- Sejumlah desa-desa di pesisir Bali utara menghadapi makin menipisnya volume air dari hulu
- Ada upaya melindungi hutan desa namun di sisi lain, warga memerlukan sumber penghasilan untuk mengurangi perambahan hutan.
- Salah satu usaha kreatif yang mendorong penanaman sejumlah pohon adalah usaha pencelupan kain dengan pewarna alami. Tak hanya warna juga desain pola tekstil yang diolah menjadi berbagai desain fashion.
- Usaha lain yang juga dikembangkan sejumlah desa di Bali utara ini adalah pengolahan dari pohon lontar menjadi arak dan gula.
Sekitar 3 jam berkendara dari Kota Denpasar menuju Bali Utara menyusuri pesisir timur ini berakhir di sebuah rumah produksi di tengah desa Bali aga (desa kuno), Desa Sembiran, Kabupaten Buleleng. Namanya terkesan kontemporer, Pagi Motley. Pagi merujuk hari baru ketika matahari terbit, sementara Motley berarti beragam warna atau warna-warni. Pagi yang berwarna-warni.
Demikian namanya kontras dengan nama desa asalnya, salah satu desa asli atau desa lama Bali itu. Karena tiba di sini sore hari, jadilah sore berwarna-warni. Ketika sejumlah pekerja sedang menjemur kain-kain celup dari aneka dedaunan dan tumbuhan lokal. Warnanya sudah nampak walau belum kering, masih dijemur tanpa kena paparan matahari langsung.
Seorang warga desa tetangga membawakan beberapa kantung daun ketapang dan mesin pencacahnya dengan sukarela karena ada warga yang sedang memangkas pohonnya. Daun Ketapang diekstrak dan menghasilkan kain berwarna cokelat kehitaman. Pohon ini tumbuh subur di iklim pesisir dan dataran rendah. Batang tajuknya juga menarik bertingkat-tingkat dan melebar sehingga jamak jadi pohon peneduh di teriknya kawasan pesisir. Daun ketapang tak hanya menghasilkan ekstrak warna gelap, juga disebut mampu menurunkan Ph air dan menjernihkan air.
Ada juga sabut kelapa yang sedang direbus di sebuah wadah besar, endapan airnya ini menghasilkan warna kuning kecokelatan. Residu hasil rebusan sabut kelapa sangat diminati petani, karena jadi material pupuk organik berkualitas baik.
Ada juga merah muda yang menenangkan dari kayu secang. Kayu ini juga populer untuk pewarna minuman dan rempah, mengandung antioksidan sehingga lebih banyak dimanfaatkan untuk bahan minuman. Hanya dengan beberapa lembar parutan kayu, seember air bisa jadi merah tapi tetap jernih. Pohonnya sudah makin langka. Kayu secang yang pohonnya kecil atau perdu ini hidup di daerah berlereng atau berbatu.
Warna yang dihasilkan indigo paling mencolok, biru agak tua yang cerah. I Made Andika Putra, pendiri Pagi Motley menyebut hanya indigo yang bersifat asam sehingga warnanya jauh lebih kuat. Sementara warna lainnya bersifat basa sehingga bisa menyerap keringat dan ketahanannya kurang kuat. Terutama warna dari kayu secang.
- Advertisement -
Baca : Memuliakan Kembali Bahan Lokal dan Alami di Megalung Iklim
Berbagai ragam warna yang dihasilkan sejumlah daun. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
Dari daun mangga, ketapang, indigo, secang, dan ketapang, sedikitnya ada 32 variasi warna yang bisa dihasilkan. Semuanya berwarna teduh namun tetap cerah. Selembar kain tak hanya bisa memunculkan warna tunggal namun bergradasi menciptakan estetika tersendiri. Motif atau desain di kain juga bisa diatur dengan teknik khusus.
Ia mengakui industri kerajinan pewarna alami bisa mendorong aksi-aksi lingkungan seperti menumbuhkan kembali pepohonan yang sudah makin hilang di desa. Bahkan ada program yang secara khusus dibuat pelanggan kainnya. Siapa yang membeli baju dari desain dan bahan baku kain warna alami ini diganti satu bibit. Bibit ini yang ditanam staf Pagi Motley di desa.
Pihaknya juga sedang berusaha menghidupkan kembali usaha tenun tradisional desa yang hilang, misalnya di Desa Sembiran dan Desa Julah, desa-desa kuno di Kabupaten Buleleng. Sejumlah desain tenun pun dikembangkan untuk bisa dikerjakan pengerajin dengan benang-benang celup pewarna alami.
