- Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) baru-baru ini memperlihatkan, karut marut tata kelola tambang mineral dan batubara Temuan badan ini antara lain, ada indikasi operasi tambang nikel ilegal di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara sampai praktik pertambangan merusak. BPK pun meminta Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan penertiban, sekaligus pemberian sanksi.
- Dalam pemeriksaan itu, BPK juga temukan pengelolaan tambang tidak sesuai kaidah pertambangan yang baik dan merusak lingkungan. Para pengelola tambang itu juga bermasalah dengan pemenuhan kewajiban finansial, seperti royalti dan pembayaran pajak pada negara.
- Laporan BPK juga mempertanyakan validitas data investasi oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Menurut BPK, kebenaran implementasi penilaian teknis dan administrasi atas pelaku usaha tidak dapat diuji.
- Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang, bilang, temuan BPK itu memberi pesan bahwa tata kelola sektor pertambangan tak pernah beres.
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) baru-baru ini memperlihatkan, karut marut tata kelola tambang mineral dan batubara Temuan badan ini antara lain, indikasi operasi tambang nikel ilegal di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara sampai praktik pertambangan merusak. BPK pun meminta Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan penertiban, sekaligus pemberian sanksi.
- Advertisement -
Temuan BPK itu terungkap dalam Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPSI) Semester I 2024 tertanggal 30 September lalu. Menurut BPK, tambang ilegal di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara itu mengakibatkan negara kehilangan potensi pendapatan dari pajak pertambangan nilai (PPN) dan royalti atas komoditas tambang.
“Merekomendasikan Menteri ESDM agar mengintruksikan Dirjen Minerba berkoordinasi dengan pemerintah daerah guna melakukan penertiban atau pemberian sanksi administratif,” tulis BPK, merujuk dokumen itu.
Secara keseluruhan, sebut BPK, hasil pemeriksaan sektor pertambangan minerba dan kehutanan mengungkap 13 temuan yang memuat 21 permasalahan. Ke-21 permasalahan itu meliputi 12 kelemahan pada sistem pengendalian internal (SPI), delapan masalah ketidakpatuhan, dan satu permasalahan lain.
Salah satu permasalahan lain yang BPK temukan berkaitan dengan izin usaha pertambangan (IUP) minerba yang terdaftar pada aplikasi minerba one data Indonesia (Modi) yang belum sepenuhnya sesuai ketentuan.
Menurut BPK, setidaknya terdapat 61 IUP dengan persyaratan perizinan tak lengkap baik aspek administrasi, kewilayahan, teknis, finansial dan lingkungan.
Ada juga lampiran dokumen saat pendaftaran 27 IUP tak jelas, misal, lampiran persetujuan pencadangan wilayah. Ada juga temuan perihal data IUP eksplorasi maupun operasi produksi tidak ada pada database pemerintah daerah. Situasi ini, sebut BPK, berpotensi menimbulkan sengketa perizinan serta tumpang tindih kewilayahan.
Dalam pemeriksaan itu, BPK juga temukan pengelolaan tambang tidak sesuai kaidah pertambangan yang baik dan merusak lingkungan. Para pengelola tambang itu juga bermasalah dengan pemenuhan kewajiban finansial, seperti royalti dan pembayaran pajak pada negara.
Terhadap 61 pemegang IUP tidak lengkap itu, BPK merekomendasikan KESDM melengkapi dokumen. Sedangkan 27 IUP, meminta KESDM rekonsiliasi dengan pemerintah daerah dan instansi terkait.
“Serta tindakan penertiban dan atau sanksi administrasi terhadap perizinan usaha pertambangan sesuai kewenangan yang dimiliki.”
PT Vale Indonesia Tbk, perusahaan yang melakukan pertambangan nikel di Sulawesi. Dok: PT Vale Indonesia
Evaluasi PT Vale
Masalah lain yang BPK temukan berkaitan dengan investasi PT Vale Indonesia (Vale). Menurut BPK, KESDM belum evaluasi menyeluruh atas komitmen investasi Vale sesuai kontrak karya yang telah diamandemen.
