Meski berhasil ditangkap oleh KKP pada 10 Oktober 2024, namun dia menduga kalau kegiatan yang dilakukan kedua kapal sudah dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Kegiatan ilegal tersebut juga diduga tidak ada tindakan tegas dari otoritas keamanan laut Indonesia.
“Sinergi pengawasan laut di Kepulauan Riau belum optimal sehingga nampak jika kita kebobolan,” ungkapnya belum lama ini di Jakarta.
Dia mendesak agar KKP bisa menindaklanjuti kasus tersebut dengan cepat dan mengumumkannya kepada publik. Cara itu harus dilakukan, karena dugaan pencurian pasir laut di Kepulauan Riau oleh kapal asing sudah berlangsung lama.
“Tapi upaya dan tindakan hukum dari instansi penegak hukum di laut sangat minim dilakukan,” tambahnya.
Keanekaragaman Hayati
Rektor Institut Teknologi Kelautan (ITK) Buton, Sulawesi Tenggara La Sara mengungkapkan kalau ada dampak negatif dari pemanfaatan pasir laut. Paling utama, adalah dampak ekologis sumber daya perikanan yang bisa memicu kerusakan pada ekosistem terumbu karang, lamun, dan mangrove.
Dampak negatif berikutnya, adalah penurunan stok dan keanekaragaman hayati. Rinciannya adalah ketika pasir diekstraksi dari dasar laut, itu akan menyebabkan kehancuran terumbu karang dan ekosistem lainnya yang berdampak langsung pada keanekaragaman hayati laut.
Jika itu terjadi, maka bisa memicu kepunahan spesies lokal dan spesies berumur panjang. Juga ada dominasi spesies yang bisa memicu stabilitas ekosistem, yang akan mengganggu produktivitas perairan rendah. Akhirnya, nelayan terdampak karena tidak mendapatkan tangkapan ikan.
Berikutnya, ancaman juga akan menerpa masa depan perikanan Indonesia karena menjadi sumber kehidupan jutaan masyarakat pesisir. Selain itu, penambangan pasir laut juga akan mengancam kesehatan ekosistem laut yang berdampak pada penurunan produktivitas dan keanekaragaman hayati.
“Sekitar 2,7 juta bekerja pada perikanan laut yang umumnya sebagai nelayan skala kecil,” terang Wakil Ketua Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas Kajiskan) itu.
Baca juga : Warga Was-was Ekspor Pasir Laut Perparah Abrasi Pantura Jawa
Ilustrasi. Penyemprotan pasir di pesisir pantai hasil dari penambangan pasir laut. Foto : David Martin via geograph.org.uk / Creative Commons Licence
Dia memaparkan bahwa proyeksi pertumbuhan perikanan tangkap ditetapkan tahunan sebesar 2,1 persen untuk perioder 2012-2030. Berdasarkan data KKP, selama lima tahun terakhir rerata total hasil tangkapan mencapai 7 juta metrik ton/tahun, dengan nilai sekitar Rp140 triliun.
Adapun, penurunan stok dan keanekaragaman hayati mengancam kerang-kerangan (shells), cacing (worms), bintang laut (starfish), dan ikan (fish). Ancaman itu ada, karena aktivitas pemanfaatan pasir laut dilakukan dengan cara mengisap oleh kapal penyedot pasir.
Penambangan juga akan memicu kehancuran habitat pengasuhan ikan (nursery ground) untuk spesies komersial ikan sebelah (flatfish), seperti ikan Sole dan Plaice yang hidup di dasar perairan Laut Utara, sehingga stok ikan tersebut terancam dan populasi menurun drastis.
Dampak negatif dari penambangan pasir laut, juga akan dirasakan secara langsung oleh nelayan disebabkan hasil tangkapan mengalami penurunan. Sejumlah contoh kasus dampak yang timbul dialami nelayan di Kepulauan Riau dan Teluk Jakarta.
