- Berbagai satwa primata seperti owa Jawa dan surili terancam kepunahan karena habitatnya yaitu hutan yang semakin rusaknya. Padahal primata ini terkait erat dengan identitas budaya seperti di tanah Pasundan.
- Isu konservasi primata mendapat tantangan pada generasi muda yang sulit untuk memahami tujuan dan manfaat konservasi secara umum.
- Saat ini ada fenomena anak muda lebih memahami keterkaitan kehidupan satwa seperti primata dengan isu perubahan iklim
- Film dan dongeng menjadi metode paling populer dalam menyampaikan pesan konservasi kepada masyarakat, terutama generasi muda agar terlibat aktif dalam penyelamatan satwa seperti primata
Kepunahan satwa primata penguasa ketinggian hutan-hutan di Jawa Barat bukan tidak mungkin bakal terjadi lebih cepat. Padahal primata ini terkait erat dengan identitas budaya seperti dongeng lutung kasarung hingga surili yang dijadikan sebagai maskot di tanah Pasundan.
Menyoal dongeng, Silva (25), mahasiswi asal Kota Bandung yang sedang menempuh pendidikan magister (S2) konservasi di University of Sussex, Inggris, tertarik mendalami itu. Menurutnya, selain mengandung banyak nilai-nilai moral, dongeng menjadi metode paling populer dalam menyampaikan pesan konservasi.
“Pemutaran film owa menarik buat saya. Dunia mereka mampu menggambarkan kualitas hidup manusia sekaligus memberi pesan untuk masa depan kita,” kata Silva seusai pemutaran film “The Gibbons Calling of Hope, Swing for Freedom” oleh Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) dan Gibbonesia di Bandung Kreatif Hub, Kota Bandung, akhir Oktober lalu.
Silva mengaku tertarik jika konservasi dibungkus dengan cara menyenangkan. Apalagi tujuan konservasi selama ini belum bisa diserap dan dipahami dengan sederhana oleh anak-anak muda.
“Konservasi itu untuk apa, untuk siapa, dan akan membuahkan manfaat apa sih? Ini kadang masih setengah dipahami termasuk oleh saya juga,” jelasnya.
Kegamangan semacam itu membuat nyali Silva ciut. Sekalipun beberapa langkah lagi wisuda, namun dia pesimis jurusan yang diambil tak menjamin masa depannya. Terutama peluang berkiprah di Indonesia.
- Advertisement -
Di luar negeri, katanya, akses mahasiswa mengeksplorasi pendidikan dan risetnya begitu mudah. Teman sekelas bahkan dengan mudah pergi ke Afrika atau Amazon tanpa perlu ruwet menghitung ongkos. Dukungan selalu ada bagi mereka dari negaranya.
“Untuk saya cukup kesulitan karena akses dan mediumnya itu sendiri. Padahal satwa di Indonesia sudah amat sangat lengkap dan beberapa tidak ditemukan oleh temen-temenku disana,” imbuhnya.
Contohnya, primata. Katanya, Indonesia punya 9 spesies dari 20 spesies primata di Bumi.
“Indonesia adalah laboratorium paling lengkap. Cuma aspek yang membuat saya cukup kesulitan mengeskplorasi adalah pendanaan. Kalau saja dunia konservasi dan ekologi dipandang penting oleh negara setidaknya ada jaminan kita tidak salah pilihan menekuni pendidikan konservasi,” pungkasnya.
Baca : Kala Primata Memberi Pesan Kepada Manusia
Pengunjung menonton film “The Gibbons Calling of Hope, Swing for Freedom” yang diinisasi oleh Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (Yiari) dan Gibbonesia di Gedung Kreatif Hub, Kota Bandung, Minggu (27/10/2024). Film ini mengangkat tentang peran owa Jawa dalam ekosistem sekaligus bentuk baru kampenye konservasi untuk menarik minat anak-anak muda. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Bergerak Melindungi yang Tersisa
Berjarak 127 kilometer dari Kota Bandung, Aa Andika (22) juga tengah fokus menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti, Kabupaten Sumedang.