Beberapa hal perlu evaluasi, antara lain: ketidakjelasan waktu penyelesaian kewajiban pengembangan smelter Sorowako, Sulawesi Selatan (Sulsesl); pembangunan fasilitas pengolahan hilir di Bahadopi, Sulawesi Tengah (Sulteng); serta fasilitas pengolahan dan pemurnian di Pomala, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Menurut BPK, pembangunan fasilitas pengolahan itu menjadi bagian Vale sebelum kontrak karya berakhir dan beralih menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
“Akibat dari situasi itu, pemerintah Indonesian belum memperoleh manfaat penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam dari Blok Sorowako Sulawesi Selatan, Blok Bahodopi, Sulawesi Tengah dan Blok Pomala, Sulawesi Tenggara, serta terdapat risiko tidak diperoleh hasil maksimal dari perpanjangan kontrak karya jadi IUPK,” tulis BPK.
BPK pun merekomendasikan Menteri ESDM mengintruksikan Dirjen Minerba meminta BPKP atau memerintahkan pihak independen lakukan uji tuntas due diligence pemenuhan komitmen Vale sesuai amandemen kontrak karya.
Ekosistem laut rusak. Laut yang menjadi ruang hidup bagi masyarakat pesisir berubah jadi lautan lumpur merah (limparan tanah dari aktivitas tambang nikel) di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.
Pertanyakan data BKPM
Dalam laporan itu, BPK juga mempertanyakan validitas data investasi oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Menurut BPK, kebenaran implementasi penilaian teknis dan administrasi atas pelaku usaha tidak dapat diuji.
Temuan ini berkaitan dengan pemantauan laporan data perkembangan kegiatan usaha dalam bentuk laporan kegiatan penanaman modal (LKPM). Menurut BPK, penyampaian LKPM melalui subsistem pengawasan pada portal One Single Submission (OSS) menyulitkan kebenaran pengujian laporan itu.
Buntutnya, profil pelaku usaha sektor pertambangan minerba dan kehutanan tidak ter-update lengkap. Terutama dari aspek kepatuhan administrasi dan teknis. Atas permasalahan itu, BPK merekomendasikan Menteri Investasi/Kepala BKPM mengimplementasikan proses pengawasan laporan berkala dan penilaian kepatuhan administrasi sesuai ketentuan.
BPK juga menilai pelaporan LKPM oleh pelaku usaha minerba belum sepenuhnya memadai. Misal, terdapat pelaku usaha yang ternyata belum memiliki nomor induk berusaha (NIB) dan tak melaporkan LKPM. Dengan begitu, nilai realisasi investasi LKPM belum sepenuhnya menunjukkan angka riil.
BPK pun menyebut, data capaian realisasi investasi sektor kehutanan, mineral logam dan batubara kepada publik tidak handal. “Dapat menyesatkan stakeholder dalam pengambilan keputusan,” jelas BPK.
‘Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Menteri Investasi/BKPM mengembangkan fitur LKPM pada subsistem pengawasan OSS RBA agar informasi nilai realisasi investasi lebih akurat.
BPK juga sebutkan, peningkatkan platform juga perlu agar dan mampu mengirimkan notifikasi kepada pelaku usaha yang tidak mematuhi pelaporan LKPM.
Badan kapal patah menyebabkan muatan ore nikel tumpah menutupi sebagian karang dan sedimentasi serta perairan menjadi keruh di Perairan Morowali, Sulawesi Tengah pada Juni 2020. Foto : Muhammad Ramadhany
Tata kelola tak beres
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang, bilang, temuan BPK itu memberi pesan bahwa tata kelola sektor pertambangan tak pernah beres. Berlakunya UU Minerba/2020, sebagai revisi dari UU sebelumnya membuat pengelolaan pertambangan makin tak karuan.
Pada Pasal 169, misal, dia nilai sarat persoalan. Pasal ini memberi ruang para pemegang kontrak karya untuk mem-by pass izin tambang tanpa melalui prosedur berlaku. “Di pasal itu, sebelum kontrak karya berakhir, bisa diperpanjang dengan menjadi IUPK. Ini kan kacau, meski di dalamnya mengatur beberapa kewajiban,” kata Jamil.
