- Para eks transmigran Timor Timur sudah sekitar 24 tahun berada di Kabupaten Buleleng. Tanah yang mereka tempati di Sumberklampok ini berada di kawasan hutan dengan status hutan produksi terbatas. Hingga kini mereka belum ada kejelasan hak tanah.
- Ada lebih 100-an keluarga eks transmigran Timor Timur yang kembali ke Bali. Awal mula di Bali, mereka berasal dari Karangasem 46 keluarga, Buleleng 59 keluarga, Badung dua keluarga.
- Ketika di Timor Timur, warga transmigran sudah membangun kehidupan. Ni Kadek Yasmini, dan keluarga, misal, mendapat tiga bidang tanah: tanah pekarangan untuk rumah, tanah basah untuk sawah, dan tanah kering untuk kebun. Pekarangan dia tanami aneka buah karena cukup luas, sekitar 25 are. Ada mangga, pisang, dan buah lain. Di lahan basah, kebanyakan mereka tanam padi. Kembali ke Bali, Indonesia, malah tak ada kejelasan ruang hidup.
- Ni Made Indrawati, Koordinator Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Wilayah Bali mengatakan, reforma agraria memberi akses pada perempuan dan laki-laki. Karena itulah, dalam advokasi persoalan tanah lain di Desa Sumberklampok, memastikan ada perempuan yang mendapat hak, bukan karena janda.
Ketika musim panas, cuaca di Desa Sumberklampok, Kabupaten Buleleng, Bali, berangin dan berdebu. Malam itu, usai dari ladang, para perempuan eks transmigran Timor Timur (TimTim) berkumpul. Mereka duduk bersama Ni Made Indrawati, Koordinator Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Wilayah Bali.
“KPA nyuruh demo?” tanya Indrawati.
- Advertisement -
“Tidak.” Teriak para perempuan kompak.
“Kita sendiri menuntut hak.”
Para perempuan berada di garis depan berjuang untuk mendapatkan lahan ruang hidup. Sudah 20 tahun lebih masyarakat eks transmigran Timor Timur berjuang mendapatkan hak lahan yang tak kunjung datang, tetapi para perempuan ini terus bersemangat. Mereka sumringah. Puluhan perempuan, generasi pertama dan kedua eks transmigran ini siap beraksi di garis depan. Letupan energi ini terasa saat rapat pertama pada 28 Agustus 2023, malam itu.
Indra, panggilan Indrawati memulai diskusi santai malam itu. Sedikitnya 25 perempuan duduk saling berhadapan. Indra di kursi paling ujung. Dia rapat marathon hari ini, bersama anak-anak muda, kemudian pimpinan kelompok kerja penyelesaian konflik ini. Tak terhitung koordinasi lewat telepon serta dalam jaringan (online).
“Merasakan tidak masalah ini tidak beres-beres? Undang-undangnya benar, penguasaan benar, kenapa tidak beres-beres?” Apakah ada komando di aksi nanti?”
Indra menyemangati bahwa semua tahapan perjuangan akses tanah sudah mereka lakukan, termasuk kajian hukum nasionalnya. Para perempuan mengerjakannya bersama.
“Kita bersama. Kesepakatan ibu-ibu.”
Pada 28-31 Agustus 2023 itu mereka mau aksi besar-besaran menutup Jalan Raya Gilimanuk-Singaraja, di depan Balai Banjar Adat Bukit Sari. Tempat itu lokasi berkumpul komunitas petani yang lebih 20 tahun berjuang mendapatkan akses lahan.
Ruang hidup mereka belum jelas meskipun telah puluhan tahun menyuarakan kepada pemerintah untuk dapat kelola lahan. Ruang hidup mereka masih berstatus kawasan hutan.
Mereka ingin ambil momentum saat peringatan 24 tahun referendum atau jajak pendapat yang menjadikan Timor Timur lepas dari Indonesia, jadi negara berdaulat, Timor Leste, pada 30 Agustus 1999.
Peristiwa ini adalah suka cita bagi warga pro kemerdekaan Timor Timur. Sebaliknya, ia jadi awal duka bagi warga transmigran yang harus kembali dari Timor Timur, ke Bali. Sebanyak 107 keluarga transmigran yang sudah sukses bertani dan bermukim di lahan mereka dan garapan dua hektar per keluarga terpaksa kembali ke Bali dengan tangan hampa.
Di Bali, mereka luntang lantung, pun tak punya tempat tinggal apalagi lahan untuk berkebun maupun bertani dan akhirnya membangun hidup di Sumberklampok tanpa kejelasan lahan hingga kini.
