- Wilayah pesisir timur di Pulau Bangka yang menghadap Laut Natuna Utara [LNU], sejak lama menjadi target aktivitas penambangan timah.
- Batu Beriga merupakan satu dari sedikit wilayah laut yang belum tersentuh penambangan timah di sepanjang pesisir timur Pulau Bangka. Wilayah ini merupakan daerah perikanan paling produktif dan harapan nelayan di Kepulauan Bangka Belitung.
- Ditengah kasus korupsi timah, rencana penambangan timah di Laut Batu Beriga, terus bergulir. Hal ini tentunya dapat mengancam kehidupan nelayan.
- Selain itu, kawasan lindung pesisir serta kawasan konservasi Ketugar dan Perlang memiliki fungsi ekologi dan biologi penting bagi masyarakat.
Sebagian besar perairan di pesisir timur Pulau Bangka, yang menghadap Laut Natuna Utara [LNU], sejak lama menjadi target aktivitas penambangan timah.
Misalnya, perairan Deniang [Kabupaten Bangka], perairan di sepanjang Kota Sungailiat [Kabupaten Bangka], perairan Tanjung Gunung-Batu Belubang [Kabupaten Bangka Tengah], hingga perairan Toboali [Kabupaten Bangka Selatan].
Setelah pemerintahan Orde Baru, sejumlah konflik lahir di beberapa desa di wilayah tersebut. Seperti halnya masyarakat di sekitar Kelurahan Matras, Kabupaten Bangka, yang lebih tiga dekade berkonflik dengan kehadiran kapal keruk, kapal isap produksi [KIP], hingga ponton isap produksi [PIP].
“Kapal keruk pertama kali masuk sekitar 1970-an dan berlanjut hingga sekarang. Terumbu karang rusak, kami terpaksa melaut ke daerah lain. Apa yang perusahaan janjikan, entah itu perbaikan terumbu karang dan lainnya, tampak sia-sia dan tidak sebanding dengan kerusakan yang ditinggalkan,” kata Yaman, nelayan di Kelurahan Matras, Sungailiat, Kabupaten Bangka, pertengahan Maret 2024.
Menurut Joni Juhri, Ketua Kelompok Nelayan Batu Perahu, Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, aktivitas penambangan timah sudah dimulai sejak 1994-1995. Berlanjut 2014-2015 hingga 2020-2021, yang berujung pada protes besar-besaran masyarakat setempat.
- Advertisement -
“Meskipun penambangan tidak lagi beroperasi, namun dampaknya masih dirasakan hingga sekarang. Karang rusak. Pantai dipenuhi lumpur dan lubang, mengancam para pencari udang [bahan terasi]. Kami juga terpaksa melaut bermil hingga ke Selat Bangka, atau sekitaran Laut Batu Beriga,” katanya.
Baca: Kapal Isap Produksi di Perairan Matras Merusak Laut dan Terumbu Karang?
Potret limbah penambangan timah oleh ponton isap produksi yang diperkirakan dapat tersebar hingga harak 16 mil. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesa
Cecep, nelayan di Kelurahan Matras, yang sejak awal terlibat penolakan tambang timah di Laut Matras mengatakan, kesejahteraan yang ditawarkan pihak penambang, tidak semanis yang dibayangkan.
“Kami harus melaut di tengah kerusakan terumbu karang, yang sulit untuk dipulihkan,” katanya, pertengahan Juni 2024.
Berdasarkan kompilasi data Walhi Kepulauan Bangka Belitung, dalam Perda RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2020, di pesisir timur Pulau Bangka terdapat sekitar 229.000 hektar zona pertambangan, budidaya [46.122,5 hektar], industri maritim [47,1 hektar], pelabuhan [4.892,5 hektar], dan wisata [16.200,5 hektar].
Ahmad Subhan Hafiz, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung mengatakan, sudah banyak beban lingkungan yang ditanggung masyarakat di sepanjang pesisir timur Pulau Bangka.
“Setiap wilayah laut tersisa atau belum tersentuh pertambangan harus dijaga, karena merupakan harapan nelayan dan masyarakat pesisir,” jelasnya, Rabu [16/10/2024].
