- Transisi energi dari fosil ke terbarukan seharusnya bisa jadi solusi atasi krisis iklim saat ini. Sayangnya, dalam praktik, transisi energi yang seharusnya mendorong perbaikan alam dan berkeadilan bagi masyarakat malah terjadi sebaliknya, satu contoh kendaraan listrik. Ambisi Pemerintah Indonesia jadi pemain utama penyedia bahan baku baterai dari nikel untuk kendaraan listrik justru memunculkan berbagai dampak di lapangan, seperti kehancuran hutan (deforestasi), pencemaran, pengusiran masyarakat adat, hingga korupsi. Untuk itu, harus ada pembenahan tata kelola industri nikel
- Bhima Yudhistra, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), bilang, pemerintah perlu menghentikan berbagai insentif fiskal di sektor ini. Pasalnya, industri ini sudah terlalu lama menerima privilege dari pemerintah. Seperti pembebasan pajak yang pada akhirnya memicu setok nikel di pasar global kelebihan pasokan menyebabkan harga jatuh. Lebih penting kalau cabut keistimewaan itu dan alihkan ke sektor lain yang lebih membutuhkan.
- Ariyanto Sangadji, peneliti Aksi Ekologi dan Emansispasi Rakyat (AEER) sepakat bahwa transisi energi menjadi salah satu cara atas krisis iklim. Masalahnya, proses transisi itu tidak berjalan adil dan benar.
- Eko Cahyono, peneliti Sayogjo Institute juga sosiolog pedesaan mengatakan, seharusnya, mengukur transisi energi dari hulu ke hilir. Dalam konteks penyediaan baterai kendaraan untuk menggantikan energi minyak misal, harus mulai dari penambangan material baterai itu, olah, hingga di pabrikan. Seluruh rantai pasok ini, harus bersih tanpa persoalan.
- Advertisement -
Transisi energi dari fosil ke terbarukan seharusnya bisa jadi solusi atasi krisis iklim saat ini. Sayangnya, dalam praktik, transisi energi yang seharusnya mendorong perbaikan alam dan berkeadilan bagi masyarakat malah terjadi sebaliknya, satu contoh kendaraan listrik. Ambisi Pemerintah Indonesia jadi pemain utama penyedia bahan baku baterai dari nikel untuk kendaraan listrik justru memunculkan berbagai dampak di lapangan, seperti kehancuran hutan (deforestasi), pencemaran, pengusiran masyarakat adat, hingga korupsi. Untuk itu, harus ada pembenahan tata kelola industri nikel.
Narasi hilirisasi nikel sebagai jalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat jauh panggang dari api. Di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng), meski tercatat sebagai salah satu daerah penghasil nikel terbesar di Indonesia, hingga 2023, angka kemiskinan tercatat mecapai 12,31%.
“Karena uang dari hasil hilirisasi itu hanya sebagian kecil yang dinikmati daerah, hanya sekitar 2,5% dari pajak yang dibayar. Sebagian besar justru mengalir ke Tiongkok atau Jakarta,” kata Bhima Yudhistra, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), kepada Mongabay, baru-baru ini.
Sebelumnya, bersama Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Celios melakukan penelitian untuk mengetahui dampak hilirasasi nikel di sejumlah provinsi di Indonesia. Selain Sulteng, studi juga di Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Maluku Utara (Malut). Hasilnya, narasi kesejahteraan, sebagaimana pemerintah koarkan tak pernah terwujud.
Bhima katakan, sangat penting bagi pemerintah segera membatasi ekspansi tambang nikel agar berbagai dampak buruk tak makin meluas.
“Bukan cuma tambangnya, tetapi industri pengolahan. Smelternya juga harus dibatasi. Terutama yang menggunakan teknologi RKEF.”
Penggunaan teknologi rotary klin electric furnace (RKEF) akan menghasilkan nikel dengan kadar rendah, yang sebagian besar untuk produk stainless steel, seperti sendok dan garpu, bukan untuk bahan baterai kendaraan listrik.
“Ini harus satu paket, karena kalau hanya tambangnya yang dibatasi, smelternya masih bisa impor dari Filipina.”
Mengutip katadata.co.id, hingga 2023, kapasitas smelter di Indonesia mencapai 3 juta ton, meningkat 15 kali lipat disbanding 2016 tercatat 200.000 ton. Demikian pula dengan produksi nikel, dari 199.000 pada 2016, melonjak drastis mencapai 1,8 juta ton pada 2023.
Bhima bilang, pemerintah perlu menghentikan berbagai insentif fiskal di sektor ini. Pasalnya, industri ini sudah terlalu lama menerima privilege dari pemerintah. Seperti pembebasan pajak yang pada akhirnya memicu setok nikel di pasar global kelebihan pasokan menyebabkan harga jatuh.