Plang protes warga di depan Balai Banjar Bukit Sari, Sumberklampok, Buleleng, Bali. Foto: Luh De Suryani/Mongabay Indonesia
Kilas di Timor Timur
Ni Kadek Yasmini, dijemput suami ke Timor Timur untuk tinggal di Desa Remea, Kabupaten Covalima, Timor Timur. Perempuan 50 tahun ini bersama keluarga mendapat tiga bidang tanah: tanah pekarangan untuk rumah, tanah basah untuk sawah, dan tanah kering untuk kebun.
Pekarangan dia tanami aneka buah karena cukup luas, sekitar 25 are. Dia tanam mangga, pisang, dan buah lain. Di lahan basah, kebanyakan dia tanam padi.
“Air banyak. Kami perempuan bisa semua hal yang dikerjakan suami. Rumah disiapkan pemerintah, dari papan. Yang buat semangat, transmigran kan cari pengalaman. Ada tanah, pokoknya hidup maju saja bayangannya, ingin mengubah nasib. Yang penting punya tanah,” katanya.
Semangat memulai hidup baru sebagai transmigran di tanah asing tidak menakutkan. Mereka sudah dijanjikan lahan garapan.
Asa hidup lebih baik di tempat baru tak berlangsung lama. Saat jajak pendapat di Timor Timur pada 1999, mereka was-was karena melihat kondisi memanas, rumah-rumah ada yang dibakar.
Para transmigran pun ditempatkan di wilayah perbatasan yang sering terjadi perang antara militer Indonesia dengan kelompok kemerdekaan Timor Timur.
“Kejadian buruk saat rumah-rumah warga sana dibakar. Rumah kami tidak. Sebelum pemilihan (jajak pendapat) tak boleh keluar, setelah merdeka [Timor Timur warga transmigran] langsung dipulangkan.”
Timor Timur jadi negara koloni Portugis abad ke-16, lebih 450 tahun dikenal sebagai Timor Portugis. Pada 28 November 1975, Front Revolusi Kemerdekaan Timor-Leste (Fretelin) memproklamasikan kemerdekaan Timor Leste. Sembilan hari setelah itu, Indonesia invasi ke Timor Timur dan mengumumkan sebagai provinsi ke-27.
Pada masa pendudukan Indonesia, sejak 1976, Timor Timur alami konflik bersenjata antara kelompok kemerdekaan terutama Fretilin, dan militer Indonesia hingga menyebabkan banyak korban jiwa. Infrastruktur Timor Leste pun rusak.
Pada 30 Agustus 1999, PBB mengadakan referendum di Timor Timur untuk menentukan nasib wilayah itu. Mayoritas rakyat Timor Timur memilih merdeka dari Indonesia.
Pasca referendum, milisi pro-Indonesia lakukan kekerasan dan pembakaran di Timor Timur. PBB mengirim pasukan Interfet guna memulihkan keamanan dan stabilitas di sana. Pada 20 Mei 2002, Timor Timur resmi merdeka dari Indonesia dan jadi negara anggota PBB. Wilayah ini jadi negara berdaulat dengan nama Timor Leste.
Yasmini membagi salah satu pengalaman buruk melihat sejumlah rumah dibakar karena konflik tentara dan milisi, antara anti dan pro kemerdekaan. Meskipun begitu, kenangan manis punya lahan dan bisa bercocok tanam tak pernah dia lupakan.
“Paling membahagiakan di TimTim saat musim panen, hasil melimpah. Walau mahal bisa beli misal telur Rp1.200 per biji, saat datang di Bali harga hanya Rp200, saya tidak bisa beli.”
Walau sebelum ke Timor Timur dulu dia sempat khawatir tak mendapatkan kehidupan lebih baik, ternyata setelah di sana dia senang.
“Di sini (di Bali–kampung sebelum transmigran) di mana berkebun? Kalau untung bisa jadi buruh nyuci, setrika. Siapa tahu di TimTim nasib berubah. Awalnya pasti bingung, ternyata setelah tahu baru senang. Nyaman lihat kebun ada padi, lahan datar,” katanya.
Sebagian besar perempuan yang lain juga merasa senang saat tinggal di Timor Leste karena tanah subur dan akses air mudah. Kebalikan ketika saat di Bali dan kembali lagi ke Bali.
