- Bertahun-tahun, Indonesia mengandalkan kepiting dan rajungan sebagai bagian dari komoditas andalan ekspor untuk sektor perikanan. Keduanya bersaing sehat dengan komoditas andalan lain, yaitu tuna, cakalang, tongkol (TCT) dan rumput laut
- Dari lima spesies kepiting yang ada di dunia, Indonesia memproduksi rajungan dan kepiting bakau. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan Indonesia memproduksi kepiting bakau jenis Scylla serrata dan Scylla olivacea
- Selain itu, rajungan menjadi salah satu kontributor ekspor produk perikanan Indonesia. Sebagian besar rajungan adalah hasil produksi yang dilakukan olen nelayan skala kecil dengan menggunakan kapal ikan skala kecil dengan ukuran kurang dari 10 gros ton (GT)
- Sayangnya, praktik penangkapan yang masif dan tidak ramah lingkungan membuat kondisi perikanan rajungan dalam kondisi buruk. Bagaimana strategi agar produksinya berkelanjutan?
Kepiting (crab) adalah salah satu komoditas perikanan yang tinggi peminat dan diperdagangkan secara global. Terdapat lima jenis kepiting yang diperdagangkan oleh banyak produsen dari seluruh dunia dan menjadi produk komersial terkemuka.
Kelimanya, adalah dungeness crab (Metacarcinus magister), alaska snow crab (Chionoecetes opilio), chinese mitten crab (Eriocheir sinensis), blue king crab (Paralithodes spp.), blue swimming crab (Portunus pelagicus), dan mud crab (Scylla spp.).
Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Budi Sulistyo dalam booklet Profil Pasar Kepiting yang diterbitkan pada Desember 2023 menyebutkan jenis kepiting yang banyak diproduksi di Indonesia dan menjadi komoditas ekspor bernilai ekonomi tinggi, adalah rajungan (blue swimming crab/BSC) dan kepiting bakau (Scylla spp.).
Setiap tahun, Indonesia berkontribusi pada pasar global kepiting dengan mengekspor komoditas tersebut secara rutin. Khusus kepiting bakau, Indonesia biasa menangkap dan melaksanakan kegiatan budi daya komoditas yang biasa hidup di kawasan mangrove, estuaria, dan laut.
Merujuk data yang diterbitkan KKP, sepanjang 2021 Indonesia memproduksi kepiting bakau jenis Scylla serrata dan Scylla olivacea. Produksi Scylla serrata Indonesia pada 2021 mencapai 18.232 ton atau 14,0 persen dari total produksi dunia.
Sementara, produksi kepiting bakau jenis Scylla olivacea pada 2021 mencapai 7.633 ton atau mencakup 24,3 persen dari total produksi dunia. Secara global, produksi kepiting bakau pada 2021 mencapai total 313.807 ton, dengan 93,5 persen produksi budi daya, dan 6,5 persen dari tangkapan di alam.
- Advertisement -
Baca : Kepiting Bakau, Sumber Ekonomi Nelayan Langkat yang Tak Lagi Memukau
Sebagai produsen besar di dunia, Indonesia memiliki lima sentra budi daya kepiting terbesar di Provinsi Kalimantan Selatan dengan capaian produksi sebesar 4.763 ton, Kalimantan Timur mencapai 4.628 ton, Sulawesi Selatan sebesar 1.571 ton, Aceh sebesar 1.339, dan Jawa Barat sebesar 496 ton.
Secara keseluruhan, sepanjang 2022 Indonesia berhasil memproduksi kepiting sebanyak 14.214 ton dengan nilai ekonomi mencapai Rp986 miliar. Adapun, produk turunan kepiting bakau di Indonesia, adalah kepiting bakau dan kepiting soka.
Sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi, pasar ekspor global kepiting masih didominasi produk dari Rusia dengan nilai ekspor mencapai USD2,51 miliar atau mencakup 41,70 persen dari total ekspor kepiting dunia. Sedangkan Indonesia, ada di peringkat tujuh dengan kontribusi sebesar USD0,11 miliar.
Meskipun demikian, kompetitor utama Indonesia untuk jenis kepiting Scylla serrata adalah Myanmar dan Vietnam, dengan nilai ekspor masing-masing sebesar USD0,10 miliar dan USD0,09 miliar. Sedangkan dalam produksi kepiting jenis Scylla serrata, Indonesia berada jauh dibawah Vietnam dan Filipina.
