- Pembangunan Makassar New Port di Sulawesi Selatan berdampak pada kehidupan perempuan pesisir. Mereka kehilangan mata pencaharian utama karena wilayah tangkap tercemar limbah minyak kapal dan lumpur. Secara terpaksa, mereka bekerja serabutan seperti menjadi buruh harian, jasa cuci piring, hingga payabo (pemulung) untuk bertahan hidup.
- Limbah dari pembangunan pelabuhan dan aktivitas kapal menyebabkan kerusakan ekosistem laut di pesisir Tallo. Akibatnya, hasil tangkapan seperti kerang tude (Bivalvia), kerang ekor kanjappang (Lingula sp.), ikan dan kepiting berkurang drastis. Nelayan terpaksa melaut lebih jauh dengan biaya operasional yang tinggi.
- Penurunan pendapatan nelayan membuat mereka terjerat hutang dalam pemenuhan kehidupan sehari-hari. Bahkan menyebabkan anak-anak seperti putra Syamsiah, nelayan Tallo putus sekolah karena ketidakmampuan membayar biaya pendidikan.
- Meski Komnas HAM dan Komnas Perempuan telah menyoroti dampak sosial dan ekonomi pembangunan pelabuhan ini, tidak ada tindak lanjut dari pihak terkait. Baik pemerintah daerah maupun DPRD dalam upaya pemulihan hak ekonomi dan lingkungan perempuan nelayan.
“Saya tiga kali ma mau bunuh diri, tidak jadi.”
Syamsiah menghabiskan hari-hari penuh ketakutan, terlilit hutang piutang dan dikejar rentenir hingga harus bersembunyi di rumah tetangga. Dia bertahan hidup dari berhutang karena kesulitan mencari pekerjaan akibat pembangunan pelabuhan Makassar New Port (MNP) di Sulawesi Selatan.
Siang itu, Syamsiah sedang mengerjakan jaring tangkap pesanan tetangga. Satu jaring biasa paling cepat selesai dua malam, upahnya 20.000 per jaring. “Biasa sampai jam satu malam ku kerja, kalo cepat selesai cepat ki dapat uang” katanya saat ditemui pada Juni lalu.
Syamsiah merupakan perempuan nelayan Tallo, Makassar, Sulawesi Selatan yang terdampak pembangunan pelabuhan MNP. Sebelum pembangunan, dia menggantungkan hidup kerang tude (Bivalvia) dan kerang ekor kanjappang (Lingula sp.). Sekali melaut, sekitar Rp 150.000-200.000 dalam satu hari.
Syamsiah membuat jaring tangkap secara manual untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Foto: Alicya Qadryyah Ramadani/ Mongabay Indonesia
Dia mencari cara lain untuk bertahan hidup, mulai menjadi buruh harian di pabrik, jasa cuci piring, hingga payabo. Payabo merupakan sebutan untuk pemulung.
- Advertisement -
“Sembarang mi ku kerja. Kalau ada acaranya tetanggaku, saya jadi tukang cuci piringnya. Kalau nda ada bisa kukerja, pergi ka mayabo (pungut sampah)”
Baca juga: Dugaan Monopoli Tambang Pasir Laut di Makassar
Kelurahan Tallo adalah sebuah daerah pesisir di tepi barat muara sungai Tallo, antara lokasi pembangunan MNP dan pemukiman warga. Jaraknya hanya sekitar 100 meter. Lokasi proyek strategis nasional itu dahulunya wilayah area tangkap nelayan.
Makassar New Port menjadi pelabuhan peti kemas terbesar di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Proyek strategis nasional ini menghabiskan Rp 89,57 triliun ini dikelola langsung oleh PT Pelindo.
Februari 2024, Presiden Joko Widodo meresmikan pembangunan dermaga tahap pertama MNP, panjangnya 1.280 meter dengan luas 52 hektare. Selanjutnya, pembangunan akan ada tiga tahap sampai 2037.
Direktur Utama PT Pelindo Arif Suhartono bilang kehadiran MNP akan menopang perusahaan pelayaran, terutama dalam bidang pengiriman barang. “Dengan kedalaman yang dimiliki , yakni 16 meter low water springs, dermaga MNP sudah bisa disandari kapal dengan bobot besar atau post panamax” katanya.
Tepi pantai Marbo, Kelurahan Tallo yang kian tercemar. Air yang keruh dan tumpukan sampan di sepanjang pantai. Foto: Alicya Qadryyah Ramadani/ Mongabay Indonesia
Baca juga: Perempuan Nelayan Makassar Tolak Pembangunan Makassar New Port
Pelabuhan terbangun, ikan menjauh
Pada 2017, pembangunan Makassar New Port kian masif. Dampaknya datang secara langsung, nelayan mulai mengalami penurunan pendapatan. Limbah pembangunan dan minyak kapal membuat pencemaran. Air menjadi keruh, ikan menjauh, alhasil hasil tangkapan menjadi menurun.