Kapal laut yang mengangkut para transmigran penuh penumpang. Doben Solo, nama kapal besar seperti kapal pesiar. Duduk dan tidur pun berjejal. Setelah berlayar tiga malam, turun di Atambua dan istirahat beberapa minggu. Lanjut lagi naik fery ke Lembar-Lombok, sampai Padangbai-Bali.
Mereka berkendara menuju Buleleng, tempat asal dan ditempatkan di gedung kesenian, disambut keluarga dan bupati.
“Apa guna sertifikat tanah kami di TimTim? Tidak berguna di Bali.”
Tanah yang masuk kawasan hutan dengan kondisi sulit air di Sumberklampok. Foto: Luh De Suryani/Mongabay Indonesia
Perjuangan puluhan tahun
Ada lebih 100-an keluarga eks transmigran Timor Timur yang kembali ke Bali. Awal mula di Bali, mereka berasal dari Karangasem 46 keluarga, Buleleng 59 keluarga, Badung dua keluarga. Mereka dari tiga gelombang transmigran, pertama, kedua dan ketiga. Gelombang pertama pada Mei 1985, disusul tahun-tahun berikutnya.
Kini, para eks transmigran Timor Timur sudah sekitar 24 tahun berada di Kabupaten Buleleng. Lahan yang mereka tempati di Sumberklampok ini berada di kawasan hutan dengan status hutan produksi terbatas.
Ketika kembali ke Bali, ada tiga opsi pemerintah tawarkan untuk mendistribusikan warga. Pertama, mengikuti program transmigrasi ke Riau. Kedua, kembali ke Timor Timur— kemudian jadi Timor Leste–, ketiga, menerima uang Rp5,9 juta.
“Saya sudah trauma dipindahkan, tidak mau transmigrasi lagi. Sudah punya empat anak saat itu,” kata I Nengah Kisid, Ketua Kelompok Kerja Warga Eks Transmigran Timor Timur.
Warga menolak dan tinggal sementara selama satu tahun di Gedung Transito Transmigrasi di Singaraja, ibukota Buleleng.
Sampai pada September 2000, pengungsi transmigran eks Timor Timur ini pindah ke Desa Sumberklampok tanpa legalitas. Mereka ditempatkan di Balai Banjar Sumberbatok selama sekitar dua bulan. Setelah itu pindah ke kawasan hutan RTK.19 wilayah Sumberklampok.
Warga berjuang sendiri untuk legalitas lahan. Mereka dapat pinjaman empat are lahan pekarangan dan 50 are lahan pertanian per keluarga.
“Kami mulai membersihkan lahan dan membangun gubuk dari daun kelapa dan kayu, hasil pembersihan semak belukar,” katanya.
Di sinilah masalah muncul, bahan makanan bantuan menipis, warga kelaparan. Sampai akhirnya sejumlah donatur bersimpati dan menggalang bantuan dana.
Karena warga menempati kawasan hutan, pemerintah berupaya agar warga keluar dari sana. Sukarma, Sekretaris Daerah Buleleng waktu itu sempat menawarkan Rp17 juta sebagai pengganti lahan pertanian dan ramuan (bahan) perumahan.
Warga eks transmigran menolak. Kisid pernah dapat tawaran tanah dan rumah kalau bersedia meninggalkan warga, tetapi dia tidak mau.
“Tombokan, saya tidak mau meninggalkan adik dan warga lain. Mau berjanji mengawal pengungsi,” katanya.
Warga berunjuk rasa menolak pindah pada 2002. Unjuk rasa dengan menutup jalan dengan sakepat (balebengong). Pemerintah pun setop bantuan ramuan rumah.
Saat sedang aksi, Bupati Bagiada turun ke lokasi, dan berembug dengan perwakilan pengungsi. Bupati menantangani surat pernyataan tertanggal 24 September 2002. Dalam surat itu dia menyatakan, permasalahan lahan eks transmigrasi Timor Timur di Sumberklampok sepenuhnya akan diperjuangkan Bupati Buleleng.
Ada dua hal yang akan dia perjuangkan, yaitu, bantuan ramuan bahan perumahan yang ketika itu ditangani Dinas Kependudukan Bali dan status tanah atau kepemilikan hak lahan. Lagi-lagi, masih janji.
Selama memperjuangkan legalitas lahan, berbagai upaya mereka lakukan dari audiensi dengan pemerintah daerah, pemasangan tanda batas di masing-masing lahan garapan dan pekarangan, sampai membentuk Tim Kerja Pengungsi asal Bali untuk permohonan pengelolaan kawasan hutan ini.
