- Konferensi perubahan iklim atau Conference of the Parties (COP29) di Baku, Azerbaijan, mestinya jadi ajang memastikan langkah-langkah agar krisis iklim tak makin memburuk. Juga mendesak negara maju serius menangani krisis iklim dan berikan pendanaan yang adil. Berbagai kalangan menilai, Indonesia justru memanfaatkan momen ini sebagai ajang dagang dan cari investasi.
- Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, saat dihubungi Mongabay,pekan lalu menilai, pemerintah seharusnya bisa melihat persoalan lebih nyata terkait deforestasi sebelum bicara reboisasi. Saat ini, banyak proyek pemerintah justru berpotensi memicu deforestasi hutan-hutan tersisa.
- Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, menyebut negara seakan tidak menunjukkan keinginan agar sistem bisa menjamin dan ciptakan kesejahteraan masyarakat.
- Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, narasi perdagangan karbon hanya memperdagangkan krisis yang seharusnya diatasi.
- Advertisement -
Konferensi perubahan iklim atau Conference of the Parties (COP29) di Baku, Azerbaijan, mestinya jadi ajang memastikan langkah-langkah agar krisis iklim tak makin memburuk. Juga mendesak negara maju serius menangani krisis iklim dan berikan pendanaan yang adil.
Bagaimana Indonesia? Berbagai kalangan menilai, Indonesia justru memanfaatkan momen ini sebagai ajang dagang dan cari investasi. Antara lain, tercermin dalam pidato Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden untuk Lingkungan dan Energi di COP29, saat membuka Paviliun Indonesia dan dalam World Leader Climate Action Summit. Dalam dua kesempatan itu, Hashim tak menyinggung masyarakat di Indonesia yang rentan dan alami kerugian dampak krisis iklim.
Adik Presiden Prabowo Subianto ini promosi pasar karbon Indonesia. Dia sebutkan, potensi 500 Gigaton CO2 kapasitas penyimpanan karbon (CCS), maupun nilai karbon market Indonesia ke dunia internasional.
Pernyataan Hashim tentang reboisasi, misal. Dari laman YouTube resmi Paviliun Indonesia Hashim menyebut, akan mereboisasi 12,7 juta hektar lahan terdegradasi. Untuk itu, Hashim membuka pendanaan dari luar negeri dan swasta.
“(Reboisasi) ini tidak hanya akan dibiayai negara, karena kita semua tahu, negara tidak memiliki sumber daya cukup. Kita akan mengundang pihak-pihak yang berminat,” katanya.
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, saat dihubungi Mongabay,pekan lalu menilai, pemerintah seharusnya bisa melihat persoalan lebih nyata terkait deforestasi sebelum bicara reboisasi. Saat ini, banyak proyek pemerintah justru berpotensi memicu deforestasi hutan-hutan tersisa.
“Masalah seperti kebakaran hutan dan lahan, ekspansi lahan perkebunan, food estate, dan proyek strategis nasional, ini yang terus terjadi (memicu deforestasi). Belum kelihatan penyelesaiannya,” kata Nadia langsung dari Baku.
Jadi ada kesan reboisasi tawaran Hashim akan jadi ironi. Ia bisa jadi pembenaran terhadap pembukaan hutan demi kepentingan proyek pemerintah.
Nadia pun mengingatkan, komitmen penurunan emisi sektor forest and land use (FoLU). Dalam dokumen FoLU Net Sink 2030, Indonesia sudah tidak lagi memiliki kuota deforestasi.
“Malahan sudah minus (deforestasi) ya. Jadi harusnya ini dulu dong yang dikerjain, di-address, sebelum berpikir soal reboisasi ini,” seru Nadia.
Terkait peluang pendanaan yang masuk, kata Nadia, seharusnya pemerintah bisa berfokus dulu pada pembangunan hijau dan penurunan emisi yang sudah dicanangkan oleh banyak pihak.
Pemerintah, katanya, jangan mulai proyek baru tanpa ada evaluasi dari kegiatan yang sudah dijalankan.