Dampak pembangunan proyek strategis nasional ini pernah menjadi perhatian Komnas HAM pada 2021. Mereka melakukan investigasi lapangan tentang dampak pembangunan MNP terhadap kehilangan mata pencaharian nelayan.
Tak hanya itu, mereka juga telah melakukan mediasi dengan pihak terkait, seperti Pelindo, pemerintah kota dan provinsi dan DPRD. Sayangnya, tak ada tindak lanjut hingga kini.
Komnas perempuan pun sempat melayangkan surat kepada Ketua DPRD Sulsel tahun 2023. Isinya tentang desakan untuk segera merespon tuntutan pemulihan hak ekonomi dan lingkungan perempuan nelayan akibat aktivitas proyek MNP.
“Namun sejak surat tersebut kami terima (tembusan) tidak ada upaya yg dilakukan oleh ketua DPRD provinsi,” ujar Suryani, Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan Anging Mammiri.
Syamsiah dan Zaenab sedang memandangi Makassar New Port dari dekat rumahnya. Proyek Strategis Nasional ini memberikan dampak ekonomi signifikan bagi mereka sebagai nelayan. Foto: Foto: Alicya Qadryyah Ramadani/ Mongabay Indonesia
Baca juga: Aksi Penolakan Nelayan dan Sengkarut Tambang Pasir Laut di Makassar
Dalam penelitian Politeknik Negeri Sambas (2021) menyebutkan sebanyak 82,59% nelayan tidak setuju terhadap peningkatan pendapatan setelah pembangunan pelabuhan MNP. Hal ini disebabkan sulitnya memperoleh ikan. Sehingga, nelayan harus pergi ke laut lepas untuk mendapatkan hasil yang besar.
“Dampak pencemaran dan pembangunan pelabuhan mengakibatkan pendapatan nelayan berkurang,” tulis penelitian tersebut.
Tak hanya di hilir, aktivitas buangan limbah industri Kawasan Industri Makassar (KIMA) di hulu sungai Tallo juga memperparah kondisi laut.
Sebelum ada pembangunan pelabuhan MNP, Syamsiah bersama Zaenab, kawannya sering pergi ke pesisir untuk mencari tude dan kanjappang. Hanya dengan alat tangkap sederhana dan berjalan 100 meter, mereka bisa panen kerang dan kepiting. Kini, wilayah tangkapnya sudah penuh lumpur karena limbah minyak kapal.
“Itu sampah banyaknya, na timbun matanya keran, sampah dan minyak dari kapal,” ujar Syamsiah.
Pesisir pantai Marbo tercemar oleh campuran lumpur minyak kapal dan sampah. Dahulunya wilayah ini menjadi area tangkapan nelayan. Foto: Alicya Qadryyah Ramadani/ Mongabay Indonesia
Baca juga: Sengketa Lahan, Pengadilan Makassar Menangkan Warga Bara-barayya
Laut menjadi sumber ekonomi bagi keluarga Syamsiah bersama Ali dan 10 anaknya. Berbagai pekerjaan dia lakukan. Tapi tak ada yang bisa membuatnya bertahan dan sejahtera dibandingkan laut.
Kini para nelayan tude dan kanjappang harus mencari cara lain untuk bertahan hidup. Buruh harian di pabrik, menawarkan jasa cuci piring, atau menjadi payabo bukanlah pilihan, itu jalan satu-satunya.
Kata Syamsiah, laut tak bisa lagi diandalkan, pembangunan MNP membuat nasib mereka kian terseok. Hingga akhirnya, Syamsiah harus menerima keadaan jika anaknya harus putus sekolah.
“Anak ku putus sekolah, itu Aldi harusnya naik mi kelas dua SMP, tak mampu bayar biaya ujian. Sakitnya mamo hatiku itu,” ceritanya.
Perempuan Paling Terdampak Proyek Pembangunan Pesisir Makassar
*M Ian Hidayat dan Alicya Qadryyah Ramadani adalah pegiat sosial dari Makassar. Sehari-hari, Ian bekerja bersama Lembaga Bantuan Hukum Makassar, sedangkan Alicya aktif di UKPM Catatan Kaki Universitas Hasanuddin. Mereka menjadi penerima fellowship Into the Climate Stories Makassar.
Sumber: Mongabay.co.id