- Para eks transmigran Timor Timur yang tinggal di Desa Sumberklampok, Beleleng, Bali, sudah lebih 20 tahun berusaha mendapatkan hak tanah. Para perempuan aktif dan gigih mengupayakan itu, salah satu sosok penggeraknya, Luh Sumantri.
- Luh Sumantri, di usia 63 tahun, mesti agak sulit bergerak, badan bungkuk saat berjalan, tak menghalanginya tetap terlibat dalam berbagai pertemuan dan aksi menuntut hak lahan maupun membuat sarana ritual, serta beternak.
- Bagi Luh Sumantri, merawat kebudayaan, spiritualitas, dan beternak adalah bentuk perlawanan pada ketidakadilan akses lahan yang sudah para warga eks transmigran Timor-Timur perjuangkan lebih 20 tahun tetapi belum membuahkan hasil.
- Sebelumnya, para eks transmigran ini sudah membangun kehidupan baru di Timor Timur, tetapi Pemerintah Indonesia meminta mereka kembali ke Tanah Air. Setelah kembali, tak ada kejelasan hidup. Menanti kejelasan ruang hidup di tanah yang berstatus kawasan hutan di Desa Sumberklampok, pun memakan waktu panjang.
- Advertisement -
Luh Sumantri, perempuan petani eks transmigran Timor Timur di Desa Sumberklampok, Buleleng, Bali. Bagi Luh Sumantri, merawat kebudayaan, spiritualitas, dan beternak adalah bentuk perlawanan pada ketidakadilan akses lahan yang sudah para warga eks transmigran Timor-Timur perjuangkan lebih 20 tahun tetapi belum membuahkan hasil.
Seperti hari itu, perempuan 63 tahun ini sibuk siang malam. Dia sedang membuat beragam sesajen untuk persiapan ritual menuntaskan janji spiritual atau masesangi untuk menantunya. Suami anak perempuan Sumantri ini baru sembuh dari sakit berkepanjangan. Dia berniat kalau sang mantu sembuh akan membuat sesajen dengan dua babi guling.
Selama tiga hari dia membuat aneka banten (sesajen), bumbu masakan, kue, dan detail lain dibantu sejumlah saudaranya. Pada hari ketiga, kesibukan memuncak dengan upacara persembahyangan dan mengguling babi pada dini hari.
Hari itu juga menjelang aksi besar menutup jalan raya 30 Agustus 2023. Selama persiapan ritual dan usai ritual, Sumantri tetap ikut rapat dan tahapan aksi pada 30-31 Agustus 2023.
Dia agak sulit bergerak, badan bungkuk saat berjalan, meski begitu tak menghalanginya untuk tetap terlibat dalam berbagai pertemuan dan aksi menuntut hak lahan maupun membuat sarana ritual, dan merawat empat babi indukan dengan 10 bayinya.
Selama persiapan ritual, para laki-laki dan perempuan membagi diri dalam berbagai jenis pekerjaan. Para petani berkumpul, biasa mereka sibuk di kebun dan ternak.
Ada para perempuan yang merangkai janur, membuat sesajen buah dan bunga, serta lain-lain. Sedangkan laki-laki membuat bumbu untuk beragam persembahan misal bumbu babi guling, lawar, dan memanggang dua babi berukuran sekitar 50 kg. Ini dua babi hasil jerih payah Sumantri selama ini.
Babi ini juga yang dia persembahkan sebagai wujud syukur atas kesehatan mantu dan kebahagiaan anak perempuan dan saudaranya.
Persembahyangan untuk perjuangan warga pada 31 Agustus 2023. Foto: Luh De Suryani/Mongabay Indonesia
Selama persiapan upacara, obrolan mencari rumput pakan ternak mendominasi. Mencari pakan sapi adalah aktivitas utama warga eks transmigran Timor Timur ini. Begitu pentingnya ternak bagi kehidupan mereka menyiasati hasil pertanian yang kurang menjanjikan, antara lain karena kendala air.
Sumantri lebih banyak mengurus babi dengan kandang sekitar 200 meter dari rumah. Setiap hari, dua kali sehari dia memberi makan, memandikan, dan memastikan kesehatan para babi.
Waktu pemberian makan dia sesuaikan hingga bisa tetap mengikuti jadwal rapat warga di banjar atau tempat lain. Walau sudah berumur, dia mengutamakan perjuangan bersama untuk mendapatkan akses lahan pertanian bagi mereka. “Jangan pernah lelah berjuang,” katanya.
Suaminya, I Nengah Kisid adalah pemimpin eks transmigran ini. Selama lebih 22 tahun, rumah mereka kerap didatangi aparat keamanan, terlebih kalau ada kabar aksi atau upaya advokasi lain. Begitu juga akhir Agustus lalu. Silih berganti, ketika sedang dalam kesibukan membuat ritual dan persiapan aksi, aparat keamanan, berseragam atau tidak datang ke rumah.
Rumah warga eks transmigran di pinggir Jalan Raya Gerokgak-Singaraja hingga mudah diamati atau didatangi siapa saja. Pasangan ini melayani kedatangan siapa saja. Sebuah bale-bale bambu depan rumah jadi lokasi menjamu, dengan memberi kopi atau teh.
Perjuangan dengan tulus ikhlas mengalahkan rasa takut keduanya berhadapan dengan tekanan aparat. Bahkan, sebelum memimpin lebih 107 keluarga warga eks transmigran Timor Timur mendapatkan hak tanah pun, Sumantri dan suaminya jatuh bangun saat ikut transmigran di Timor Timur.