Sekitar sebulan, Aa memetakan populasi owa Jawa yang terfragmentasi kebun warga di Kampung Bunisari, Desa Cikondang, Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut. Hasilnya ditemukan tiga keluarga owa Jawa di tiga titik yang berbeda.
Aa menjelaskan, nasibnya cukup mengkhawatirkan di sana. Fragmentasi habitat akibat perluasan aktivitas manusia yang belum mempertimbangkan kebutuhan lalu lalang satwa membuat ruang hidup kian sempit.
Pada kantong-kantong kecil, mereka kemungkinan besar tak bisa beranak pinak. Tidak menutup kemungkinan risiko penurunan genetika berupa cacat dan kepunahan akibat perkawinan sedarah (inbreeding) diprediksi bisa terjadi.
Pasalnya, ada satu keluarga terdiri dari dua indukan dan dua anakan. Ada juga yang sepasang owa Jawa dan yang lainnya hanya satu individu saja. “Yang berhasil diindentifikasi baru ada tujuh individu owa Jawa,” katanya.
Seperti diketahui, owa Jawa merupakan satwa monogami. Artinya tanpa pasangan mereka akan mati kesepian.
“Saya juga menemukan lutung Jawa dan surili, dan mereka selalu ada pada pohon yang sama,” katanya.
Nyatanya di alam, tiap primata toleran terhadap sesamanya. Pada satu pohon, misalnya, mereka akan berbagi ruang. Owa memakan buah, surili menyantap daun sedangkan lutung memetik pucuk.
Cara mereka hidup memungkinkan regenerasi hutan terus terjaga. Hilangnya berbagai satwa itu sama artinya hancurnya lingkungan.
Celakanya, habitat mereka kini sudah rusak. Tak ada kerapatan hutan lagi di sekitar kampung. Adapun jarak ke kawasan lindung tersisa milik Perum Perhutani cukup jauh sekitar 1,7 kilometer. Aa menduga dulunya kawasan itu tersambung.
“Saya khawatir terbatasnya area jelajah mereka akan menimbulkan kepunahan, tapi skripsi saya hanya fokus pada pola distribusinya saja,” katanya.
Berdasarkan hasil kajiannya, habitat satwa terancam punah itu tersebar di 38 hektar. Beberapa satwa terpantau mendiami blok-blok warga yang lahannya masih cukup berkanopi.
Baca juga : Owa Jawa, Primata Setia dari Tatar Sunda
Owa Jawa (Hylobates moloch) bergelantung di salah satu kawasan lindung di Sukabumi, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay
Windan Nur Hamzah (35), seorang warga setempat, menuturkan, mengaku senang dengan langkah yang dilakukan Aa. Sejak lama warga pun berkeinginan menyelamatkan primata tersebut lantaran didorong oleh masalah lingkungan.
“Warga tidak tahu jika hilangnya populasi satwa berpengaruh pada hilangnya sumber mata air. Dari Aa, saya bisa ngobrol dengan lembaga seperti Wahli Jabar dan organisasi terkait yang mengedukasi kami tentang pentingnya konservasi,” terangnya.
Anomali mulai dirasakan warga sekitar 10 tahun terakhir. Selain air yang menyusut, suhu pun mulai meningkat. “Kondisi ini sedikit banyak berpengaruh pada pola pertanian terutama cuaca,” ujarnya.
Menarasikan Konservasi Satwa
Sebetulnya posisi owa Jawa cenderung lebih baik ketimbang surili dan lutung Jawa. Owa punya hari tersendiri yang diperingati setiap tanggal 24 Oktober. Sedangkan surili dan lutung Jawa, diperingati bersamaan dengan primata Indonesia lainnya pada 30 Januari.
Soal primata, budayawan Sunda, almarhum Hidayat Suryalaga, pernah mengungkapkan keterikatan surili dengan sosio-budaya Sunda. Dia menyampaikan pendapatnya dalam pemantapan penentuan satwa khas Jawa Barat.
Hidayat menyebut, surili adalah simbol suara rakyat. Gambarannya terlihat dalam cerita pantun Lutung Kasarung. Saat itu, Guruminda diturunkan dari kahyangan di tengah hutan wilayah negara Pasir Batang Anu Girang.
