- Masyarakat Adat Enggano di Pulau Enggano, Bengkulu, was-was atas rencana kehadiran perusahaan perkebunan sawit. Hutan Enggano terancam alih fungsi lahan skala besar. Masyarakat adat menolak setiap rencana investor sawit. Sawit, bagi mereka, ancaman bagi pulau karang seperti Enggano.
- Luas wilayah Pulau Enggano mencapai 400,6 km,² dengan penduduk ada di enam desa utama, yakni, Banjar Sari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, dan Kahyapu. Masyarakat pulau ini menggantungkan hidup pada laut dan hutan yang kini mulai tergerus perubahan.
- Sebagian Pulau Enggano merupakan kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi dan hutan lindung. Dalam kawasan konservasi ini, terdapat Cagar Alam Sungai Baheuwo, Teluk Klowe, dan Taman Buru Gunung Nanua yang menjadi tempat bagi flora dan fauna endemik serta sebagai perlindungan dari ancaman abrasi dan perubahan iklim.
- Johan Risandi, Peneliti Oseanografi BRIN menyebutkan, Pulau-pulau kecil dan terluar yang dipengaruhi Samudra Hindia seperti Enggano, makin mengkhawatirkan kalau terjadi eksploitasi besar-besaran. Kateristik tanaman sawit yang membutuhkan banyak air, tentu akan memperparah konsisi Enggano ke depan.
- Advertisement -
Masyarakat Adat Enggano di Pulau Enggano, Bengkulu, was-was atas rencana kehadiran perusahaan perkebunan sawit. Hutan Enggano terancam alih fungsi lahan skala besar. Masyarakat adat menolak setiap rencana investor sawit. Sawit, bagi mereka, ancaman bagi pulau karang seperti Enggano.
“Sawit itu banyak menghisap air,” kata Milson Kaitora, Pa’abuki (Kepala Suku) Enggano.
“Enggano ini kecil. Kalau sampai airnya habis, kita semua akan susah.”
Pada 2019, Milson Ka’itora sempat bertemu dengan perwakilan perusahaan sawit yang mencoba masuk. Mereka berdiskusi. Milson menegaskan, seluruh kepala suku sepakat menolak sawit di Enggano.
“Sudah disepakati, sawit tidak boleh ada di sini,” katanya.
Untuk memperkuat perlindungan adat, mereka sudah mengusulkan Peraturan Daerah (Perda) Masyarakat Adat Enggano sejak 2020. Sayangnya, hingga kini perda belum juga ada pengesahan.
Sisi lain, abrasi perlahan menggerus pantai-pantai Enggano. Menurut Milson, garis pantai sudah mundur sekitar 500 meter dalam dua dekade terakhir. Air laut perlahan menelan daratan dan sumber-sumber air tawar, bahkan mengeringkan sawah-sawah yang dulu subur.
Di Desa Meok, irigasi yang dulu bisa mengairi sawah kini hanya cukup untuk satu kali panen setahun. “Dulu nenek moyang kita bisa dua kali panen dalam setahun. Sekarang, air bahkan tidak cukup, sawah menjadi lahan terlantar.” keluh Milson.
Dulu, masyarakat tinggal di puncak bukit di tengah pulau, jauh dari pantai. Sekitar 1930-an, mereka turun ke pesisir untuk bercocok tanam, menghadapi tantangan cuaca, dan mulai mengenal irigasi. Sawah nenek moyang, seluas 800 hektar, digarap dengan syarat ketat bahwa lahan itu hanya boleh untuk menanam padi dan memenuhi kebutuhan pangan pulau.
Belum ada kebun sawit skala besar saja, mereka sudah hadapi masalah abrasi, dia was-was ancaman lebih besar kalau sampai lahan skala besar jadi kebun sawit.
Pulau Enggano, bentang alam terluar Indonesia di Samudra Hindia, berjarak sekitar 175 kilometer dari Bengkulu. Membentang sejauh 35 kilometer dari Teluk Berhau hingga Tanjung Kahoubi, pulau ini menyajikan lanskap dramatis yang terbentuk selama jutaan tahun.
Puncak tertingginya, Gunung Koho Buwa-buwa, berdiri pada ketinggian 240 meter di atas permukaan laut. Garis pantai mencapai 126 kilometer, mengelilingi pulau yang didominasi terumbu karang yang terangkat akibat pergerakan lempeng bumi Indo-Australia ini.
Karakteristik ini menjadikan Enggano sebagai pulau karang timbul, berhias gua-gua alami dan hamparan fosil laut yang tersebar di banyak titik pesisirnya.