Dalam konteks Vale, sebagaimana temuan BPK, pasal ini yang dipakai. Tanpa proses pengajuan izin baru, Vale mengalihkan kontrak karya menjadi IUPK, sesaat sebelum kontrak berakhir.
Praktik ini dia nilai cacat prosedur dan salah satu bentuk korupsi sektor kebijakan.
Kontrak karya dan IUP adalah dua hal berbeda. Ketika masa kontrak berakhir, pemegang kontrak harus mengajukan izin baru bukan serta merta mendapat perpanjangan dalam bentuk IUPK.
“Secara logika hukum saja ini sudah tidak masuk, sudah bermasalah karena mem-by pass rangkaian prosedur pengajuan IUP.”
Sisi lain, kendati negara sudah begitu lunak dengan memberikan perpanjangan, Vale justru tidak melakukan apa yang menjadi kewajibannya. Jamil pun mendorong temuan BPK ini menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum, baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Kejaksaan Agung (Kejagung) mengambil tindakan.
KPK maupun Kejagung, kata Jamil, dapat meminta BPK audit investigasi menindaklanjuti temuan itu. Menurut dia, investigasi mendalam perlu untuk memastikan kerugian negara. BPK, katanya, merupakan satu-satunya lembaga negara yang memiliki wewenang menyatakan, kerugian negara.
“Kalau ke KESDM, ya percuma. KESDM itu sebenarnya sampai sekarang, kalau diminta untuk menindaklanjuti soal illegal mining tidak pernah berdaya. Tidak ada perangkat hukumnya, karena mereka hanya punya inspektur tambang yang versi mereka hanya fokus pada tambang berizin,” kata Jamil.
Di lapangan, perusahaan ini banyak menimbulkan kerusakan dan dampak ekologis. Pada konteks negara, perusahaan juga tidak menjalankan kewajiban. Karena itu, dia mendorong investigasi mendalam terkait masalah itu.
Jamil juga mengkritik rekomendasi BPK yang terlalu lembek. Terkait penanganan tambang ilegal, misal, pemerintah seharusnya bisa lebih powerfull ketimbang sekadar koordinasi antar instansi.
Aktivitas tambang ini, katanya, menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat dan lingkungan.
Tambang nikel mulai beroperasi di gunung di Wawonii. Foto: drone
Menurut Jamil, praktik tambang ilegal biasa dengan banyak modus. Dengan memanfaatkan kelemahan pemerintah, para pelaku biasa menambang pada area di antara dua konsesi tambang atau yang biasa disebut sebagai tambang koridor. “Itu banyak terjadi di Sulawesi dan Maluku Utara,” ujar Jamil.
Pola kedua, penambangan tanpa dokumen memadai, seperti dokumen izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), seperti ditemui di Wawonii. Pola lain, kata Jamil, penambangan melampaui wilayah izin.
Rere Cristanto, Juru Kampanye Energi dan Pertambangan, Walhi Nasional katakan, temuan BPK menunjukkan kegagalan KESDM melakukan penegakan hukum sektor pertambangan. Kondisi itu, karena regulasi buatan pemerintah sendiri, mulai dari perubahan UU Minerba sampai UU Cipta Kerja.
Rere bilang, UU Minerba 2020 hasil revisi membawa banyak konsekuensi dengan seluruh kewenangan izin pertambangan minerba berada di pusat. Masalahnya, peralihan kewenangan perizinan ini tidak diimbangi dengan upaya koordinasi yang efektif.
Alih-alih pengawasan, banyak daerah justru tidak memiliki data apapun terkait penambangan. Padahal, dampak dan berbagai persoalan yang timbul, pemerintah daerah dan masyarakat di sana yang merasakan.
“Problem utamanya, sentralisasi perizinan. Perangkat hukum, koordinasi, tidak berjalan efektif. Bermasalah sejak awal.”
Nelayan berjalan di atas cemaran lumpur yang menutupi permukaan pasir laut saat surut. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia
*******
Nasib Buruh di Kawasan Industri Nikel Morowali
Sumber: Mongabay.co.id