Kehadirannya disambut surili yang tertawa. Bergelantungan bahagia, mereka menyambut kedatangan Guruminda, tokoh utama Lutung Kasarung. Namun, saat Aki Panyumpit mencari binatang buruan, surili itu memilih bersembunyi, ketakutan.
“Dalam semiotika Sunda, kedua situasi itu memberi makna jika surili bersuara, tandanya rakyat sehat dan bahagia. Namun, jika tidak bersuara ada rasa takut yang mengganggunya,” kata Hidayat dikutip dari Harian Kompas edisi 1 Oktober 2016.
Baca juga : Nasib Surili di Tengah Keterancaman
Sejumlah citivas akademik dan beberapa LSM bertemu di Jatinangor, Sumedang, Jabar, belum lama ini. Mereka bersepakat untuk berkolaborasi melakukan konservasi owa Jawa demi keberlangsungan hutan di Jawa Barat sebagai kantung populasi bagi primata endemik tersebut. Foto : Donny Iqbal/Mongabay
Pada kesempatan terpisah, Ketua Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (KIARA) Rahayu Oktaviani mengatakan jika folklor (cerita rakyat) sebenarnya sudah muncul di masyarakat baheula. Namun, petuah hubungan manusia dengan alam itu perlahan memudar.
“Penyebabnya beragam, yang kami temukan kenapa folklor itu hilang. Satu karena perubahan jaman dan kedua karena tidak diturunkan,” katanya.
Padahal informasi itu sudah ada dan menjadi budaya. Tapi entah kenapa itu hilang, malahan folklor seolah-olah asing didengarkan hari ini.
Untungnya, generasi muda masa kini, lanjut Rahayu, cenderung memahami keterkaitan primata dengan perubahan iklim. Alasannya, mereka mulai banyak mencari referensi dan menemukan fakta bahwa konservasi itu penting bagi masa depan.
Berdasarkan hasil penelusuran KIARA, anak muda dimulai dari gen Z menganggap kehidupan satwa ada keterkaitan dengan fenomena iklim. Mereka seperti punya tantangan bagaimana masa depan jika tidak peduli dan bergerak.
Rahayu mengambil contoh kasus di Taman Nasional Halimun Salak (TNGHS) bagaimana perubahan iklim berdampak pada kemunduran masa kawin bagi owa Jawa. Meskipun kajian tersebut masih perlu banyak dikembangkan sebagai riset jangka panjang untuk mengatahui dampak yang berpotensi terjadi.
“Saya rasa konservasi hari ini sudah banyak kemajuan. Dari aspek pemerintah, mereka sudah mau mendengarkan masukan dari kami sebagai mitra kerjanya. Salah satunya peta jalan yang kompatibel dilakukan. Begitu juga dari jaringan NGO yang punya fokus serupa, kami sering berkolaborasi agar pesan konservasi ini mampu mengedukasi masyarakat secara luas,” paparnya.
Senior Manajer Edukasi dan Pernyadartahuan Yiari, Ismail Agung Sumadipraja mengamini pola kolaborasi menjadi jalan paling efektif menggaungkan konservasi primata. Itu terbukti dengan menurunnya jumlah perdagangan owa Jawa di media sosial.
“Untuk itu kami ingin terus menceritakan konservasi melalui sarana yang dimintai anak muda salah satunya film. Rencanya ada 8 kota yang akan dikunjungi demi mengenalkan suara owa Jawa,” pungkasnya.
Bagi Ismail, ketika owa bersuara itu tandanya ada kehidupan di hutan. Dan jika hutan hidup, manusia masih punya harapan menikmati lingkungan yang lestari. (***)
Satwa Berlabel “Jawa” di Tubir Kepunahan
featured, Hidupan Liar, Hutan Hujan, hutan lindung, Keanekaragaman Hayati, kerusakan lingkungan, Konflik Sosial, pembalakan, Perubahan Iklim, satwa dilindungi, Satwa Liar
Sumber: Mongabay.co.id