Pohon merbau, yang banyak hidup di Pulau Enggano. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia
Luas wilayah Pulau Enggano mencapai 400,6 km,² dengan penduduk ada di enam desa utama, yakni, Banjar Sari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, dan Kahyapu. Masyarakat pulau ini menggantungkan hidup pada laut dan hutan yang kini mulai tergerus perubahan.
Sekitar 36% Enggano merupakan kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi dan hutan lindung seluas 30,79%. Dalam kawasan konservasi ini, terdapat Cagar Alam Sungai Baheuwo, Teluk Klowe, dan Taman Buru Gunung Nanua yang menjadi tempat bagi flora dan fauna endemik serta sebagai perlindungan dari ancaman abrasi dan perubahan iklim.
Hutan di Pulau Enggano juga kaya keragaman kayu, seperti merbau (Instsia bijuga), kasai (Pometia pinnata), pakaror (Shorea macroptera), bintangur (Calophyllum inophyllum), apua (Kommpassia malaccensis) dan lain-lain.
Dari berbagai jenis kayu itu, apua dan merbau paling istimewa. Kayu apua banyak untuk membangun rumah karena terkenal kuat dan tahan lama. Sedang kayu merbau sering jadi bahan konstruksi jembatan karena kekuatannya.
Orang Enggano mengenal beragam jenis kayu dari merbau, kasai, apua, kihait, pritu, dan waru. Kayu-kayu ini bukan sekadar bahan baku, tetapi bagian dari kehidupan dan kepercayaan mereka.
Rencana kehadiran perusahaan sawit membuat masyarakat adat dan pemimpin adat Enggano khawatir. Bagi mereka, investasi besar-besaran dapat mempercepat kerusakan lingkungan.
“Kawasan hutan di Enggano bukan sekadar pohon, tapi rumah bagi kehidupan kami,” kata Milson.
Kawasan hutan produksi di Pulau Enggano seluas 10.000 hektar sudah terbebani izin HPH PT Enggano Dwipa Persada (EDP) pada 1998. Awalnya, perusahaan ini membuka lahan untuk usaha pakan ternak, kemudian menjadi perkebunan melinjo, dengan menebang hutan seluas 2.400 hektar.
Pada 1991, EDP mengajukan dua surat permohonan pelepasan status hutan ke Departemen Kehutanan untuk mengelola lahan, seluas 20% Pulau Enggano.
Menteri Kehutanan kala itu menolak karena Pulau Enggano sebagai kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas.
Berbekal izin prinsip dari Gubernur Bengkulu, EDP tetap membawa alat berat ke hutan Enggano.
Aprianus, pemuda Enggano mau memperlihatkan bekas plang perusahaan HPH itu. Dia menerobos rimbunan pohon pisang yang tumbuh liar.
Dengan napas terengah, dia menunjuk ke suatu arah, meyakinkan kalau dulu ada plang tua di sana—penanda wilayah kerja EDP.
Plang telah lenyap. Hanya ada hamparan tanaman pisang warga, berjajar rapat, beberapa batang pohon merbau menjulang di tengah-tengah, seolah jadi saksi bisu jejak-jejak masa lalu lebatnya hutan Enggano.
Era EDP, pembukaan hutan menimbulkan perdebatan di masyarakat. Warga mulai curiga ketika melihat kayu hasil penebangan akan dibawa keluar pulau.
Setelah tahu perusahaan hanya berniat mengambil kayu, Masyarakat Adat Enggano pun bangkit melawan. Lima kepala suku mengirim surat ke Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri Dalam Negeri, meminta EDP setop penebangan hutan.
Lokasi izin EDP mencakup Desa Banjar Sari dan meluas hingga enam desa lain yakni, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, dan Kahyapu.
Bincar Pangapul, warga Malakoni mengatakan, mulai sadar setelah melihat kayu-kayu besar ditebang lalu diangkut keluar pulau. “Tidak ada yang jelas, apa untungnya bagi masyarakat di sini.”
Pada 2022, area eks EDP ini akan menjadi perkebunan sawit, PT Sumber Enggano Tabarak (SET). Perusahaan sudah mulai mendatangi kepala-kepala desa agar menyetujui niatan mereka.
Milson dari Suku Kaitora adalah pimpinan adat tertinggi di Enggano sebagai Pa’buki. Dia bersama kepala suku dan kepala pintu suku menolak keras kedatangan perusahaan.
Sejak 2016, dia memendam was-was dengan aksi perusahaan perkebunan sawit itu. Dia mulai mendengar beberapa warga pendatang atau masuk dalam Suku Kamay mulai menerima bantuan bibit sawit gratis.