Produsen Rajungan Ketiga Terbesar Dunia
Selain dua jenis kepiting di atas, rajungan (blue swimming crab/BSC) juga menjadi salah satu kontributor ekspor produk perikanan Indonesia. Sebagian besar rajungan yang ada di Indonesia adalah hasil produksi yang dilakukan olen nelayan skala kecil. Biasanya, mereka mencari rajungan dengan menggunakan kapal berukuran kurang dari 10 gross ton (GT).
Tak tanggung-tanggung, hasil produksi yang dikumpulkan para nelayan kecil menjadikan Indonesia sebagai produsen kepiting bakau terbesar ketiga di dunia. Nomor satu dan dua tetap dipegang oleh komoditas tuna dan udang yang sudah menjadi primadona ekspor bagi Indonesia.
Berdasarkan data yang dirilis KKP, permintaan ekspor dan harga rajungan termasuk tinggi. Setiap tahun, Indonesia sukses mengekspor komoditas itu dengan nilai mencapai Rp4,6 triliun, dengan tiga pasar utama yaitu Amerika Serikat (71 persen), Jepang (9 persen), dan Malaysia (7 persen).
KKP menyebutkan salah satu pusat perikanan rajungan ada di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 712 yaitu Laut Jawa dengan kota utama adalah Cirebon, Jawa Barat. WPPNRI 712 menghasilkan 47,5 persen dari total produksi nasional untuk rajungan.
Baca juga : Kepiting dan Rajungan, Apa Perbedaannya?
Kepiting bakau dari Lorang Aru, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Foto : Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia
Sayangnya penangkapan rajungan di alam yang massif, bukan hanya memberi kontribusi positif pada perputaran roda perekonomian nasional. Di sisi lain, penangkapan itu berkontribusi buruk pada keberlangsungan ekosistem laut dan pesisir, karena praktik penangkapan yang tidak ramah lingkungan.
KKP sudah mengakui kalau praktik penangkapan rajungan yang dilakukan nelayan skala kecil saat ini sudah mengancam keberlangsungan hewan laut yang masuk kelompok krustasea di habitat aslinya.
Ancaman yang timbul dari praktik penangkapan, adalah karena menangkap secara berlebihan, alat tangkap yang merusak lingkungan, serta tantangan serius untuk melindungi tempat pembibitan dan pemijahan dalam perikanan rajungan.
Populasi Rajungan Memburuk
Koordinator Indonesia Blue Green Advisors Imam Syuhada secara khusus menjelaskan kepada Mongabay tentang rajungan di Indonesia. Menurutnya, rajungan saat ini dalam kondisi yang buruk, walaupun Pemerintah Indonesia menganggap sebagai perikanan prioritas.
Bersama udang, tuna, tongkol, cakalang, dan tilapia, rajungan ditetapkan KKP masuk dalam program hilirisasi selama periode 2024-2029. Keenam komoditas prioritas dari sektor perikanan tersebut bersaing dengan 22 komoditas lain yang diprioritaskan oleh pemerintah.
Sebagian besar, stok ikan dieksploitasi secara besar-besaran dengan rasio potensi pemijahan (SPR) turun di bawah tingkat target—dalam beberapa kasus. Bahkan, kurang dari 20 persen SPR, yang menandakan eksploitasi berlebihan yang parah.
Selama lima tahun terakhir, dilakukan penilaian pada wilayah yang menjadi target produksi rajungan, yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Berdasarkan penilaian itu, terungkap fakta bahwa status stok sangat buruk, dengan beberapa wilayah di Jabar melaporkan tingkat SPR di bawah 15 persen.
Dia menyebut, kondisi yang buruk tersebut salah satunya karena tata kelola perikanan rajungan di Indonesia masih memberlakukan standar peraturan menteri kelautan dan perikanan (Permen KP) untuk tingkat nasional.
“Sementara, implementasi di lapangan terjadi di tingkat provinsi,” jelasnya.
Imam menilai, pendekatan ganda itu memungkinkan kerangka kerja dijalankan sesuai standar provinsi dalam produksi rajungan. Tetapi, kondisi itu sering kali berjalan lambat karena memerlukan koordinasi antara pemerintah provinsi (pemprov) dengan pemerintah pusat, di mana pendanaan dan prioritas mungkin tidak selaras.
