- Kawasan Segara Anakan pernah menjadi panen kepiting bakau favorit nelayan
- Setelah perkembangan waktu terutama dalam dua dekade terakhir, hasil tangkapan kepiting bakau semakin turun jumlahnya
- Para nelayan mengungkapkan turunnya jumlah tangkapan akibat makin berubahnya lingkungan di Segara Anakan
- Kini, sebagian nelayan yang sebelumnya sebagai nelayan tangkap mulai berubah haluan menjadi pembudidaya kepiting bakau
Sekitar dua dekade lalu, masyarakat Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) masih dimanjakan dengan kondisi alam. Salah satu buktinya adalah gampangnya mendapatkan kepiting bakau (Scylla serrata).
Tusiman, 52, mengaku dalam sehari bisa memperoleh hingga 20 kilogram (kg) pada saat musim panen kepiting bakau. Padahal dia hanya mencari di kawasan mangrove di Segara Anakan di sekitar Kampung Laut. “Untuk mendapatkan kepiting sangat mudah. Setiap nelayan bisa memperoleh hingga 20 kilogram pada saat musim panen kepiting. Jumlah tersebut cukup banyak jika dibandingkan dengan saat sekarang,” kata Tursiman pada Selasa (19/11/2024).
Ia mengungkapkan hasil tangkapan kepiting bakau mengalami penurunan drastis. Bahkan, jika tidak musim panen, nelayan hanya mendapatkan 1-2 ekor saja. Itupun tidak setiap hari bisa menangkap. Karena penangkapan hanya bisa dilakukan pada saat air pasang.
“Pada musim panen saja, kami hanya bisa menangkap sekitar 1-2 kg kepiting bakau. Kalau dibandingkan dengan tahun 2000-an, sudah sangat menurun jumlah hasil tangkapan. Sehingga banyak nelayan yang mengeluhkan kondisi ini. Mungkin saja karena hutan mangrove rusak dan semakin dangkalnya Segara Anakan. Banyak titik yang dulu jadi wilayah tangkapan, saat sekarang sudah dangkal dan menjadi daratan,” ungkapnya.
Sedangkan Suwarno, 54, yang dulunya sebagai pengepul kepiting bakau, sekarang sudah ditinggalkannya. Sebab, hasil tangkapan sudah tidak sebanyak dulu. “Tahun 2000-an, hasil kepiting masih bagus. Setiap harinya, saya bisa menerima sekitar 5-7 kuintal. Rata-rata nelayan bisa menangkap kepiting bakau belasan hingga puluhan kilogram,” katanya.
Menurutnya, perubahan lingkungan di Segara Anakan menjadi salah satu penyebab mengapa hasil tangkapan kepiting bakau semakin lama kian menurun. “Saya rasa hasil tangkapan menurun itu akibat berubahnya lingkungan. Perubahan itu terjadi setelah Segara Anakan semakin lama kian dangkal akibat sedimentasi. Sehingga semakin sulit memperoleh kepiting bakau,” jelasnya.
- Advertisement -
Dengan kondisi itu, banyak nelayan kepiting bakau yang kemudian berpindah mencari hasil tangkapan. “Misalnya sekarang mencari ikan atau udang. Jika dulu hanya mencari kepiting, tetapi sekarang apa saja ditangkap seperti ikan dan udang,” ujarnya.
Baca : Setelah Kepiting Dilepasliarkan di Segara Anakan, Amankah dari Tangkapan?
Kawasan mangrove dipertahankan di Segara Anakan, Cilacap. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia
Tokoh masyarakat Kecamatan Kampung Laut, Wahyono, merasakan betul bagaimana perubahan lingkungan yang ada di kawasan Segara Anakan. “Segara Anakan berubah sehingga mempengaruhi hasil tangkapan. Salah satu yang terpengaruh adalah hasil tangkapan. Perubahan lingkungan Segara Anakan terjadi akibat pendangkalan. Sedimentasi dari Sungai Citanduy dan Cimeneng membuat kawasan Segara Anakan menjadi dangkal. Bahkan di beberapa tempat sudah menjadi daratan. Inilah yang menyebabkan hasil tangkapan juga mengalami penurunan,” katanya.
Budi Daya Kepiting
Melihat kondisi itu, Wahyono kemudian berinisiatif untuk mengajak warga mengembangkan budidaya kepiting bakau. Ia yang memulai melaksanakan penghijauan mangrove sejak tahun 2000 silam merasa belum lengkap kalau tidak membawa masyarakat lebih sejahtera.
“Saya berpikir bahwa tidak hanya penghijauan mangrove saja yang terus digarap, namun kesejahteraan masyarakat perlu dipikirkan. Makanya, setelah melihat situasi di mana hasil tangkapan, salah satunya kepiting bakau turun, saya mulai mencoba membudidayakannya,” katanya.
Wahyono tidak mau hanya mengembangkan budidaya kepiting bakau murni. Ia ingin supaya ada unsur konservasinya. Oleh karena itu, yang kemudian dilakukan adalah pengembangan silvofishery. Apa itu? Silvofishery adalah sistem pertambakan tradisional yang menggabungkan penanaman mangrove dengan usaha perikanan. Cara ini bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan mangrove dan menciptakan habitat yang produktif.
