- Budaya dan lingkungan hidup jadi tema utama dalam gelaran Jakarta International Literary Festival (JILF) 2024 yang digagas Dewan Kesenian Jakarta. Tema lingkungan diambil pada festival tahun keempat yang akan berlangsung 27 November sampai 1 Desember ini karena bumi dalam keadaan genting.
- Anton Kurnia, Direktur JILF dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta mengatakan, fakta kerusakan lingkungan hidup terjadi karena berbagai hal, seperti industri ekstraktif. Dampaknya pun terasa di berbagai penjuru dunia, seperti global warming dan global boiling.
- M Aan Mansyur, Kurator JILF mengatakan, karya sastra jadi bagian tak terpisahkan dalam memperjuangkan dan mengadvokasi permasalahan lingkungan. Karya sastra, katanya, bergerak lewat bahasa dan tulisan untuk memberikan kesadaaran dan mengubah cara berpikir masyarakat.
- JILF x JakTent 2024 di Taman Ismail Marzuki ini berkolaborasi dengan banyak pihak dan menampilkan diskusi serta pameran yang berkaitan dengan tema itu. Antara lain, ada pameran media bekerja sama dengan National Geographic Indonesia, Mongabay Indonesia, dan Trend Asia. Ada bazar buku, forum penulis dalam 1O panel utama, peluncuran buku dan diskusi terkait tema, malam anugerah Sayembara Kritik Sastra.
- Advertisement -
Budaya dan lingkungan hidup jadi tema utama dalam gelaran Jakarta International Literary Festival (JILF) 2024 yang digagas Dewan Kesenian Jakarta. Tema lingkungan diambil pada festival tahun keempat yang akan berlangsung 27 November sampai 1 Desember ini karena bumi dalam keadaan genting.
Anton Kurnia, Direktur JILF dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta mengatakan, fakta kerusakan lingkungan hidup terjadi karena berbagai hal, seperti industri ekstraktif. Dampaknya pun terasa di berbagai penjuru dunia, seperti global warming dan global boiling.
“Jadi sudah makin panas dunia, perubahan iklim, kerusakan alam di mana-mana. Tidak hanya di Indonesia tapi secara global,” katanya dalam jumpa pers JILFxJakTent 2024 bertema F/ACTA, Words and Actions Aligned on Eco-Literature and Shared Culture, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Rabu, (27/11/24).
Keadaan lingkungan hidup di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Yang terjadi, alam, lingkungan dan budaya rusak dan tersingkirkan karena kepentingan kapitalistik dan kepentingan politik.
“Di Papua dan Kalimantan, misal, dirusak untuk kepentingan kapital. Jadi yang kita perhatikan sebenarnya tidak hanya ada genosida juga terjadi di dunia ini juga ada ekosida,” ucap Anton.
Anton bilang, JILF berkolaborasi dengan Jakarta Content Week (JakTent) ingin mempromosikan sastra, budaya dan keberlanjutan lingkungan.
Saat ini, manusia terperangkap di zaman kalabendu antroposen, sebuah era yang ditandai dampak manusia merusak bumi dan mengancam keberlanjutan lingkungan.
“Kita menyaksikan bagaimana sejumlah karya sastra bermunculan menawarkan alternatif sudut pandang tentang cara “menciptakan” dunia yang lebih baik di tengah situasi ini.” ujar Anton.
Berbagai aktivitas interaktif di booth Mongabay pada JILF 2024. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia
Anton berharap, isu lingkungan ini bisa jadi perbincangan bagi para narasumber dan tokoh yang hadir. Hingga dapat memberikan gagasan-gagasan baru dan penyadaran kepada masyarakat terkait cara pandang terhadap lingkungan hidup.
“Poinnya, bahwa ini masalah kita semua. Maka itu harus diaktivasi dengan kolaborasi. Itu semua menghubungkan satu dunia yang sama ketika dunia itu rusak.”
M Aan Mansyur, Kurator JILF mengatakan, karya sastra jadi bagian tak terpisahkan dalam memperjuangkan dan mengadvokasi permasalahan lingkungan. Karya sastra, katanya, bergerak lewat bahasa dan tulisan untuk memberikan kesadaaran dan mengubah cara berpikir masyarakat.
“Saya sebetulnya berharap karya sastra jadi bagian dari usaha kita untuk meng-address isu-isu seperti climate change, isu-isu perampasan lahan, isu-isu perusakan, bagaimana industri ekstraktif terus menerus gitu,” kata Aan.
Bukan hanya itu, karya sastra juga memberi refleksi tentang sebagai manusia bijak berlaku pada alam.
“Karya-karya sastra yang menyasar anak, kita lihat makin banyak sebetulnya usaha dan makin banyak penulis yang konsen melihat ini [masalah lingkungan hidup]. Saya kira, itu bagus ya. Kenalan sejak dini, bagaimana harusnya manusia, relasi manusia dengan alam itu terjadi,” kata Aan juga penulis dan penyair ini.
Aan mengatakan, karya sastra memiliki potensi besar dalam mengubah cara berpikir lebih kritis tentang hubungan antara manusia dengan alam. Seni, katanya, bisa jadi bagian untuk mencari ketenangan, inspirasi dan harapan, termasuk untuk keberlanjutan lingkungan.
Penulis Jepang terkemuka, Hiromi Kawakami, saat pembukaan JILF 2024 di Taman Ismail Marzuki, 27 November 2024. Foto: Richaldo Hariandja/Mongabay Indonesia
Berbagai agenda JILF x JakTent 2024
JILF x JakTent 2024 di Taman Ismail Marzuki ini berkolaborasi dengan banyak pihak dan menampilkan diskusi serta pameran yang berkaitan dengan tema itu. Antara lain, ada pameran media bekerja sama dengan National Geographic Indonesia, Mongabay Indonesia, dan Trend Asia.