Protes Suku Tobelo Boeng Wasile Selatan atas aktivitas tambang nikel PT WBN dan PT IWIP di hutan adat Halmahera Timur. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia
Menurut Bhima, lebih penting kalau cabut keistimewaan itu dan alihkan ke sektor lain yang lebih membutuhkan. “Karena kualitas produk kita sangat rendah. Hanya 5% yang dipakai untuk bahan baterai kendaraan listrik, sisanya sendok dan garpu, tidak seperti tujuan semula untuk material baterai kendaraan listrik.”
Saat ini, pasar alami kelebihan setok nikel karena melambatnya permintaan kendaraan listrik. Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dia yakini akan melanjutkan tren itu dalam beberapa tahun ke depan. Melemahnya industri stainless steel di Tiongkok turut memperparah situasi itu.
Melihat berbagai dampak buruk dari industri nikel, Bhima pun mendorong pemerintah mulai mengembangkan industri daur ulang baterai kendaraan listrik. Peluang ini dia nilai lebih menguntungkan ketimbang terus berpikir membuka tambang baru dengan daya rusak begitu tinggi.
“Produk-produk bekas elektronik itu juga banyak mengandung mineral kritis yang bisa didaur ulang untuk bahan baterai. Catatannya, supply barangnya harus dari domestik dulu, karena kalau tidak nanti malah jadi sasaran sampah impor,” ujar Bhima.
Ariyanto Sangadji, peneliti Aksi Ekologi dan Emansispasi Rakyat (AEER) sepakat bahwa transisi energi menjadi salah satu cara atas krisis iklim. Masalahnya, proses transisi itu tidak berjalan adil dan benar. “Pemerintah yang tidak pernah konsisten,” katanya saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Salah satu bentuk inkonsistensi itu bisa terlihat pada kebijakan pemerintah soal PLTU captiva di kawasan-kawasan industri.
Ariyanto bilang, sebelumnya pemerintah menyatakan tidak lagi membangun pembangkit batubara. Nyatanya, pusat-pusat pengolahan nikel justru banyak PLTU berbahan fosil ini.
Berdasar perhitungan AEER, kapasitas PLTU itu mencapai 10 GW lebih yang sebagian dibiayai Tiongkok. “Itu bertentangan dengan statemen Presiden China yang menyatakan tidak lagi membiayai energi kotor di luar negeri. Ini kan kontradiktif,” katanya.
Dia pun mendorong pemerintah tidak lagi menambah smelter yang sudah cukup banyak. Dengan begitu, bisa menahan laju penggunaan energi berbahan fosil macam batubara. Kalau tidak, PLTU-PLTU batubara akan terus dibangun demi mendukung operasional smelter.
Ariyanto bilang, industri nikel di Indonesia sarat dengan persoalan. Mulai dari penggusuran dan pengabaian hak masyarakat adat, deforestasi, hingga penggunaan energi kotor dalam pengolahannya. Tak pelak, di pasar global, produk nikel Indonesia dikenal kotor dan berkualitas rendah.
Di Halmahera, Maluku Utara, tambang nikel kian mengancam eksistensi masyarakat Suku Tobelo Dalam karena ruang hidup mereka tergerus. Suku ini diperkirakan tersisa 300-500 jiwa. Padahal, sekitar dua dekade lalu, masih 2.000-an jiwa.
Ariyanto menyebut, hilirisasi tidak dengan penghormatan masyarakat adat sebagai bentuk genosida suku.
Dia pun mendorong pemerintah serius mengambil tindakan tegas terhadap proyek-proyek yang berpotensi merusak.
Kepada perusahaan-perusahaan nikel, katanya, harus lebih respek terhadap hak-hak masyarakat adat. Selama ini, kata Arianto, perusahaan-perusahaan ini terkesan abai dan tak peduli.
Kawasan tambang nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, menyebbakan pencemaran laut dan berdampak pada masyarakat sekitar. Foto: WALHI Sulsel.
Bagi Ariyanto, perlu membuka saluran bagi siapapun untuk menyampaikan komplain atau protes. Langkah ini, katanya, sangat penting mencegah konflik antara perusahaan dengan masyarakat. Juga untuk memastikan, kehadiran mereka dapat diterima dan tidak merugikan masyarakat.
“Perusahaan tidak hanya jadi pemicu timbulnya konflik, tetapi juga ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan protes atau komplain atas apa yang terjadi. Tidak seperti selama ini, tidak ada ruang sedikit pun bagi masyarakat adat untuk mendapat perlindungan.”
Penyediaan ruang komplain itu tak hanya di tingkat hulu, juga hilir, termasuk perusahaan-perusahaan dalam jaringan rantai pasok industri ini. Dengan begitu, pabrik pengguna akhir produk nikel Indonesia dapat memperoleh informasi utuh. “Ini untuk memastikan tidak ada komplain atau pelanggaran di seluruh rantai pasok nikel”
Senada dengan Bhima, Ariyanto pun sepakat dengan desakan pencabutan insentif pada sektor ini. Menurut dia, banyaknya insentif fiskal pemerintah mendorong pertumbuhan industri ini tanpa diimbangi standar lingkungan yang ketat.