Sebelum ke Timor Timur, kedua petani ini kerap meminjam tanah orang untuk garapan di kampungnya di Sukasada, Buleleng. Sedikit tanah warisan sudah diolah kakaknya hingga akhirnya mereka bersepakat transmigrasi.
Luh Sumantri, usai pertemuan (perempuan berkaos kuning). Foto: Luh De Suryani
Masa di Timor Timur
Kala Pada 1984, dari 30 calon transmigran yang diundang ke pelatihan selama sebulan pertanian ke Sleman, Yogyakarta, Kisid, salah satunya.
Setelah sebulan lamanya mengikuti pelatihan, peserta kembali ke daerahnya masing-masing.
Mereka tak tahu akan transmigran ke ke Timor Timur, yang penting ikut pelatihan.
“Lalu ikut apel bendera di Jakarta sebelum diantar ke TimTim,” katanya.
Sumantri dan Kisid setuju ke Timor Timur karena lahan dan lokasi cukup dekat dengan kota. Timor Timur dinilai paling dekat dengan Bali dibanding lokasi lain, bisa satu hari perjalanan udara dan darat.
Pasangan ini bekerja keras membuka lahan dan jalan desa karena masih semak-semak. Singkat cerita, setelah satu tahun mengolah lahan, mulai bisa ditanami. Di sana, mereka bisa berjualan sayur mayur dan buah seperti bawang, kubis, semangka, dan lain-lain. Tak ada waktu tanpa kerja.
Sebelum tanam padi, Sumantri membuat kue agar ada penghasilan. Warga Timor Timur menyukai kue buatannya seperti apem, pisang goreng, jemlem, dan lain-lain. Dia jualan keliling atau bisa barter dengan bahan makanan untuk membuat kue seperti mantulu (telur) dan nu (kelapa). Biasa mulai jualan pukul 5.00 pagi sampai pukul 16.00 sore.
Sekitar setahun dia berjualan kue. Suaminya mengurus anak sambil membersihkan lahan.
Saat tiba di lokasi transmigran, lahan masih hamparan alang-alang, hutan dan belum ada jalan. Ketika bantuan pangan diputus, dia makan pisang dan ubi untuk menghemat bahan makanan. Saat itu, belum ada saluran irigasi, belum ada panen, namun jaminan pangan diputus.
Setelah jagung tumbuh baru makan jagung. Tahun kedua, mereka masih belum menghasilkan padi, hanya jagung.
Setahun sebelum jajak pendapat baru ada listrik. Sebelumnya untuk nonton televisi harus bayar di rumah yang punya listrik.
“Tapi tetap bahagia. Di Bali, ada listrik tapi tidak punya apa (tanah). Di TimTim ada tanah. Senang, sudah bisa beradaptasi,” kata Sumantri.
Punya lahan jadi semangat hidup. Jarak kebun sekitar satu km dari rumah. Sumantri makin bahagia setelah kebun dan sawah menghasilkan, apalagi bisa panen sepanjang tahun.
Sebelum itu, pasangan ini alami kedukaan. Sumantri mengalami keguguran dan bayi meninggal dunia. Dia duga karena kecapekan dan stres, selain kurang nutrisi. Jabang bayinya dalam kandungan berusia empat bulan, lalu bayi laki-laki meninggal dunia usia 17 hari.
Dia melahirkan dibantu dukun beranak di Timor Timur. Usai melahirkan, langsung memandikan bayi sendiri.
Sumantri punya lima anak lagi setelah itu. Kini, lima anaknya sudah dewasa, Putu Widiyani, Kadek Mesi Timtiyani, Komang Peri Andayani, lalu Ketut Putra Saktiyasa, terakhir Gede Puja.
Setelah hidup mulai tertata di Timor Timur, jajak pendapat mengubah segalanya. Timor Timur jadi negara berdaulat, mereka harus kembali ke Bali, Indonesia.
Rumah beton yang baru jadi pun harus ditinggalkan, beserta sapi, panen semangka, jeruk, dan padi menguning. Para orang tua hanya memastikan keamanan anak-anak mereka dengan baju melekat di badan.
Luh Sumantri, berselendang ungu). Foto: Luh De Suryani
Diminta kembali ke Indonesia, tetapi…
Selama perjalanan ke Bali, mereka mampir di Atambua dan Kupang. Anak-anak sempat sekolah singkat biar tidak stres karena tidur di tenda.
Sampai di Bali, mereka dan eks transmigram Timor Timur terkatung-katung tanpa tempat tinggal. Dua anaknya terpaksa dititip di Panti Asuhan Tatwam Asi, agar bisa terus sekolah. Panti ini yang membantu anak pengungsi sampai tamat SMA mulai SMP dan SD.
“Kami harus menuruti pemerintah. Bapak tidak mau balik, sempat menghadap Kapolsek Suwai di Timor Timur agar bisa tinggal di sana tetapi tak bisa,” kisah Sumantri.
Akhirnya Sumatri dan para eks transmigran Timor Timur, menetap di Desa Sumberklampok. Hingga kini, sudah lebih 20 tahun Sumantri dan warga eks transmigran Timor Timur terus memperjuangkan hak kelola lahan kepada pemerintah, tetapi belum membuahkan hasil. Meski begitu, Sumantri dan yang lain tak lelah.
Luh Sumantri, beserta ternak babinya. Foto: Luh De Suryani
*****
*Tulisan ini terbit atas kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Jalan Panjang Perjuangan Hak Tanah Eks Transmigran Timor Timur di Bali
Sumber: Mongabay.co.id