Baca juga : Inovasi Budi daya Kepiting Bakau di Batam, Solusi Nelayan dari Kerusakan Pesisir
Inisiasi Pemprov Sentra Produksi Rajungan
Di daerah yang menjadi sentra produksi rajungan, pemprov menjalankan inisiasi untuk melaksanakan tata kelola berdasarkan standar sendiri. Inisiatif itu terlihat positif, karena ada keterlibatan menjanjikan dengan LSM.
“Pemprov kemudian sengaja mengalokasikan dana untuk mendukung pembentukan komite pengelolaan berkelanjutan di tingkat provinsi,” ucapnya.
Melihat keberhasilan yang berjalan di tingkat provinsi, dia yakin pengelolaan tingkat provinsi yang didukung standar nasional dan industri akan menjadi pendekatan yang dipakai untuk melaksanakan produksi rajungan di masa mendatang. Pendekatan itu memungkinkan respons lokal dalam kerangka peraturan yang terpadu.
Selain Lampung, Jabar, Jateng, dan Jatim, dia mengatakan kalau lokasi utama perikanan rajungan di Indonesia ada juga Sulawesi Tenggara. Selain itu, beberapa aktivitas juga tercatat di Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.
Namun, dia menyebut kalau stok di sebagian besar Jawa dan Lampung telah dieksploitasi sepenuhnya, dengan beberapa daerah bahkan menunjukkan tanda-tanda eksploitasi berlebihan. Lebih parahnya, daerah ekspansi seperti Sulawesi dan Kalimantan mengalami keterbatasan informasi stok.
Kondisi itu bisa terjadi, karena informasi mengenai status stok masih kurang melibatkan target yang berasal dari LSM dan industri. Saat ini, intervensi LSM dan industri masih berfokus pada daerah-daerah utama seperti Jabar, Lampung, dan Jateng.
“Saat ini, hanya dua daerah yang dapat menyediakan data dan penilaian yang dapat diandalkan secara ilmiah untuk memantau stok dan status panen secara efektif. Keduanya adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah,” jelasnya.
Baca juga : Tangkapan Menurun Drastis, Nelayan Rajungan Pantai Timur Sumatera Terancam
Seorang anak nelayan memperlihatkan kepiting bakau hasil tangkapannya di Desa Sungai Nibung, Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Foto : YPI
Akses Terbuka Penangkapan Rajungan
Selain bernilai ekonomi tinggi, Imam mengungkap kalau perikanan rajungan terus berkembang dan menjadi andalan ekspor perikanan bagi Indonesia, salah satunya karena dipicu oleh aktivitas penangkapan ikan dengan akses terbuka yang menjadi awal mula perikanan tersebut berkembang.
Status terbuka itu membuat siapa pun bisa bergabung untuk menangkap rajungan tanpa memerlukan lisensi khusus. Hal itu mendorong nelayan untuk beroperasi secara mandiri dengan menggunakan peralatan tangkap yang dimiliki.
Atau, jika tidak siap mandiri, nelayan kemudian membentuk kelompok atau bergabung ke dalam kelompok yang sudah ada dan selanjutnya bekerja dengan perantara yang menyediakan modal untuk menangkap rajungan.
“Struktur terbuka ini memudahkan dan relatif murah bagi orang untuk mulai memanen rajungan,” tuturnya.
Selain faktor keterbukaan, rajungan merupakan komoditas yang menguntungkan, terutama untuk ekspor, sehingga mendorong harga tinggi dan menarik banyak orang untuk melakukan penangkapan.
“Rajungan relatif mudah ditangkap, umumnya menggunakan jaring insang, pot, dan, di beberapa daerah, dengan menggunakan perangkap atau arad (pukat),” tambahnya.
Tetapi, semakin banyak orang dan pelaku usaha yang tertarik untuk menangkap rajungan, itu memicu meningkatnya aktivitas penangkapan secara langsung di alam. Pemicu naiknya permintaan, karena pasar rajungan saat ini sudah dilakukan diversifikasi.