“Konsep silvofishery yang kami praktikkan adalah 65 persen merehabilitasi mangrove, 35 persen adalah tambak. Jadi, misalnya 2 ha, maka 1,3 ha di antaranya berupa mangrove dan 0,7 ha tambak. Lokasi mangrove-nya berada di tengah dan tambaknya berada di pinggirannya,” jelasnya.
Dengan meletakkan mangrove di bagian tengahnya, maka hutannya akan lebih terjaga. Sejak awal, ia memang tidak ingin hanya murni tambak untuk budidaya kepiting bakau. “Berdasarkan pengalaman sebelum tahun 2000, ada pembudidayaan udang dengan membuka lahan mangrove. Hasilnya, ternyata banyak serangan hama dan akhirnya bubar. Mangrove juga rusak dan meninggalkan masalah,” katanya.
Baca juga : Merawat Mangrove Segara Anakan, Menuai Rezeki Perikanan
Tempat pembenihan kepiting bakau. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia
Kalau tidak ada mangrove maka tidak akan membentuk ekosistem yang baik. Apalagi, budi daya yang dikembangkan dilaksanakan secara tradisional. “Kami tidak mengembangkan budi daya secara intensif. Sehingga tidak ada pakan. Paling-paling, kami hanya memberi makan kepiting dengan ikan-ikan kecil. Hanya itu saja.”
Setelah berjalan sekitar satu tahun lebih, Wahyono mulai mendapatkan hasilnya. Dari sekitar 2 ha areal tambaknya, setiap pekan dirinya mampu memanen sekitar 30-50 kilogram. “Pembudidayaan kepiting bakau itu sebetulnya hanya pembesaran saja. Saya sebetulnya berusaha untuk mengembangbiakkan kepiting, namun sejauh ini masih belum terlalu berhasil. Biasanya dari telur, hanya beberapa yang bisa hidup. Sehingga, pada umumnya pembudidayaan kepiting bakau di sini masih sebatas pembesaran saja,” katanya.
Dia mengatakan silvofishery yang dikembangkan tidak hanya kepiting bakau saja, melainkan juga dengan ikan bandeng. Sehingga bisa untuk menambah pendapatan. “Untuk kepiting bakau, harga pasarannya sekarang mencapai Rp110 ribu untuk kepiting ukuran 2-2,5 ons per ekor. Sedangkan ukuran 3-5 ons per ekor, harganya mencapai Rp140 ribu per kg. Harga akan mengalami lonjakan pada hari raya terutama Imlek. Bahkan bisa menembus Rp300 ribu,”jelasnya.
Saat ini, lanjutnya, ia bersama dengan warga lainnya mengembangkan budidaya semacam itu. Konsepnya tetap sama yakni silvofishery.
Baca juga : Inovasi Budi daya Kepiting Bakau di Batam, Solusi Nelayan dari Kerusakan Pesisir
Kepiting bakau yang dibudidayakan di Segara Anakan, Cilacap. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia
Tidak hanya di Kampung Laut, masyarakat nelayan di Kelurahan Kutawaru, Kecamatan Cilacap Tengah melakukan langkah serupa. Nelayan setempat yang biasanya mencari kepiting sampai ke Kampung Laut juga mengaku semakin kesulitan memperoleh tangkapan.
Salah satu pembudidaya Lasno mengatakan sejak tahun 2021 lalu, ia mulai mengembangkan budidaya kepiting. Ia memiliki dua petak tambak kepiting. Yang satu ukurannya 25 x 30 meter dan satunya 25 x 15 meter. Kedua tambak menjadi tempat budidaya kepiting baik kepiting keras maupun yang lunak.
Menurutnya, dengan budidaya kepiting, ia dan istrinya mendapatkan hasil yang lumayan dari panen kepiting. Untuk kepiting lunak, hampir setiap hari panen. Misalnya saja, naburnya 30 kg, maka setiap hari bisa panen. Itu setelah menunggu sekitar 2 minggu. Karena untuk kepiting lunak, kita hanya menunggu ganti kulit saja. “Jadi hampir setiap hari ada panenan antara 0,5 kg hingga 1 kg. Untuk kepiting tulang lunak, saya menjual Rp125 ribu per kg,”jelas Lasno.
Sementara untuk kepiting kulit keras, setiap tahun dirinya panen rata rata selama tiga kali. Kepiting yang ditabur umurnya dua bulan dan setelah sekitar tiga bulan bisa panen.
Mereka adalah para nelayan yang kini tidak hanya menjadi nelayan tangkap saja, melainkan sudah mulai mengembangkan budidaya. Langkah itu karena keterpaksaan di saat terjadi perubahan lingkungan yang menurunkan hasil tangkapan. (***)
Kepiting dan Rajungan: Enak Rasanya, Unggulan Ekspor Indonesia, Bagaimana Keberlanjutannya?
Sumber: Mongabay.co.id