“Apakah kegiatan-kegiatan itu sudah diukur? Apakah hal-hal itu sudah diperhitungkan. Ini yang belum kita lihat jelas,” katanya.
Tambang nikel mulai beroperasi di gunung di Wawonii. Foto: drone
Kuasa pebisnis
Nadia juga melihat latar belakang Hashim sebagai pebisnis turut memengaruhi pidato dan pernyataan di COP29 yang terkesan jualan. Seharusnya, hal ini tidak boleh dilakukan di ajang pertemuan internasional untuk iklim ini.
Pidato yang Hashim sampaikan tidak seperti pidato kenegaraan, tetapi seperti negosiator bisnis. “Posisi dia di sana sebagai climate envoy. Mewakili negara Indonesia. Dia mungkin lupa, atau mungkin belum merasa seperti itu,” kata Nadia.
Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, menyebut negara seakan tidak menunjukkan keinginan agar sistem bisa menjamin dan ciptakan kesejahteraan masyarakat.
“Apakah kita akan bergantung pada orang-orang kaya ini dan memuja mereka, atau kita mendorong negara menciptakan sistem yang melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak asasi manusia dan lingkungan?” kata Torry langsung dari Baku.
Dalam COP29 ini, paviliun Indonesia didominasi kepentingan bisnis baik dari sponsor maupun acaranya. Tak heran, kepentingan masyarakat tidak terlalu pemerintah suarakan.
Torry juga merujuk pernyataan Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, yang memberi pesan pada negosiator Indonesia untuk mencari kontributor yang mau bekerjasama menurunkan gas rumah kaca.
Pernyataan Hanif merujuk potensi kredit karbon Indonesia. Dia menyebut ada sekitar 577 juta ton kredit karbon di Indonesia dari perhitungan 2014-2020.
“Ini menunjukkan Indonesia main soft diplomacy. Kalau di acara kondangan, seperti orang yang makan menu pinggiran, bukan main course,” kata Torry.
Membeludaknya Delegasi RI dalam kategori Party Overflow hingga lebih dari 200 orang juga makin memperkuat asumsi Torry. Apa lagi, kebanyakan dari delegasi di kategori ini datang dari private sector dan BUMN.
Hutan alam sudah terbabat untuk jadi perkebunan kayu untuk energi di Gorontalo. Transisi energi yang berisiko munculkan banyak masalah. Foto: FWI
Dagang karbon, jualan krisis
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, narasi perdagangan karbon hanya memperdagangkan krisis yang seharusnya diatasi.
“Ini bukan tentang keselamatan rakyat, tetapi komodifikasi sumber daya alam dan penderitaan sosial-ekologis,” katanya.
Dalam COP29, tidak ada narasi dari pemerintah yang menunjukkan posisi Indonesia sebagai negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Padahal, identitas ini penting dan memiliki kekuatan yang signifikan untuk menagih pertanggungjawaban negara-negara maju atau penghasil emisi besar.
“Jadi, ya, yang saya lihat itu hanya event di mana para kongsi dagang krisis ini ketemu dan mempromosikan jualannya saja,” kata Uli.
Upaya pemerintah untuk mengiklankan karbon Uli sebut cara untuk memperpanjang paradigma ekstraktivisme yang selama ini ada di kepala pemimpin negara. Mekanisme ini hanya alat bagi negara dan korporasi untuk melanggengkan eksploitasi sumber daya alam, alih-alih menghentikan akar masalah krisis iklim.
Menurut Uli, perdagangan karbon tidak mengurangi emisi secara langsung, melainkan menggeser tanggung jawab emisi dari satu pihak ke pihak lain. Dalam hal ini tanah, hutan dan biodiversitas sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan. Mirip dengan cara ekstraktivisme memperlakukan alam sebagai sumber daya yang bisa mereka eksploitasi.
