- Ikan betutu (Oxyeleotris marmorata) adalah jenis ikan air tawar yang memiliki julukan ikan bodoh, ikan pemalas, bahkan ikan hantu karena memiliki wajah yang seram.
- Julukan ikan bodoh dan pemalas karena terlihat seperti sedang tidur dan berdiam diri hingga berjam lamanya. Sebagai ikan air tawar, jenis ini dapat ditemukan di air dengan kadar garam rendah di sekitar muara sungai dan kanal.
- Namun di balik julukannya yang beranekaragam itu, ikan betutu memiliki nilai gizi protein tinggi, salah satunya mengandung albumin, yang berkhasiat untuk penyembuhan luka pasca-operasi agar cepat kering.
- Ikan ini juga bisa membawa manfaat ekonomi, karena potensi ekspor yang tinggi. Seperti yang dilakukan pelaku usaha budidaya ikan betutu yang telah melakukan ekspor ke Malaysia, Singapura, dan China, dan pengiriman dominan ke Kuala Lumpur. Sementara untuk pengiriman lokal banyak ke Jakarta dan Batam.
Pernahkah Anda mendengar nama ikan bodoh? Kadang disebut juga ikan pemalas. Saking malasnya, dalam bahasa Inggris disebut sleeper fish, karena selalu terlihat seperti tidur dan berdiam diri, hingga berjam lamanya.
Wajahnya yang tampak seram, membuatnya dijuluki si buruk rupa. Namun, di balik berbagai sebutan tersebut, ikan ini memiliki nilai dan manfaat ekonomi yang tinggi.
Jenis ini, secara umum dikenal dengan nama ikan betutu (Oxyeleotris marmorata). Namun, di beberapa tempat di Indonesia, dipanggil juga ikan hantu.
Sepintas, penampakannya seperti ikan gabus namun secara ordo berbeda karena termasuk Gobiiformes. Secara habitat, hidupnya di sungai, danau, rawa, parit, dan kolam dengan dasar berlumpur, berpasir, atau berkerikil. Ikan ini juga dapat ditemukan di air dengan kadar garam rendah, di sekitar muara sungai dan kanal.
Baca: Ikan Gabus Dapat Pulihkan Luka Setelah Operasi Persalinan?
- Advertisement -
Ikan betutu [Oxyeleotris marmorata] masih didapatkan di Sungai Musi wilayah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Salatan. Foto: Muhammad Luthfi/Mongabay Indonesia
Dikutip dari fishbase, ikan betutu bisa mencapai panjang 65 sentimeter dengan bentuk tubuh ramping, kepala datar, dua sirip punggung, dan sirip ekor bulat. Matanya bulat dengan tubuh cokelat dan bercak gelap.
Persebarannya di kawasan Asian Tenggara, termasuk Indonesia, serta diperkenalkan di Taiwan sebagai ikan budidaya. Perilakunya cukup unik dan tergolong nokturnal atau aktif malam hari dengan gerakan lambat.
Siang hari, ikan malas ini beristirahat di dasar, berlindung di antara bebatuan dan tanaman. Ia dapat bereproduksi ketika panjangnya mencapai sekitar 4 inci (10 cm). Ikan jantan merawat telur dan menjaga anak-anak yang baru menetas. Larva pada awalnya melayang bebas, tetapi menjadi penghuni dasar 25 hingga 30 hari setelah menetas.
Mengonsumsi ikan pemalas ini ternyata memiliki banyak manfaat, karena bernilai gizi dan protein tinggi; salah satunya mengandung albumin, yang berkhasiat untuk penyembuhan luka pasca-operasi agar cepat kering. Hal itu dikarenakan albumin bisa mempercepat panyatuan jaringan kulit di dalam tubuh.
Foto: Gabus, Ikan Favorit di Sungai Musi
kan betutu dipercaya masyarakat Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan dapat menyembuhkan luka dan patah tulang. Foto: Aghi Rahmat Auzan/Mongabay Indonesia
Potensi Ekspor Ikan Bodoh
Sejumlah warga telah membudidayakan ikan pemalas ini untuk diperdagangkan, sehingga bernilai ekonomi tinggi. Dalam sebuah penelitian, di Kecamatan Muara Bengkal, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, disebutkan warga di sana telah membudidayakan betutu ini sejak 1997. Ikan ini tidak hanya dipasarkan di restoran lokal atau kota besar, tapi juga ke luar negeri seperti Singapura dan Jepang.
“Pangsa pasarnya cukup bergengsi, karena dipasok ke restoran-restoran kota besar, bahkan menjadi komoditi ekspor dengan harga cukup tinggi. Harga mahal disebabkan cita rasanya yang lezat, serta dagingnya yang putih dan empuk,” ungkap Elly Purnamasari, dalam publikasi ilmiahnya mengenai prospek usaha budidaya ikan pemalas.
Belum lama ini, pada Juni 2024, pelaku usaha perikanan, Ali Giyono, di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, mengatakan telah melakukan ekspor ikan betutu ke Malaysia, Singapura, dan China, dan pengiriman dominan ke Kuala Lumpur.
Sementara untuk pengiriman lokal, banyak ke Jakarta dan Batam. Namun, Ali menyebut bahwa sebagai pelaku budidaya, ia menghadapi kendala yakni hasil tangkapan tidak bisa memenuhi permintaan dan maskapai pesawat di Palangka Raya sangat terbatas.
“Ekspor yang telah dilakukan, berupa ikan betutu hidup dan mati atau frozen yang harganya lebih murah. Pengiriman dilakukan menggunakan cargo pesawat dengan maksimal 35 jam dari packing sampai bongkar,” ungkap Ali, dikutip dari Kalteng Terkini,
Baca juga: Ikan Toman, Predator yang Berkembang Cepat di Sungai Purba Belitung
Ikan gabus yang memiliki manfaat untuk kesehatan tubuh manusia. Foto: Fadhil Nugraha/Mongabay Indonesia
Hasil Riset
Dalam penelitian yang dilakukan Elly Purnamasari, disebutkan juga mengenai permasalahan yang dihadapi para pembudidaya ikan ini, yakni sulit mendapatkan benih secara berkelanjutan karena selama ini yang digunakan berasal dari hasil tangkapan di alam.
Apalagi, benih ikan ini sangat kecil dibandingkan benih ikan air tawar lainnya yang menyebabkan daya hidupnya cukup rendah. Belum lagi, munculnya hewan-hewan pemangsa ataupun kebiasaan buruk kanibalisme yang semakin memperlemah laju perkembangbiakan yang lamban tersebut.
“Ikan betutu yang dipelihara sering terkena penyakit. Gejala yang ditunjukan berupa luka borok yang muncul pada bagian tubuh dan sirip, gaya berenang tidak stabil, sering mengapung di permukaan, dan tubuh terasa kasar,” tulis peneliti.
Permasalahan lain yang disebutkan dalam penelitian itu adalah para pembudidaya berada dalam posisi tawar lemah, karena kurang berperan dalam penentuan harga dan penjualan hasil produksi.
Jika hasil produksi sedikit, terkadang pedagang besar tidak datang untuk membeli. Hal ini dilakukan pedagang besar karena biaya yang digunakan untuk menjangkau lokasi produsen cukup besar dan tidak sebanding dengan penerimaan yang diperoleh.
“Akibatnya, pembudidaya terpaksa memperlambat panen yang berisiko terhadap peningkatan biaya produksi,” paparnya.
Foto: Ikan yang Masih Bertahan di Sungai Musi
Sumber: Mongabay.co.id