- Para perempuan eks transmigran Timor Timur, yang tinggal di Desa Sumberklampok,Kabupaten Buleleng, Bali, bekerja keras untuk mengelola tanah mereka. Ada yang berternak, ada juga juga bertani tanaman pangan seperti sayur mayur, cabai, dan bunga, salah satu Putu Suastini.
- Tanaman ini sangat bergantung air. Saat kemarau, palawija tak bisa tumbuh subur karena kekurangan air. Putu Suastini tak punya sumber air. Saat kemarau, hanya bisa beli air sumur bor yang dikelola warga. Di sekitar 50 are lahan garapan milik negara yang jadi lokasi pengungsian ini, dia menyambung hidup dengan keras, setelah dipaksa meninggalkan lahan subur di Timor Timur.
- Keberanian dan semangat kuat belajar membuat Suastini didapuk sebagai juru bicara pengungsi eks trasmigran Sumberklampok. Dengan pendidikan sampai sekolah dasar, dia memiliki pengetahuan dan keterampilan lebih dibanding teman sebaya yang punya pendidikan lebih tinggi.
- Alam memiliki cara menempa mental dan keberanian Suastini. Ibu dua anak ini muncul jadi salah satu perempuan paling semangat dan senang belajar hal-hal baru di kelompok perempuan pengungsi eks transmigran ini. Suastini memimpin usaha pengolahan bahan pangan, seperti bikin sabun moringa (kelor), cabai bubuk, minyak kelapa murni (virgin coconut oil/VCO), dan lain-lain.
- Advertisement -
Putu Suastini, begitu tangkas mengayunkan arit membersihkan semak untuk pakan ternak. Perempuan 41 tahun eks transmigran Timor Timur yang tinggal di Desa Sumberklampok, Kabupaten Buleleng, Bali ini memelihara enam sapi dengan sistem ngada. Sistem ini, warga pelihara sapi milik orang lain atau kelompok. Empat sapi betina, sudah ada yang beranak satu.
Ternak sapi jadi sumber penghasilan utama petani eks transmigran Timor Timur ini di Buleleng.
“Kami menyekolahkan anak dengan sapi. Sapi tabungan kami.”
Warga eks Timor Timur ini juga bertani tanaman pangan seperti sayur mayur, cabai, dan bunga. Tanaman ini sangat bergantung air. Saat kemarau, palawija tak bisa tumbuh subur karena kekurangan air.
Suastini tak punya sumber air. Saat kemarau, dia hanya bisa beli air sumur bor yang dikelola warga.
Di sekitar 50 are lahan garapan milik negara yang jadi lokasi pengungsian ini, dia menyambung hidup dengan keras, setelah dipaksa meninggalkan lahan subur di Timor Timur.
“Di TimTim semangka saya bisa sebesar ember karena air melimpah. Di sini susah air, susah bertani,” keluhnya.
Sejak kecil Suastini sudah terlatih jadi petani. Ketika teman-temannya melanjutkan sekolah menengah dan atas, dia putus sekolah, lebih senang bertani.
Alam memiliki cara menempa mental dan keberanian Suastini. Ibu dua anak ini muncul jadi salah satu perempuan paling semangat dan senang belajar hal-hal baru di kelompok perempuan pengungsi eks transmigran ini.
Suastini memimpin usaha pengolahan bahan pangan, seperti bikin sabun moringa (kelor), cabai bubuk, minyak kelapa murni (virgin coconut oil/VCO), dan lain-lain.
“Saya semangat coba hal baru, kalau ada informasi pasti jalan. Saya senang banyak ilmu, kalau tidak belajar hal lain, hanya bisa ngarit (potong rumput), metik kacang komak,” ceritanya.
Hasil palawija mereka jual untuk tambahan penghasilan selain beternak. Untuk VCO, misal, tiap tiga bulan bisa bikin 100 botol.
Dia menyukai manfaat minyak kelapa murni itu. VCO biasa untuk memijat, melembabkan kulit, dan mengobati luka memar. Di rumahnya, setok VCO terlihat belasan botol kecil. Petani sekitar juga kerap membeli.
Untuk bikin sabun, mereka didampingi Yayasan Wisnu, sebuah LSM lingkungan di Bali. Produk sabun, bubuk kelor, dan bubuk cabai, mereka perlu pemasaran khusus karena warga sekitar tak banyak yang beli.
Dia dan kelompok Perempuan Bukit Sari biasa diundang ke pameran produk desa di event-event khusus oleh jejaring LSM. Berbagai kesempatan ini pun mereka jadikan sebagai ajang pemasaran dan promosi produk.