Mereka pun menyusun data obyek dan subyek reforma agraria, fasilitas umum, dan fasilitas sosial. Kemudian, juga ada surat pernyataan masyarakat eks transmigran untuk tak memindahtangankan atau menjual lahan di kawasan hutan ini nantinya.
Pada 10 April 2008, sebagai bentuk keseriusan, sekitar 107 keluarga menandatangani kesepakatan penggunaan lahan di kawasan hutan ini. Kesepakatan itu berisi beberapa hal berikut:
*Memang benar kami telah menempati tanah kawasan HPT di Desa Sumberklampok, seluas 4 are untuk pemukiman dan pertanian 50 are sejak 2000 sampai sekarang.
*Apabila pemerintah memberikan kepastian hukum makan kami tidak memindahtangankan atau menjual kepada pihak lain kecuali pada hak waris sah. Berjanji, tanah yang digarap untuk lahan pertanian akan kami garap secara turun temurun.
*Kami tidak akan mempeluas secara ilegal dan menjadi mitra pengelola HPT dan turut menjaga kawasan hutan sekitarnya.
Setelah kesepakatan itu, pemerintah melalui Gubernur Bali, Dewa Made Berata mengajukan permohonan kawasan hutan untuk pemukiman eks transmigran ke Menteri Kehutanan maupun Bupati Buleleng.
Kemudian, Perbekel (Kepala Desa) Sumberklampok mengeluarkan surat keterangan pekarangan dan garapan, fasilitas umum, ke masyarakat eks transmigran.
Para perempuan eks transmigran ini hampir semua bertani. Mereka tangkas menyabit untuk pakan ternak tiap hari, menyiapkan lahan, membuat bibit, memanen, memproduksi pangan untuk rakyat dan pejabat. Sayangnya, kepastian lahan garapan saja kini belum ada kejelasan.
***
Suasana Balai Banjar Adat Bukit Sari pada 30 Agustus 2023 cukup menegangkan. Warga berdiskusi berpindah-pindah sejak siang sampai malam hari. Pada tengah hari, belasan warga duduk di bawah pohon beringin di halaman depan banjar. Mereka kembali membahas rencana aksi.Indra berkali-kali menerima telepon dari sejumlah pejabat Pemerintah Buleleng dan kepolisian. Para pejabat dan polisi sudah tahu rencana aksi ke jalan pada 31 Agustus 2023. Bahkan sudah ada desain peta pengalihan jalan yang dibuat kepolisian, meminta warga mencari jalan alternatif.
Sore hari, Indra mendapat kabar, Ketut Lihadnyana, Pj Bupati Buleleng akan ke Balai Banjar. Warga masih ada di balai banjar.
Dengan bantuan pengeras suara, ada yang mengumumkan agar warga segera ke balai banjar. Kurang 15 menit, puluhan warga sudah berkumpul. Perempuan, laki-laki, tua, muda, sampai anak kecil.
Rombongan Pj Bupati, Ketua DPRD Buleleng, camat, kepala desa, kapolsek, kodim, dan lain-lain datang. Lebih 100 orang lesehan di lantai, kursi tak bisa menampung semuanya.
Indra menjelaskan singkat kronologis persoalan eks transmigran di Sumberklampok ini, terutama mengenai upaya mereka mendapatkan surat keputusan pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)–kini jadi dua kementerian terpisah. Sudah hampir satu tahun dari pengiriman surat terakhir ke KLHK, belum ada kabar.
Diskusi berlangsung cukup riuh karena beberapa kali warga menimpali atau mengklarifikasi pernyataan sejumlah pejabat. Misal, ketika Pj Bupati nyatakan baru tahu dan tak tahu surat permohonan Pemerintah Buleleng ke kementerian seperti dalam arsip warga.
“Saya memaklumi kekesalan. Kalau hanya pekarangan, apa yang bisa jadi sumber penghidupan…kami serius menyelesaikan,” janjinya.
Nengah Kisid meminta Pemerintah Buleleng jangan hanya janji dan tiap pergantian pimpinan merasa tak tahu masalah.
Luh Rasmin, istri mediang Ketut Tiles–dulu transmigrasi di Desa Raimea, Kovalima, membawa tiga sertifikat tanah di Timor Timur. Ada lahan pekarangan 25 are, lahan basah 75 are, dan lahan kering 100 are.
“Lahan saya subur, datar.” Sekarang Rasmin sakit-sakitan. “Saya dirawat anak perempuan saya.”
Tanah begitu berarti baginya. Dalam regulasi pertanahan juga disebutkan hak atas tanah setara untuk laki-laki dan perempuan. Namun di Bali, ada keyakinan adat bahwa yang berhak mendapat warisan tanah orang tuanya atau guna kaya prioritas anak laki-laki atau garis keturunannya.