Sebagai informasi, berdasarkan analisis data Walhi Bangka Belitung, luas wilayah Izin Usaha Pertambangan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencapai 915.854.625 hektar. Terbagi di darat [349.653.574 hektar] dan laut [566.201,08 hektar].
Baca: Perairan Pulau Gelasa, “Lumbung Cumi” di Pulau Bangka yang Harus Dilindungi
Perairan Batu Beriga merupakan lumbung cumi dan ikan di Kepulaun Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Laut Batu Beriga Harapan Nelayan
Laut Batu Beriga adalah satu dari sedikit wilayah di pesisir timur Pulau Bangka yang terbebas aktivitas penambangan timah. Wilayah ini menjadi harapan nelayan di Pulau Bangka, Belitung, dan pulau-pulau kecil sekitar.
“Ada juga yang dari Pulau Jawa. Alhamdulillah, hasil ikan, cumi, hingga udang masih banyak jika dibandingkan laut yang sudah tersentuh penambangan,” kata Ismu Bay, nelayan di Dusun Tanjung Berikat, Desa Batu Beriga, Senin [15/10/2024].
Desa Batu Beriga terdiri tiga dusun, yakni Beriga, Tanjung Berikat, dan Melingai. Luasnya mencapai 10.873 hektar dengan jumlah penduduk 2.335 jiwa, yang sekitar 80 persen berprofesi sebagai nelayan.
Laut Desa Batu Beriga yang masuk Kecamatan Lubuk Besar, termasuk perairan paling produktif. Ini dikuatkan dengan posisi Lubuk Besar yang selalu masuk tiga besar, sebagai penghasil perikanan laut tertinggi, dari enam kecamatan di Kabupaten Bangka Tengah.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik [BPS] Kabupaten Bangka Tengah, pada 2019, Kecamatan Lubuk Besar menempati posisi kedua sebagai penghasil perikanan tertinggi [5.000 ton], satu tingkat di bawah Kecamatan Koba [10.000 ton].
Pada 2023, Kecamatan Pangkalan Baru berada di posisi teratas dengan jumlah tangkap mencapai 9.000 ton, disusul Kecamatan Koba [8.000 ton], dan Lubuk Besar [7.000 ton]. Jenis tangkapan unggulan di Kabupaten Bangka Tengah adalah ikan tembang, cumi, teri, selar, manyung, tenggiri, udang putih, udang windu, ikan parang, dan kerapu.
Ripani Gautama, Kepala Dusun II Lubuk Pabrik, Desa Lubuk Besar mengatakan, sebagian besar nelayan di Kecamatan Koba dan Lubuk Besar, banyak menggantungkan hasil tangkapan mereka di Laut Batu Beriga-Tj Berikat.
“Lautnya masih bagus, belum pernah ditambang timah. Bahkan, ada nelayan dari Kecamatan Pangkalan Baru [Batu Belubang dan Tanjung Gunung] mencari ikan di sana,” katanya, Rabu [16/10/2024].
Baca: Kawasan Konservasi Laut Pulau Bangka, Harapan Ditengah Dominasi Tambang Timah
Sejumlah jenis ikan hasil tangkapan nelayan di Desa Batu Beriga. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Menurut Cik Jali, tokoh adat sekaligus nelayan di Dusun Tanjung Berikat, sejumlah titik keranas atau lanskap terumbu karang yang dijadikan lokasi penangkapan ikan adalah karang teri, karang baru, karang bagan, karang senior, karang bulet, karang lubuk, dan karang tulung.
“Semua karang berada di sekeliling Pulau Gelasa, sebagian berjarak kurang dari 10 kilometer. Ada juga karang dekat pantai Tanjung Berikat, pesisir Desa Lubuk Besar, hingga karang bayang dekat Pulau Ketawai,” lanjutnya.
Namun, Laut Batu Beriga terancam aktivitas penambangan timah. Mengacu situs resmi Minerba One Map Indonesia, terdapat izin usaha pertambangan [IUP] PT Timah Tbk seluas 5.039 hektar di sekitar perairan Desa Batu Beriga. IUP diterbitkan tahun 2011 dan berakhir 2025.