Menurut Ariyanto, hilirisasi kebanggan pemerintah ini terbangun di atas penghisapan para pekerja, berbasis pada perampasan tanah penduduk, serta perusakan alam. “Kalau seperti itu, apa yang kita banggakan coba?”
Kajian Celios menyebutkan, hilirisasi nikel membawa dampak negatif terhadap sektor pertanian dan perikanan di daerah penghasil. Total kerugian di kedua sektor itu mencapai US$387,10 juta, setara Rp6 triliun dalam kurun 15 tahun. Karena itu, sangat penting memastikan pengolahan nikel dengan standar lingkungan yang ketat.
Kurangnya upaya pengendalian polusi udara karena proses pengolahan smelter dan PLTU captive juga meningkatkan risiko merkuri dan partikel beracun yang akhirnya mencemari lingkungan sekitar. Tanpa pengendalian udara yang tepat, sebanyak 1,2 juta penduduk akan terpapar NO2 dan SO2 dengan konsentrasi melebihi ambang batas harian. Selain itu, sebanyak 7 juta orang akan terpapar PM2 yang melebihi ambang batas harian.
Hasil analisa Celios menunjukkan, tingkat deposisi merkuri bisa mencapai 2,5 kali lipat dari ambang batas aman, yaitu 125mg/ha/tahun. Endapan partikel beracun ini bahkan dapat mencapai 80 kg/ha/tahun di daerah sekitar pusat peleburan yang mengindikasikan tingginya paparan di sekitar area pengolahan.
Kondisi Hutan di Akejira Perbatasan Halmahera Tengah dan Timur yang telah Gundul akibat aktivitas pertambangan nikel (1)
Hulu-hilir harus ‘clear’
Eko Cahyono, peneliti Sayogjo Institute juga sosiolog pedesaan mengatakan, sebenarnya kehadiran energi terbarukan bisa jadi jawaban dari penggunaan energi kotor berbahan fosil. Sayangnya, praktik di lapangan justru menjauhkan prinsip transisi energi itu sendiri.
Di Maluku Utara, tambang nikel yang disebut-sebut memasok material mineral transisi justru memunculkan banyak persoalan. “Tidak ada green-nya sama sekali. Tidak yang menunjukkan itu sebagai upaya mengurangi emisi, sama sekali tidak ada,” katanya kepada Mongabay, Selasa (19/11/24).
Seharusnya, mengukur transisi energi dari hulu ke hilir. Dalam konteks penyediaan baterai kendaraan untuk menggantikan energi minyak misal, harus mulai dari penambangan material baterai itu, olah, hingga di pabrikan. Seluruh rantai pasok ini, kata Eko, harus bersih tanpa persoalan.
Yang terjadi tidak demikian. Di hulu, penambangan nikel banyak memunculkan persoalan dari hancurkan ruang hidup, mengabaikan hak masyarakat adat, pencemaran, hingga menghabiskan kawasan hutan (deforestasi).
Jejak deforestasi itu terlihat dari kian bertambahnya dokumen izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk tambang nikel. Terutama di wilayah-wilayah yang menjadi penghasil nikel, seperti Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Tenggara (Sultra), Sulawesi Utara (Sulut), dan Maluku Utara (Malut).
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), pada 2017, tercatat ‘hanya’ ada 74 IPPKH yang pemerintah terbitkan dengan luas 31.752,2 hektar untuk keempat daerah itu.
Di tingkat hilir, ragam persoalan pun tak kalah peliknya. Menurut Eko, penggunaan energi batubara untuk mendukung operasional smelter menjauhkan hilirisasi dari prinsip transisi energi yang sebenarnya. Termasuk pula lemahnya standar keselamatan para pekerja, menambah daftar panjang persoalan hilirasasi nikel ini.
“Rangkaian persoalan ini kian mencerminkan kepentingan modal, korporasi ketimbang kepentingan transisi energi itu sendiri,” kata Eko.
Menurut dia, sulit diterima akal kalau proyek transisi energi justru banyak melanggar prinsip-prinsip transisi energi itu sendiri. Kondisi ini terjadi karena kebijakan pemerintah problematik.
“Orientasi kebijakan kita lebih banyak untuk melayani korporasi dan pasar global daripada rakyatnya sendiri. Tidak heran jika suara protes warga tidak pernah didengar.”
Bagi Eko, transisi energi adalah keharusan. Tetapi, katanya, berbagai pelanggaran dalam penyediaan material transisi itu juga tidak bisa dibiarkan begitu saja. Semua harus dengan standar lingkungan dan kemanusiaan yang ketat.
Protes bencana banjir dan longsor di halmahera yang diduga kuat tambang nikel dan industrinya jadi penyebab utama. Foto: Christ Belseran/Mongabay Indonesia
*******
Dampak Polusi di Kawasan Industri Nikel Morowali
Sumber: Mongabay.co.id