Pagi Motley didirikan setahun sebelum pandemi Covid melanda yakni 2019. Andika belajar dari kakaknya yang lebih dahulu menekuni pewarna alami di Gianyar. Setelah 18 tahun, ia akhirnya memahami warna-warna yang bisa dihasilkan dari berbagai tanaman tak hanya daun, juga kulit kayu, bunga, dan bagian lainnya.
Hutan dan Warna Alami
Penanaman dan budi daya tanaman kayu penghasil warna alami ini bisa jadi strategi melestarikan hutan di Kecamatan Tejakula yang mewilayahi desa-desa kering pesisir Bali utara ini seperti Desa Les, Tejakula, Sembiran, dan Julah.
Sebagian desa kini mengalami penurunan debit air di sumber-sumber air. Salah satunya Desa Les. Ketika menelusuri desa ini, sejumlah warga menunjukkan jejak-jejak sawah basah yang hilang karena air irigasi mengering tak bisa menumbuhkan padi lagi.
Yang tersisa hanya sebuah Pura Subak yang masih berdiri megah di bagian hulu bekas terasering sawah ini. Pura Subak dibuat oleh kelompok petani atau kelompok subak sebagai wujud syukur untuk kelimpahan pangan dan sumber air untuk pertanian.
Dari depan Pura Subak ini, masih nampak pola terasering sawah yang kini sudah berganti menjadi tegalan. Jenis tanaman pun berbeda seperti buah-buahan tropis misalnya rambutan dan mangga.
Di kawasan lain, masih ada hutan yang cukup rapat dan teduh lokasi sumber air desa. Di kawasan inilah sejumlah tanaman yang dimanfaatkan warga juga ditanam. Namun tidak boleh menebang pohonnya.
Baca juga : Melihat Cara Warga Lindungi Hutan Sakral Desa Les
Kain-kain hasil pewarna alami seperti ketapang, indigo, sabut kelapa, dan secang. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
Berbagai jenis tanaman yang terdata di desa ini di antaranya jenis palem seperti pohon lontar, yang dapat diolah menjadi arak (minuman hasil fermentasi) dan gula lontar sebagai salah satu sumber mata pencaharian masyarakat. Jenis pohon kayu yaitu sonokeling, jati, gamelina, batu, sidawayah, intaran, dadap, bunut, dan lainnya. Ada juga beragam jenis bambu seperti bambu ampel, gesing, bambu petung, kuning, buluh, dan lainnya.
Desa ini melakukan upaya perlindungan sumber-sumber mata air dengan cara melarang masyarakat menebang pohon di sekitar sumber-sumber mata air. Sebagian sumber air juga disakralkan untuk mengurangi akses manusia dan mengotorinya. Misalnya Yeh Anakan yang jadi lokasi menyucikan diri atau melukat. Ada juga Yeh Mampeh, air terjun yang melarang warga mandi dan mencuci.
Nyoman Wadiem, Ketua Lembaga Perlindungan Hutan Desa (LPHD) Les makin risau dengan menurunnya kerapatan hutan dan berusaha mencari strategi bagaimana cara menghijaukannya kembali. Dari lereng bebukitan, ia menunjukkan sejumlah titik hutan yang mulai lapang. Tak banyak jenis pepohonan yang tumbuh. Sementara di hulu, juga mulai banyak berubah jadi kebun sayur dan jeruk.
Mengembangkan sektor ekonomi yang mendorong penanaman kembali seperti kerajinan kain dan tenun pewarna alami bisa solusi dan mengembangkan kerja sama lintas desa. Desa Sembiran tak hanya memiliki penenun tradisional juga Pagi Motley yang sudah dikenal di pasar ekspor. Desa Les sudah mengembangkan berbagai garam tradisional dengan aroma rempah serta olahan pohon lontar. Demikian juga desa-desa lain sekitarnya.
Kadek Dol, salah seorang penggerak di Desa Tembok pun mengajukan hadirnya ruang kreatif dan diskusi di Tejakula pada perwakilannya di DPRD Kabupaten Buleleng, Dewa Komang Yudi saat reses akhir Oktober lalu. Menurut Kadek, ruang kreatif ini mampu mendorong lahirnya usaha-usaha pemberdayaan warga sekaligus menjawab berbagai masalah lingkungan di desa-desa pesisir ini. (***)
Mereka yang Setia Berkarya dengan Serat dan Warna Alami
Sumber: Mongabay.co.id