“Tindakan bijaksana pada kebijakan penambangan dan ekspor pasir laut ini adalah peraturan ini dicabut, sambil merestorasi lingkungan yang sudah rusak dan memberdayakan kembali masyarakat yang terpapar selama ini,” pungkasnya.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah Sutrisno Anggoro menjelaskan tentang sedimen di laut yang disebutnya sebagai material alami (anorganik dan organik) berupa pasir dan lumpur yang terbentuk oleh proses pelapukan dan erosi, yang terdistribusi oleh dinamika oseanografi dan terendapkan.
Adapun, sedimen laut dalam merupakan produk dari tiga proses, meliputi resedimentasi lereng dasar yang didorong gravitasi, aktivitas arus dasar sepanjang lereng, dan pengendapan pelagis ke arah bentis. Pasir laut sendiri adalah salah satu komponen anorganik sedimen laut dengan ukuran butiran 0,063-2 milimeter (mm).
Pria dengan kepakaran pada sumber daya perairan itu menyimpulkan bahwa pengelolaan hasil sedimentasi di pesisir dan laut harus sejalan dengan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu (PWPLT). Tujuannya, agaar bisa mendorong perekonomian berkelanjutan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Juga, menjamin kelestarian fungsi dan jasa ekosistem, serta memperkuat ketahanan menghadapi bencana alam,” terangnya.
Baca juga : Polemik Penambangan Pasir Laut Merusak Lingkungan, Begini Kata KKP
Penambang pasir laut rakyat di sekitaran Pulau Babi, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepri, Minggu, 24 Maret 2024. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia
Kemudian, pemanfaatan sedimentasi laut juga harus mengacu pada daya dukung, daya tampung, dan penyehatan lingkungan laut. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dan kajian mendalam yang komprehensif terkait penerapan PP 26/ 2023.
Terakhir, Sutrisno Anggoro menyimpulkan kalau nilai ekonomi tidak boleh hanya ditinjau dari nilai jual pasir laut melalui ekspor. Namun, tetapi perlu dilihat dengan pembersihan hasil sedimentasi di laut untuk memperbaiki daya dukung dan kesehatan laut yang terdegradasi.
“Selanjutnya akan memperlancar aktivitas nelayan dan pembudi daya ikan, serta memperbaiki kualitas lingkungan perairan, terumbu karang dan mangrove,” pungkasnya.
Ekosistem Pesisir
Kesimpulan bahwa pemanfaatan sedimentasi laut akan berdampak negatif, juga diungkapkan Guru Besar FPIK IPB University Yonvitner. Akan muncul dua dampak dari kegiatan penambangan pasir laut di Indonesia, yaitu dampak langsung dan tidak langsung.
Menurut Pakar Ilmu Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut itu, dampak langsung akan muncul melalui kerusakan ekosistem pesisir seperti hilangnya ekosistem mangrove yang diakibatkan abrasi dan perubahan struktur pantai, serta hilangnya fungsi mangrove untuk penyedia bibit dan buah mangrove.
Dampak langsung berikut yang bisa muncul akibat penambangan pasir laut, adalah hilangnya ekosistem lamun, dan hilangnya ekosistem terumbu karang yang bisa menghilangkan produktivitas ikan yang disebabkan karena biomassa mengalami penurunan.
Kemudian, penambangan pasir laut juga bisa berdampak hilang dan turunnya fungsi sebagai habitat ikan, utamanya ikan bentik. Terakhir, dampak langsung juga akan muncul karena sampai sekarang belum ada perhitungan rinci tentang biaya pemulihan kualitas air.
Selain dampak langsung, penambangan pasir laut juga akan berdampak tidak langsung karena akan memicu terlepasnya karbon dalam sedimen perairan yang telat disedimentasikan dengan potensi rerata 13,9 ton/hektare.
Kemudian, dampak tidak langsung juga ada karena besarnya biaya perlindungan pantai akibat abrasi, hilangnya peran rantai makanan (foodweb) yang menopang biomassa ikan sebesar 1,03 ton per ha per tahun.
Terakhir, dampak tidak langsung adalah belum dihitungnya fungsi lain, seperti gangguan terhadap kebersihan pantai, terganggunya aktivitas wisata perairan karena kekeruhan, dan bagaimana mengatur iklim di perairan.