“Warga kami di Banjar Sari dan di Ka’ana sudah mulai ada yang menanam sawit di kebun-kebunnya. Ada seluas 30 hektare sudah ditanam sawit tersebar di 2 desa itu,” jelasnya.
Mongabay berupaya mencari tahu soal SET. Dalam dokumen AHU Kementerian Hukum menyebutkan, pada 2022, perusahaan mengajukan izin perkebunan sawit seluas 15.000 hektar di Enggano. SET yang memiliki keterkaitan dengan grup London Sumatera dan juga memiliki perusahaan di negara Pilipina, Singapur, Thailand, Malaysia dan Vietnam.
Pantauan lapangan Mongabay Juni lalu, di Enggano mulai ada penanaman sawit oleh perorangan. Sawit berusia hampir 10 tahun, sudah panen. Setahun terakhir, mereka mengirimkan buah melalui kapal ke pabrik di seberang Kota Bengkulu.
Aswin, pensiunan PNS yang tinggal di Desa Ka’ana melihat peluang berkebun sawit.
“Sawit itu harga lumayan baik di pasar. Asal di kebun sendiri, tanah sendiri bukan kawasan hutan. Itu harusnya menjadi hak perorangan, bukan adat,” katanya sembari memantau panen pekerjanya.
Hutan Mangrove Pulau Enggano. Rencana kehadiran perusahaan sawit, membuat masyarakat Adat Enggano, khawatir. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia
Penolakan masyarakat adat
Susanto, Camat Enggano terancam dengan keberadaan perusahaan sawit. Para pemimpin suku dan pintu suku, katanya, tidak akan memberikan persetujuan apapun terkait perusahaan itu.
“Secara resmi belum pernah menemui saya selaku camat. Mereka baru mendatangi kades-kades saja. Awal tahun ini mulai sosialisasi lagi, perusahaan ini tak hanya mengancam kebun dan hutan juga konflik antar warga ke depan,” katanya.
Ketua suku dan pintu suku serta dari kecamatan turut mendesak Bupati Bengkulu , mengeluarkan surat pengakuan terhadap masyarakat adat di Enggano. “Perda masyarakat Adat ini masih belum juga disahkan, kami kecamatan mendukung penuh untuk penolakan ini.”
Erwin Basrin, Direktur Akar Global Inisiatif , mengatakan, pengabaian hak masyarakat adat Enggano dalam mengelola tanah adat membuka peluang pihak luar mengeksploitasi sumber daya alam di pulau tersebut.
“Masyarakat Adat Enggano memiliki pengetahuan tradisional yang sangat kaya tentang pengelolaan lingkungan. Namun, pengetahuan ini sering kali dikesampingkan,” ujar Basrin.
Kala sampai kebun sawit skala besar masuk, katanya, hutan-hutan di Enggano makin rusak. Keanekaragaman hayati terancam punah. Kalau sampai terjadi, ini tidak hanya merugikan masyarakat adat, juga keseimbangan ekosistem.
Said Jauhar, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Bengkulu, menegaskan pentingnya menjaga kawasan yang sebelumnya merupakan eks HPH.
Alih fungsi lahan menjadi monokultur dapat mengurangi keanekaragaman hayati. Untuk itu, katanya, penting bagi semua pihak memahami bahwa pengelolaan kawasan tidak hanya sebatas pada status administratif, juga pada perlindungan ekosistem secara menyeluruh.
Data Hutan Enggano tersisa, PADA 2023 sebanyak 32.947 hektar dengan rincian, 31.662 hektar hutan tanah mineral, dan hutan bakau 1.285 hektar.
Johan Risandi, Peneliti Oseanografi BRIN menyebutkan, Pulau-pulau kecil dan terluar yang dipengaruhi Samudra Hindia seperti Enggano, makin mengkhawatirkan kalau terjadi eksploitasi besar-besaran.
Kateristik tanaman sawit yang membutuhkan banyak air, tentu akan memperparah konsisi Enggano ke depan. “Kalau sudah intrusi air laut, pulau pasti akan ditinggalkan penduduk. Yang menyedihkan warga di sana. Kalau investor bisa saja meninggalkan pulau tanpa beban, karena tidak ada ikatan dengan pulau. Jadi mesti dipikirkan dampak buruknya,” kata Johan.
Warga mulai ada tanam sawit mencapai 30 hektar tersebar di beberapa desa di Pulau Enggano. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia
*******
Hutan dan Gambut Pulau Mendol Terancam Perusahaan Sawit, Warga pun Resah
Sumber: Mongabay.co.id