Dalam pameran foto Mongabay berjudul “Faces of the Land: Delight and Despair” ini, menampilkan dua wajah dari kondisi alam di nusantara. Wajah alam yang tereksploitasi hingga menimbulkan berbagai masalah lingkungan hidup, sosial sampai kesehatan masyarakat. Dari hutan sampai lautan merana.
Di tengah berbagai masalah lingkungan hidup dan masyarakat terdampak di mana-mana di penjuru negeri, ternyata masih banyak praktik-praktik baik, inspiratif dan memberikan harapan kita temukan di negeri ini. Bagaimana kearifan masyarakat adat menjaga hutan, sekaligus tempat mereka menggantungkan hidup.
Kemudian, upaya-upaya masyarakat melindungi dan mengelola pesisir maupun laut dengan kearifan lokal. Alam negeri ini dari hutan, gunung, danau sampai keindahan bawah laut bisa lestari ketika memanfaatkan alam secara arif dan berkelanjutan.
Pada 29 November 2024 pukul 15.00-16.00 WIB, Mongabay juga mengadakan pemutaran film dan diskusi bertema “Mengapa Pernikahan Anak Masih Terjadi di Pesisir Jakarta?” (“Why Do Child Marriages Persist on Jakarta’s Coast?”) di Galeri Oesman Effendi, Taman Ismail Marzuki .
Mongabay juga ada berbagai kegiatan interaktif yang seru, sampai “Warung Lokal’ yang berkolaborasi dengan Kedai Jatam dan Walhi dengan berbagai produk dari masyarakat.
Pada JILF x JakTent 2024 juga ada bazar buku bekerja sama dengan IKAPI. Kemudian, forum penulis yang mengundang puluhan pembicara untuk mengisi 1O panel utama, peluncuran buku dan diskusi terkait tema, malam anugerah Sayembara Kritik Sastra yang bekerja sama dengan Kusala Sastra Khatulistiwa dan sejumlah komunitas sastra di Jakarta.
Dari JakTent, sejumlah stan pameran juga akan berpartisipasi, mulai dari German Stories yang menampilkan buku-buku Jerman dari berbagai genre, Arcanum Hobbies menampilkan ragam boardgame lokal, juga Jakarta Unesco City of Literature, Kota Salatiga, Mongabay Indonesia, NatGeo Indonesia dan TaCita.
Hiromi Kawakami, menandai pembukaan JILF x JakTent 2024 dengan wawasan puitis dan komentarnya tentang kritik ekologi, serta kisah pribadi yang menawarkan praktik berkelanjutan dalam dunia sastra.
Sebagai penulis Jepang terkemuka, Hiromi Kawakami dikenal karena narasi yang lembut dalam mengeksplorasi hubungan manusia, alam, dan keindahan kehidupan sehari-hari dari penggambaran tentang bencana gempa bumi dalam beberapa karyanya.
Selain Hiromi Kawakami, tokoh internasional lain yang hadir adalah penyair, penerjemah, dan akademisi Iran, Naghmeh Mostashar Nezami. Naghmeh terlibat aktif dalam komunitas budaya dan sastra Iran. Karya sastranya mencakup kumpulan puisi Jejak Cahaya (2000), Seteguk Apel (2002), Begitu Banyak Bintang di Langitmu, tetapi Tiada Rembulan (2004). Lalu, Seribu Empat Ratus Dua Puluh Tahun Setelah Dirimu (2006), dan Berapa Banyak Ruang yang Ada di Kopormu? (2018).
Seorang ibu mengajak anak balitanya melihat pameran Mongabay di JILF 2024. Pameran foto Mongabay mengajikan dua sisi negeri: sisi masalah lingkungan hidup dan sisi harapan. Indonesia banyak persoalan lingkungan, tetapi di sisi lain, banyak praktik-praktik masyarakat yang memberikan harapan, inspiratif dan aksi-aksi baik bagi bumi. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia
Hadir juga Isabel Fargo Cole, seorang penulis, translator dan editor. Sejak 2005, dia menerbitkan fiksi pendek dan esai dalam bahasa Jerman. Novel debutnya, Die grine Grenze (Edition Nautilus, 2017), dinominasikan untuk penghargaan Leipzig Book Fair: Novel keduanya, Das Gift der Biene (Edition Nautilus, 2019), terpilih untuk LiteraTour Nord 2019.
Pada 2022, Die Goldkuste. Eine Irfahrt muncul dalam seri penulisan alam “Naturkunden” di Matthes und Seitz. Pada 2023, dia menerima penghargaan Literaturpreis der A & A Kulturstiftung untuk karya prosanya.
Tak kalah menarik, sesi-sesi diskusi buku, pitching forum, translator forum yang mendiskusikan banyak topik, mulai dari sastra, arsitektur, kuliner sampai program professional khusus penerbit dan penerjemah yang diselenggarakan oleh JakTent. Menghadirkan pembicara -pembicara ahli seperti, Hilmar Farid, Fadty Rahman, Astrid Enricka, Priti Sharma, Kristian Cordero dan masih banyak yang lain.
Farwiza Farhan, aktivis lingkungan asal Aceh yang terpilih dalam daftar 100 Pemimpin Masa Depan oleh majalah TIME, dan penerima Magsaysay Award 2024, akan menutup JILF x JakTent tahun ini.
“Berharap, lewat festival ini dalam menciptakan ruang kritis melihat situasi lingkungan yang genting saat ini,” kata Aan.
******
Sumber: Mongabay.co.id