Menurut Ismu Bay, sebelum IUP tersebut hadir, gelombang penolakan masyarakat Desa Batu Beriga terhadap penambangan timah telah berlangsung sejak 2006, berlanjut 2013, 2019, dan 2023.
“Semua upaya itu berhasil meredam penambangan di laut Desa Batu Beriga. Kami akan tetap menolak dan meminta pencabutan izin tersebut,” kata Ismu.
April 2024 lalu, masyarakat dari sejumlah desa terdampak, termasuk Desa Batu Beriga, bersama mahasiswa, dan Walhi Kepulauan Bangka Belitung mendesak pencabutan izin tersebut.
Saat itu, Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Safrizal ZA, mengatakan akan meminta pihak perusahaan agar jangan menambang di Batu Beriga, jika belum ada kesepakatan.
“Izin bukan saya yang mengeluarkan. Tapi, saya bisa bersurat ke kementerian agar ditinjau kembali. Kita kawal bersama,” terangnya, dikutip dari situs resmi Pemprov Babel.
Pada 9 Oktober 2024, PT Timah melakukan sosialiasi rencana penambangan di Desa Batu Beriga, yang sebelumnya dilakukan tahun 2023. Namun, tetap mendapat penolakan langsung masyarakat.
Selanjutnya, masyarakat melakukan audiensi ke DPRD Bangka Belitung pada 14 Oktober 2024. Sejumlah permasalahan dikemukakan, seperti tidak dilibatkannya masyarakat dalam penyusunan dokumen Analisis Dampak Lingkungan [AMDAL] dan masalah rencana zonasi wiayah pesisir dan pulau-pulau kecil [RZWP3K].
Baca: Kasus Korupsi Timah, Pegiat Lingkungan: Pemerintahan Jokowi Gagal Wujudkan Tata Kelola Pertambangan
Sebagian besar masyarakat Desa Batu Beriga menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Anggi Siahaan, Departement Head Corporate Communication PT Timah, mengatakan perusahaan telah memiliki perizinan lengkap untuk melakukan operasi di Laut Batu Beriga.
“Perusahaan juga telah memenuhi legalitas untuk melakukan operasi dan produksi di kawasan tersebut, sesuai ketentuan yang berlaku,” kata Anggi, melalui pesan tertulis, Kamis [17/10/2024].
Dikutip dari bangkapos.com, rencana penambangan ini akan menggunakan 65 unit ponton isap produksi [PIP] dengan perencanaan Life of Mine [LOM] selama tiga tahun.
“Perusahaan berkomitmen melaksanakan penambangan yang baik, menggunakan peralatan yang telah mendapatkan persetujuan Kementerian ESDM,” ujar Anggi.
Namun, dikutip dari wowbabel.com, panitia khusus [Pansus] yang dibentuk DPRD Bangka Belitung, meminta PT Timah menunda penambangan di Batu Beriga.
Ada tiga poin penting yang menjadi kesimpulan pansus. Pertama, penundaan operasional [penambangan]. Kedua, penyediaan data komprehensif PT Timah [rencana penambangan, program Corporate Social Responsibility/CSR, tata kelola lingkungan, program pemantauan, reklamasi, dan pasca-tng]. Ketiga, verifikasi lapangan terhadap data yang disampaikan PT Timah.
Menurut Ahmad Subhan Hafiz, kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga 300 triliun Rpiah, seharusnya menjadi refleksi bagi negara, khususnya PT Timah. Kasus tersebut menguatkan kegagalan pengelolaan penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung.
“Perusahaan seharusnya mengurusi wilayah IUP mereka yang ditambang secara ilegal, bukannya menambang di lokasi baru. Selain itu, ada ratusan ribu lahan kritis, terumbu karang, hingga belasan ribu kolong yang menunggu direklamasi,” paparnya.
Baca juga: Konflik Laut Natuna: Bakamla RI Berhasil Usir Coast Guard China, Bagaimana Selanjutnya?
Terumbu karang di proyek reklamasi PT Timah di sekitar perairan Air Antu yang berselimut sedimentasi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Mengancam Kawasan Lindung hingga Konservasi
Ahmad Subhan Hafiz mengatakan, rencana penambangan PT Timah tidak hanya mengancam hidup nelayan, tetapi juga kawasan lindung di pesisir pantai Batu Beriga.