“Krisis ini tidak diatasi, tapi diperdagangkan. Hutan dan biodiversitas kita jadi objek untuk menyeimbangkan emisi korporasi besar,” katanya.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) mengatakan, kredit karbon bukan solusi atasi krisis iklim. Mekanisme ini hanyalah cara untuk melanggengkan bisnis untuk beroperasi seperti biasa (business as usual).
Masyarakat Adat Dayak Benua Kualan Hilir protes terhadap penghancuran hutan keramat mereka dengan mendirikan ritual “mandoh” untuk menghalangi alat berat dan menuntut agar Mayawana pergi dari tanah leluhur mereka, Sumber: Auriga Nusantara
Ada kekeliruan cara berpikir dalam memandang kredit karbon. Emisi dari perusahaan penghasil karbon tidak sama dengan beli dari tempat lain.
“Merupakan logika keliru menyamakan emisi dari bahan bakar fosil yang merupakan slow carbon cycle, dengan karbon yang diserap hutan atau fast carbon cycle,” kata Bhima.
Emisi dari fosil sebut Bhima, bertahan lama di atmosfer dan tidak bis begitu saja terimbangi dengan karbon yang terserap hutan. Jadi aneh kalau perusahaan tambang bisa klaim ‘net zero’ hanya dengan membeli kredit karbon.
“Jadi di sini asumsi pertama perdagangan karbon dipatahkan,” ujar Bhima.
Perusahaan penghasil karbon, katanya, tidak peduli walau mereka sudah deforestasi. Lebih parah lagi, di beberapa kasus, konsep aforestasi atau penciptaan hutan buatan kerap mengusir masyarakat yang sudah ada di lokasi itu.
“Masyarakat adat diusir dari tanah mereka atas nama kredit karbon. Ini bukan solusi, ini adalah bentuk baru kolonialisme dalam konservasi,” terang Bhima.
Yang lebih parah, banyak sertifikat karbon yang dijual tidak memiliki dampak nyata terhadap pengurangan emisi. Bhima mengacu pada analisis theGuardian terhadap lembaga sertifikasi Verra.
Dari analisis itu lebih 90% sertifikat offset karbon tidak memiliki peran dalam mencegah deforestasi di hutan tropis. “Ini hanya permainan angka untuk memenuhi klaim perusahaan.”
Bhima langsung mengkritik iklan potensi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) yang diucapkan Hashim. Menurut dia, teknologi ini mahal dan berbahaya di Indonesia.
Berkaca dari kebocoran di Amerika Serikat yang menyebabkan 200 orang dievakuasi dan 45 ke rumah sakit. Bukan tidak mungkin potensi serupa terjadi di Indonesia, negara ring of fire yang rawan bencana.
Dari sisi biaya, katanya, CCS/CCUS terbukti lebih mahal dari investasi energi terbarukan, seperti PLTS skala utilitas ataupun industri. Butuh investasi lebih dari Rp30,2 juta Kwh pada 2020 dan lebih dari Rp22,01 juta/Kwh di 2050 untuk PLTU dengan CCUS. Sedang invstasi PLTS perlu Rp6,3 juta/Kwh di 2050.
“Jangan kita terlena dengan solusi yang mahal ini,” katanya.
Hendro Sangkoyo, Peneliti dan Pendiri Sekolah Ekonomi Demokrasi (SED), menyebut, mekanisme perdagangan karbon merupakan akal-akalan negara maju dan industri penghasil emisi tinggi. Upaya ini untuk menjaga bisnis mereka tetap berjalan dan seolah mereka melakukan transisi energi.
“Spotlight dipindahkan ke negara tropis dengan narasi bahwa emisi mereka bisa dinetralkan oleh hutan. Ini fiksi yang memanfaatkan ketidaktahuan banyak orang.”
Pembukaan lahan tanpa izin untuk dijadikan kebun sawit ini dilakukan sejak Juli 2022. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
*********
Izin Sawit Berganti Tanaman Energi, Hutan Gorontalo Terus Terancam
Sumber: Mongabay.co.id