Melihat fakta dan hasil riset yang sudah ada, Yonvitner mengusulkan agar sebelum pemanfaatan sedimentasi laut bisa dilakukan lebih dulu dilakukan penghitungan neraca pendapatan dan kerugian setiap lokasi pengerukan yang sudah ditetapkan. Tentu saja, disesuaikan dengan kondisi masing-masing.
Baca juga : Ekspor Pasir Laut: Ancam Ekosistem dan Masyarakat, untuk Kepentingan Siapa?
Penambangan pasir laut di wilayah tangkap ikan nelayan di perairan Copong Kepulauan Spermonde, Makassar, Sulsel oleh Kapal Queens of The Netherlands milik PT Royal Boskalis mengakibatkan air keruh dan nelayan sulit mendapatkan ikan, terutama ikan Tenggiri. Foto : WALHI
Berdasarkan studi yang sudah ada, nilai yang akan dihasilkan dari pemanfaatan pasir laut hanya mencapai seperlima dari biaya yang diperlukan untuk melaksanakan perbaikan ekosistem, sosial, dan lingkungan.
“Estimasi nilai yang diterima dengan potensi kerugian yang dapat terjadi secara langsung mencapai 91 dari 100, yang memperlihatkan potensi kerugian lebih tinggi (belum memasukan) dampak tidak langsung,” papar dia.
Akan tetapi, walau ada dampak yang negatif, dia mengungkapkan kalau pemanfaatan sedimen bisa tetap dilakukan sebagai tindakan yang penting dan darurat. Jika itu terjadi, maka produksi harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
Merujuk pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Sedimentasi di laut, dia menyebutkan lokasi izin perencanaan sedimen ditetapkan pada tujuh lokasi di lima provinsi.
Rinciannya, di Kabupaten Demak (Provinsi Jawa Tengah); Kota Surabaya (Jawa Timur); Kab Cirebon, Indramayu, Karawang (Jawa Barat); Kab Kutai Kartangera (Kalimantan Timur); dan Kab Karimun (Kepulauan Riau).
Di antara kebutuhan pasir laut, adalah untuk kegiatan reklamasi pesisir di dalam negeri. Menurut Yonvitner, kebutuhan tersebut tidak menjadi masalah untuk dipenuhi dari penambangan pasir laut, namun dengan syarat pemenuhan menjadi mutlak harus dilakukan lebih dulu.
“Jika aktivitas reklamasi di dalam negeri selesai, maka wacana ekspor (bisa) dibuka,” terangnya.
Dia menekankan hal tersebut, karena tidak ingin menyaksikan kegiatan ekspor pasir laut didasarkan pada pertimbangan kecukupan untuk di dalam negeri. Tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah kegiatan reklamasi tidak berjalan di Indonesia, dan itu menjadi klaim sepihak bahwa kebutuhan pasir laut sudah terpenuh untuk reklamasi.
“Sehingga kesanya stok berlebih, padahal usaha di dalam negeri belum berjalan,” tambahnya.
Penekanan itu diungkapkan, karena dia melihat bahwa desain perbaikan dan rehabilitasi yang ada di Indonesia sampai sekarang baru sebatas normatif semata. Sementara, seharusnya dilakukan prediksi dengan model dan desain sekaligus untuk semua lokasi penambangan pasir laut yang sudah ditetapkan.
Yonvitner juga mengingatkan, jika pasir laut sudah dijual untuk di dalam atau luar negeri, maka pendapatan dari penjualan sedimen tersebut harus mencantumkan dana untuk rehabilitasi sebagai bagian dari substitusi.
“Pemetaan terhadap masyarakat peran dan manfaat di lokasi tertunjuk harus dijelaskan, supaya tidak memicu persoalan sosial di kemudian hari,” pungkasnya. (***)
Kontroversi Ekspor Pasir Laut: Ancaman Lingkungan atau Peluang Ekonomi?
Sumber: Mongabay.co.id