Warga eks transmigran menunjukkan sertifikat tanah di TimTim. Foto: Luh De Suryani/Mongabay Indonesia
Hak atas tanah perempuan Bali
Indrawati beberapa kali menyampaikan kepada para perempuan eks transmigran ini bahwa reforma agraria memberi akses pada perempuan dan laki-laki. Karena itulah, dalam advokasi persoalan tanah lain di Desa Sumberklampok, dia memastikan ada perempuan yang mendapat hak, bukan karena janda.
“Kalau tidak mau registrasi itu saya tidak mau urus, ini di HGU (hak guna usaha). Kita kembalikan hukum secara nasional.”
Indra mengatakan, persoalan lahan HGU Sumberklampok sudah ada penyelesaian sebagian dengan 29 perempuan peroleh tanah bersertifikat. Bukan hanya janda, yang jadi sebagai pengganti suami.
Sedangkan permohonan tanah eks transmigran sekitar 136 hektar dengan pemohon atas laki-laki akan punya hak individu 50 are.
Ada tanah 63 hektar untuk hak komunal bukan fasilitas sosial maupun fasilitas umum, tetapi lahan penunjang ekonomi masyarakat.
“Ini hak perempuan dapat tanah untuk memperkuat organisasi mereka. Mereka harus dibekali, secara aset dan akses. Legal aset dan akses reform dapat.”
Bukan pekerjaan mudah wujudkan perempuan Bali memiliki hak tanah termasuk di Sumberklampok. Hak atas tanah agi perempuan ini sudah mulai mereka diskusikan sejak lama. Terlebih, dalam perjuangan dapatkan hak tanah ini perempuan banyak berperan.
Kalau sudah KLHK lepaskan dari kawasan hutan dan akan ada kesepakatan bersama.
“Berapa dijatahkan untuk tanah kolektif. Apakah akan dibagi atau hak kolektif organisasi perempuan?”
Sejumlah model sedang mereka bahas. Misal, ada kebun kolektif perempuan untuk kebun sarana persembahyangan atau sesajen.
“Tunggu redistribusi, pelepasan dari kawasan hutan baru eksplorasi ulang. “Minimal dua hektar,” kata Indra.
***
Pada Hari Raya Purnama, 31 Agustus 2023 itu, puluhan warga eks transmigran Timor Timur juga berkumpul di Pura Balai Banjar, yang jadi simbol perjuangan mereka. Pemimpin persembahyangan merapalkan doa-doa dibarengi suara denting genta.
Nengah Kisid mengajak warga menyampaikan harapan dalam doa-doa demi kelancaran perjuangan. Sembahyangan mulai dengan memanjatkan Mantram Gayatri, induk dari semua mantra yang tak hanya digunakan oleh umat Hindu di Bali.
“Om bhur bhuvah svahtat savitur varenyambhargo devasya dhimahidhiyo yo naha pra-chodayatom bhur bhuvah svahtat savitur varenyambhargo devasya dhimahidhiyo yo naha pra-chodayatom bhur bhuvah svahtat savitur varenyam”
Mantram Gayatri, diyakini memiliki kekuatan untuk memusatkan pikiran, membantu menenangkan diri ketika hadapi situasi bimbang dan penuh tekanan.
Kemudian lanjut Panca Sembah, mengatupkan tangan di atas kepala, dipimpin doa-doa dan nada genta dari pemimpin persembahyangan.
Warga gunakan bunga yang mereka tanam untuk sarana memanjatkan doa. Ada bunga pacar air atau pacah dalam Bahasa Bali. Bunga warna-warni, putih, ungu, dan merah.
Usai sembahyang, warga tak langsung pulang. Mereka duduk lesehan dan diskusi lagi di lantai Balai Banjar soal tindaklanjut kesepakatan. Warga berharap, ada titik cerah dan kejelasan mengenai kepastian ruang hidup mereka.
Di Bali, perlawanan tak hanya dalam bentuk protes di jalan atau ruang diskusi. Salah satu cara yang memberi energi adalah jalan spiritualitas, melalui persembahyangan bersama.
“Bagaimana memikirkan budidaya kalau tidak punya tanah. Minimal tanah, modal dasarnya.”
******
*Tulisan ini terbit atas kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Petani Eks Transmigran Timor Timur Menanti Kejelasan Lahan dari Kementerian LHK
Sumber: Mongabay.co.id