Proses penyedotan pasir timah dan pembuangan limbah secara langsung, akan mengubah struktur sedimen di pesisir pantai.
“Hal ini dapat mengancam fungsi penting ekosistem mangrove dalam mitigasi perubahan ikim, juga mengancam sumber penghidupan masyarakat, khususnya para perempuan pencari udang dan kerang, serta memperparah abrasi dan erosi pantai,” kata Hafiz.
Berdasarkan penelitian Wibowo [2010], garis pantai Batu Beriga mundur sekitar satu meter per tahun dan terasa dalam 20 tahun terakhir. “Daerah erosi pada umumnya hampir merata, terutama dekat permukiman penduduk dan jalan raya.”
Pesisir pantai Batu Beriga juga berbatasan langsung dengan Perairan Perlang yang masuk Kawasan Konservasi Ketugar dan Perlang [11.358 hektar], dan terdiri lima area, yaitu Gusung Ketugar, Pulau Ketugar, Pulau Ketawai, Pulau Bebuar, dan Perairan Perlang.
Baca: Hutan Kerangas untuk Pulihkan Lahan Bekas Tambang Timah
Foto drone Laut Batu Beriga yang terancam penambangan timah. Foto: Ariadi Damara/Mongabay Indonesia
M. Rizza Muftiadi, dosen dan peneliti terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung mengatakan, kemungkinan besar sedimentasi atau limbah aktivitas penambangan dapat terbawa arus, sehingga mengancam kawasan konservasi.
“Limbah tambang timah juga dapat mengancam keanekaragaman hayati pada ekosistem terumbu karang. Karenanya, studi spesies biota laut di sekitar panambangan harus dilakukan secara rinci dan detil. Ini berkaitan dengan upaya reklamasi serta mengembalikan fungsi ekologi dan biologi kawasan terdampak,” katanya.
Berdasarkan penelitian Pamungkas & Husrin [2020] yang melakukan pemodelan sebaran sedimen tersuspensi dampak penambangan timah di Perairan Bangka, sebaran Total Suspended Solid [TSS] dari aktivitas penambangan timah berkisar 0-25 mg/L, dan tersebar pada radius [~16 mil/25 kilometer dari lokasi penambangan timah].
“Tailing akibat pertambangan akan menyebabkan penyebaran TSS meluas sepanjang waktu,” tulis penelitian tersebut.
Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa selama 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan, sebaran TSS secara konsisten menumpuk di sekitar Perairan Perlang dan Batu Beriga. Setelah 1 tahun, TSS menyebar hingga Perairan Toboali dan Selat Bangka.
“Setelah 3-6 bulan, banyak wilayah perairan Bangka yang melewati Baku Mutu Air Laut [BMAL] akibat penyebaran TSS. Kondisi ini menunjukkan, tailing penambangan timah lepas pantai akan mempengaruhi perairan tersebut dan dapat terbawa ke perairan sekitar,” tulis penelitian itu.
Rizza menambahkan, aktivitas penambangan timah di Laut Batu Beriga juga berpotensi mengancam terumbu karang di sekitar Pulau Gelasa yang memiliki nilai konservasi tinggi [NKT].
“Seperti biasanya, menimbulkan kerusakan ekosistem terumbu karang secara temporal hingga permanen,” tegasnya.
Referensi:
Pamungkas, A., & Husrin, S. (2020). Pemodelan Sebaran Sedimen Tersuspensi Dampak Penambangan Timah Di Perairan Bangka. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, 12(2), 353–368. https://doi.org/10.29244/jitkt.v12i2.27875
Wibowo, S. A. (2010). Studi Erosi Pantai Batu Beriga Pulau Bangka (Study Of Batu Beriga Beach Erosion, Bangka Island). Bandung. ITB Policymakers. Wembley. IPCC Plenary XVII. United Kingdom.
Tambang Timah yang “Melubangi” Jejak Rempah Nusantara di Pulau Bangka
Sumber: Mongabay.co.id