Luh Suastini saat menghelat ritual untuk keluarganya. Foto: Luh De Suryani/Mongabay Indonesia
Keberanian dan semangat kuat belajar membuat Suastini didapuk sebagai satu dari dua perempuan pejuang juru bicara pengungsi eks trasmigran Sumberklampok.
Dengan pendidikan sampai sekolah dasar, dia memiliki pengetahuan dan keterampilan lebih dibanding teman sebaya yang punya pendidikan lebih tinggi.
Suastini juga berusaha menambah penghasilan dari kerja apa saja, termasuk buruh proyek dan buruh panen. Dia terbiasa membantu tukang, misal, membawakan material pasir, batako, atau kerja serabutan lain di lokasi proyek pembangunan.
“Intinya, mau belajar, apa saja saya tekuni,” katanya.
Upah sebagai buruh proyek berkisar Rp80.000-Rp100.000, sedang buruh panen lebih murah. Kalau harga cabai sedang tinggi, upah Rp5.000 per kg, paling murah Rp1.500.
“Ibu-ibu di sini banyak jadi buruh panen, termasuk keluar banjar.”
Suastini menikah pada usia cukup muda, sekitar 19 tahun, punya dua anak, Luh Wirantini, dan Kadek Yoga. Anak pertama lahir saat mengungsi di Gedung Transito Buleleng, setelah balik dari Timor Timur.
Transmigram ke Timor Timur dia masuk gelombang ketiga. Sampai di negeri tetangga, dia sudah dapat bahan makanan seperti beras dan ikan kering sampai ada penghasilan dari lahan sendiri. Ke lokasi lahan pun dikawal.
Suastini beruntung jalan desa transmigran lebih baik karena sudah dibersihkan transmigran sebelumnya.
Saat datang, dia bersama orangtuanya saat usia sembilan tahun. Usia sekitar 19 tahun dia menikah di Timor Timur. Walau menikah di usia muda, bersama suaminya dia belajar mengolah lahan berumput tebal jadi lahan subur. Semua tahapan pekerjaan di sawah dia ikut seperti menyabit dan membersihkan lahan.
“Orang Bali itu jadi contoh di sana. Air full, setiap hari mengalir besar. Belum punya sapi, mengolah lahan manual dengan sabit. Padi tumbuh.” Wajahnya berseri mengingat masa transmigrasi di Timor Timur.
Beras dia simpan di lumbung, kalau tak punya uang baru jual.
Luh Suastini mencari pakan ternak. Foto: Luh De Suryani/Mongabay Indonesia
Selama di Timor Timur, dia tidak pernah kelaparan. Berkebalikan saat kembali ke Bali. “Belanja di Bali mahal, di Timtim murah. Itu yang buat senang. Di sini tak punya apa.”
Suastini lebih mengenal istilah jajak pendapat dibanding referendum, sebagai penyebab transmigran harus balik ke Indonesia. Sebelum ada hasil resmi jajak pendapat, dia tak yakin balik ke Bali. Dalam pikirannya saat itu, warga hanya mengungsi sementara.
“Kalau tahu akan merdeka kan ada persiapan, kami tak tanam padi dulu, eman-eman uang (untuk bertani) bisa disimpan. Bibi saya baru membangun rumah beton,” katanya.
Para transmigran pun tidak ada membawa tabungan ke Bali karena untuk modal bertani. Padi pun sudah menguning.
Beberapa hari setelah jajak pendapat, transmigran diperintah pulang. Sebelum jajak pendapat, warga transmigran tak boleh keluar rumah sekitar sebulan. Bahkan tidur tidak boleh di ranjang, katanya, harus di lantai takut kena peluru nyasar.
Kala itu, daerah transmigran cukup aman, tak ada insiden. “Maka senang di sana. Mobil jemputan (untuk ke Bali) datang, kalau tidak balik, kami akan jadi warga sana.”
Ketika kembali ke Bali, hidup eks transmigran Timor Timur terlunta-lunta dan kelaparan. “Malu dengan sumbangan, dulu di Timtim kita tak kekurangan beras. Di gubuk pengungsi tinggal lebih satu tahun. Lokasi rumah sekarang sama dengan gubuk karena sudah diatur 4 are per keluarga,” kata Suastini.
Semangatnya kuat berjuang mendapatkan lahan. Dia akan meninggalkan pekerjaan mencari pakan ternak atau kerja lain kalau ada rapat terkait perjuangan sebagai pengungsi.
“Saya ingin mengelola tanah, misal tanam sayur. Yang penting ada air agar kami tidak mengandalkan beli sayur.”
Produk VCO yang dibuat kelompok perempuan Bukit Sari. Foto: Luh De Suryani/Mongabay Indonesia
*******
*Tulisan ini terbit atas kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Jalan Panjang Perjuangan Hak Tanah Eks Transmigran Timor Timur di Bali
Sumber: Mongabay.co.id