Baca juga : Ketegaran Syafi’i: Rajungan Menghilang, Berganti Kerang dan Dipenjara karena Mangrove di Langkat
Nelayan rajungan menghadapi beragam permasalahan namun selama ini kurang didengarkan aspirasinya. Foto: Irham Rapy
Inisiasi Budi daya Rajungan
Selain untuk pasar ekspor, Imam Syuhada memaparkan kalau rajungan juga sekarang dipasok ke pasar domestik dan beberapa pasar regional. Praktik diversifikasi produk, dilakukan salah satunya dengan menjual rajungan secara segar.
Agar ketergantungan pada hasil tangkapan di alam bisa berkurang, saat ini sudah mulai muncul inisiasi membudidayakan rajungan. Namun, upaya tersebut juga masih terus berkembang dan menghadapi beberapa tantangan.
Tantangannya yaitu pembudidayaan relatif berbiaya mahal, karena sering kali melibatkan tempat pembesaran rajungan individual. Kondisi itu membatasi jumlah rajungan yang dapat dipelihara dan menjadikannya harganya lebih mahal dibandingkan dengan mengambil langsung dari alam.
“Meskipun tidak jelas apakah pasar akuakultur ini ditujukan untuk ekspor, pasar ini memiliki potensi yang kuat untuk memenuhi permintaan domestik akan kepiting segar di pasar lokal,” ungkapnya.
Di sisi lain, walau budi daya menjadi substitusi untuk memenuhi pasokan rajungan, namun kebutuhan benih masih terbatas pasokannya. Katanya, sampai sekarang baru Balai Besar Perikanan Budi Daya Air Payau di Jepara (Jateng) dan Takalar (Sulawesi Selatan) yang sudah berhasil menyediakan bibit rajungan.
Imam mencermati lebih detail tentang kebutuhan rajungan yang tinggi namun pasokannya terbatas. Persoalan tersebut kemudian dipecahkan dengan mendatangkan rajungan melalui jalur impor dari negara lain.
Dia menjelaskan, saat ini kegiatan impor sudah dilakukan di Lampung dengan negara tujuan adalah Tunisia. Produk impor tersebut kemudian diproses secara lokal di pabrik mini untuk memisahkan dagingnya.
Kepiting Rajungan menjadi sumber mata pencaharian utama nelayan di Desa Bonto Bahari, Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros, Sulsel. Keberadaan mangrove turut melestarikan kepiting, meski kini terancam dengan rencana konversi mangrove ke tambak. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
Walau praktik tersebut dapat membantu memenuhi permintaan selama musim penangkapan ikan rendah di Indonesia, tetapi praktik tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang pembauran rajungan lokal dan impor, serta prinsip ketertelusuran.
“Rajungan Indonesia yang baru ditangkap, dikenal karena kualitas dagingnya yang tinggi, dan pencampuran rajungan impor dengan rajungan lokal dapat membahayakan standar ketertelusuran,” tegasnya.
Dia menilai, peraturan tentang impor produk yang bisa bersaing dengan produk lokal harus dievaluasi secara cermat untuk menghindari dampak buruk pada industri perikanan Indonesia. Termasuk, dampak buru pada nelayan, penangkap ikan, dan pemangku kepentingan lainnya.
“Mengimpor produk-produk ini tanpa pertimbangan yang matang dapat mengurangi keuntungan bagi nelayan lokal dan mengganggu pasar domestik di Indonesia,” tambahnya.
Rekomendasi Tata Kelola Rajungan
Dengan segala persoalan, tantangan, dan potensi yang ada pada perikanan rajungan, Imam Syuhada merekomendasikan pemanfaatan peraturan untuk meningkatkan tata kelola perikanan rajungan.
Ada empat rekomendasi yang dia tawarkan, yaitu:
- Mengatasi kesenjangan dan ketidakkonsistenan data dengan menerapkan protokol pengumpulan dan pelaporan data yang terstandarisasi.
- Pengembangan dan penerapan strategi yang ditargetkan untuk pemulihan stok, dengan mempertimbangkan tantangan dan peluang unik di setiap provinsi.
- Mendorong praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan dan pembangunan sosial-ekonomi melalui teknologi inovatif, pengembangan kapasitas, dan keterlibatan pemangku kepentingan secara aktif.
- Memperkuat kerangka kerja manajemen kolaboratif dan bina kemitraan multi-pemangku kepentingan untuk meningkatkan kapasitas adaptif dan ketahanan perikanan rajungan. (***)
Rajungan: Populer di Luar Negeri, Terancam di Dalam Negeri
Sumber: Mongabay.co.id